Sosok yang berjalan atas bukit di balik semak belukar kemudian menyandarkan tubuhnya saat mendengar suara merdu yang beberapa hari ini memenuhi benaknya terdengar. Ia merapatkan tubuh bersandar pada pohon pinus dan manajamkan penglihatan pada sosok cantik tersebut. Senyum tipisnya tersungging dan ia melangkah dengan hati-hati mendekat pada aliran sungai dangkal. Suasana saat ini tidak terlalu ramai sehingga ia dengan mudah menikmati dan menunggu dengan sabar kemunculan wanita itu.
Namun kenikmatannya menguping dan meliat kemolekan tubuh wanita cantik itu terganggu dengan kelebatan bayangan yang menuju sisi lain bukit. Ia kemudian memutuskan untuk mengakhiri acara mengupingnya dan berlari mengejar sosok itu. Ia juga sedikit terkejut saat ia merasa wanita itu melihat pergerakannya yang melesat ke atas bukit.
♥
"Titip ya Mas," ujar Melody dengan ramah dan mendapatkan balasan senyum ramah lainnya.
"Iya sih juragan Harsa dan bu Juleha memang baik, tapi beda dengan anaknya Si Yoga itu. Sejak kembali dari kota perangainya berubah. Apalagi cara pandangan matanya sama perempuan gimana gitu."
Meoldy mengingat-ingat tingkah laku Yoga dari sejak menjemputnya di stasiun kereta sampai kemarin siang memang sungguh mencurigakan. Tidak seperti orang normal menurutnya.
"Kira-kira apa yang terjadi dengan dia?" Rasa penasaran Melody juga timbul pada akhirnya.
"Entahlah kami tidak tahu. Keluarga mereka juga kaya, pasti sudah menutup mulut orang-orang. Apalagi Yoga sering berkumpul bersama dengan teman-temannya yang entah datang dari mana di sayap kiri rumahnya."
"Kok, aneh begitu? Bukankah jika ada tamu dari luar harus ada laporan pada ketua RT?"
"Nggak tahu juga sih. Aku nggak pernah kepikiran sampai sana. Yoga kerjanya apa juga nggak jelas. Ibuku yang kerja di pabrik tahu aja nggak tahu."
Melody dan Vivi baru saja merendam setengah tubuhnya saat terdengar suara gemerisik pada semak-semak di sisi bukit. Melody dan Vivi sama-sama memicingkan mata saat melihat sekelebatan orang berlari cepat menuju ke atas bukit.
"Itu orang bukan ya?" celetuk Vivi.
"Anggap aja orang-lah, nggak jelas juga dari sini," bujuk Melody yang tidak mau ambil pusing dengan siapa yang ada di sana. Bisa jadi hanya orang desa sekitar yang sedang merumput karena banyaknya rumput gajah di sekitar mereka yang membentang sampai padang melandai di sebelah ujung timur.
Rasa penasaran Melody semain menjadi. Ia tahu beberapa tahun terakhir daerah di sekitar desanya ini sudah mulai berkembang dengan banyaknya penginapan dan dibukanya tempat wisata alam. Namun keberadaan beberapa pondok terpencil itu mau tak mau menimbulkan kecurigaan untuknya. Beberapa orang yang ia lihat saat ini sepertinya tidak asing. Melody menatap lurus pada aktiffitas tiga buah mobil yang mendekati sebuah pondok yang terlihat samar di balik pepohonan pinus.
"Melody? Yah, melamun nih anak," tegur Vivi yang kemudian berbalik badan dan menghadap ke mana arah pandangan Melody.
"Kamu penasaran ya?" tanya Vivi lagi yang mendapatkan anggukan dari Melody.
"Itu pondok milik Yoga. Tahu kan siapa Yoga?" ujar Vivi.
Melody saling bertatapan dengan Vivi. "Bukannya dia melaanjutkan usaha bapaknya?" tanyanya penasaran.
"Nggak sih, setahuku. Dia ada usaha dengan orang dari kota. Mengelola pondok penginapan di sebelah sana itu."
"Kamu merasa aneh nggak sih?"
"Aneh gimana?"
"Yoga itu aneh tahu," ujar Melody seraya mengikat kembali tingkah Yoga sejak menjemput dirinya di stasiun kereta sampai perseteruannya kemarin.
"Aku nggak terlalu memperhatian sebetulnya tapi memang kalau diperhatian kok, seperti orang stress ya?"
"Nah kan, aku juga merasa begitu. Kemarin juga sempat bertengkar dengan aku loh."
