Chereads / Wait for me to come back! / Chapter 17 - BATAL

Chapter 17 - BATAL

Adyatama mencuci tangannya pada wastafel toilet Pria. Ia tersenyum senang akhirnya proyek terakhirnya selesai sudah seminggu dari sekarang gedung Cleve milik bangsawan Cleve yang terkenal akan segera diresmikan. Adyatama sudah merasa tidak bisa menunggu lebih lama dari ini. Ia ingin segera pulang ke tanah airnya.

Adyatama menghempaskan tubuhnya di sofa apartemen dan mendengkus kasar. Kesal dan kecewa tentu saja. Proyek yang sudah selesai Sembilan puluh persen harus diperbarui karena ada sabotase dengan memasang bom pada basemen dan yang terjadi adalah separuh gedung lima lantai itu luluh lantak tak bersisa. Ia tidak habis pikir bagaimana hal itu bisa terjadi, pasalnya saat kemarin malam dirinya pergi. Gedung itu masih berdiri dengan gagahnya tanpa terlihat sesuatu yang mencurigakan.

Ponselnya berdering ia mendapatkan panggilan dari Edgar.

"Kenapa batal?" tanya Edgar.

"Gedung hancur, Tama harus membuat ulang. Itu tandanya Tama tidak bisa pulang saat ini menunggu selesainya penyelidikan polisi."

"APA! Bagaimana bisa hal itu terjadi?"

"Dugaan sementara, adanya sabotase atau teror. Bangsawan Cleve dari dulu terkenal memiliki banyak musuh."

"Om, paham hal itu."

Berakhirnya panggilan telepon dari Edgar bersamaan dengan ketukan di pintu apartemennya. Adyatama segera bangkit dan membukakan pintu setelah terlebih dahulu mengecek siapa tamunya kali ini. Jim Colling rupanya yang datang dengan jas panjang serta syal lengkap membalut lehernya.

"Kawan, kita diminta untuk menemui Bangsawan Cleve sekarang," ujar Jim begitu Adyatama membukakan pintu.

"Tunggu aku akan bersiap-siap." Adyatama segera bergegas ke dalam kamar.

Ponselnya yang tergeletak di atas meja kembai berdering dan kali ini panggilan berasal dari Juliet.

"Tama, ada panggilan dari Juliet!" seru Jim dari ruang depan.

"Kau angkat saja."

Jim segera meraih ponsel yang tergeletak di meja depannya itu danmenjawab panggilan.

"Ada apa Juliet."

"Mana kekasihku, Tama?"

���Hanya ada di dalam mimpimu."

"Jangan lancang kamu, Jim Collin!" herdik Juliet.

"Aku ingatkan sekali lagi padamu, kalau-kalau kau lupa siapa itu pacar Adyatama. Melody namanya. "

"Jangan sebut nama itu!" jerit Juliet.

"Kenapa, kamu mau mengamuk? Dasar sinting!" ujar Jim dengan jengkel seraya mematikan ponsel.

"Ada perlu apa dia meneleponku?" tanya Adyatama segara menjinjing ranselnya.

"Hanya kata-kata tak berguna."

"Lantas, mengapa kamu mengatai dia sinting?"

"Memang begitu kan dia? Kejiwaanya itu tidak stabil," jelas Jim.

"Lantas, kamu tidak berhak mengatainya begitu Jim. Itu tidak baik," tegur Adyatama.

"Biarkan saja wanita nggak guna. Hanya bisa bermanja dan pesta pora dengan uang ayah tirinya saja," gerutu Jim.

"Sudahlah biarkan saja, itu menjadi urusannya." Adyatama lalu membuka pintu apartemen dan Jim mengikutinya keluar.

Waktu sudah pukul sepuluh malam suasana TKP masih penuh dengan petugas pemadam kebakaran dan forensik. Bahkan asap hitam masih membumbung tinggi dari balik puing-puing bangunan.

"Tuan Alsaki," sapa Morgan Cleve.

"My lord," balas Adyatama seraya sedikit membungkuk.

"Tidak perlu terlalu formal begitu Tuan. Keluarga besarmu adalah sahabat baik keluarga kami."

Adyatama menilik raut wajah Morgan yang