"Serius? Buat apa dia ajak rebut kamu?"
"Dia mempermasalahkan aku yang punya pacar dari kota dan kaya."
"Orang aneh, jaman sekarang itu sudah biasa juga kali. Apalagi kamu dengan Tama udah pacaran sejak SMA. Kenapa dia baru mempermasalahkan sekarang? Yoga juga bukannya dulu sekolah di kota juga?"
"Iya aku sempat tahu itu. Dia dulu satu kelas dengan kenalanku. Orang yang sangat baik sudah seperti saudara kandungku," ujarnya seraya mengingat Kalvin Perkasa.
"Oh, cowok yang dulu aku pernah bilang mirip sama kamu itu kan?"
"Iya dia. Aku perhatikan juga foto kami dulu memang mirip. Kebetulan sekali bukan?"
Melody reflek berdiri dari kegiatannya berendam dan memicingkan matanya. Ia melihat sosok yang tadi sempat dirinya liat lari menuju hutan pinus dan jika dirinya tidak salah tebak sosok tersebut menuju salah satu pondok tersebut.
"Kamu kenapa sih?!" tegur Vivi yang kaget karena gerakan Melody yang tiba-tiba itu.
"Kamu ingat sosok yang aku lihat di balik semak-semak itu. Dia pakai baju hitam dan lari ke arah pondok di hutan pinus itu."
"Masa sih? Serius?"
"Iya, tapi buat apa sih dia di sini. Kok, perasaanku nggak enak ya?"
"Udahlah nggak usah di pikirin. Kita senang-senang aja dulu. Udah lapar belum? Nanti kita singgah beli mie ayam ya?"
"Iya."
Yoga dengan napas yang terengah-engah segera menutup pintu depan. Ia mengusap dadanya sendiri, hampir saja perbuatannya dalam mengintai Melody ketahuan. Ia harus segera melaksanakan rencananya sebelum kekasih Melody kembali.
Bowo menatap tajam ke arah Yoga yang baru saja selesai membersihkan diri.
"Seharusnya kamu berhenti sebelum semuanya akan berdampak buruk. Ingat tidak hanya dirimu yang menjadi sorotan. Nama baik keluarga, orang tuamu dan juga tanggapan penduduk kampung."
"Kamu pikir aku peduli," balas Yoga seraya melemparkan handuk bekas mengeringkan rambut ke arah muka Bowo.
"Seharusnya kamu peduli," ujar Bowo yang masih gigih tak mau kalah.
"Kamu lupa aku sudah dianggap gila dan tak bermoral oleh keluargaku. Orang aneh dan dianggap manusia gagal yang kembali ke desanya tanpa ada kontribusi yang berarti. Padahal mereka lupa siapa yang sudah membujuk para orang kaya berdasi itu untuk menyumbangkan dana demi kemajuan desa kita." Yoga menepuk dadanya yang membusung dengan sorot mata penuh kekecewaan dan juga tekad sekuat baja lantas meneruskan ucapan, "Aku Yoga, orang sinting dan aneh ini yang melakukannya. Masalah Melody akan tetap aku lakukan gadis sombong itu harus diberikan pelajaran dan dia akan bertekuk lutut padaku."
"Hal tergila yang aku takutkan adalah kamu merusak anak orang," gerutu Bowo.
Lantas matanya memicing saat gerutuannya ditanggapi dengan tawa lepas dari Yoga yang kini menumpukan kedua telapak tangannya pada kusen jendela.
"Aku tergila-gila padanya sekaligus benci."
"Sadar Yoga, jangan bawa kebencianmu kepada Tama dan kamu melampiaskan kepada Melody," tegur Bowo.
Yoga kemudian menegakkan tubuhnya dan bersedekap seraya mengedikan bahunya acuh. "Aku hanya akan menandai milikku itu saja."
Kini Bowo memilih untuk diam daripada menanggapi kegilaan Yoga dan akan berakhir sia-sia. Bowo akan mencari cara lain agar sepupunya itu tidak semakin terjerumus dan menjadi alat para orang kaya berdasi yang jelas hanya akan mengambil untung dari kegilaan Yoga dan obsesi pria tersebut.
Yoga tersenyum tipis melirik dengan penuh kemenangan kepada sepupunya itu. Ia tahu Bowo tidak akan berani mengkonfrontasi dirinya lebih dari ini. Yoga jelas tidak mau dianggap enteng dan kembali direndahkan. Bagaimanapun ia harus menunjukkan kekuasaannya.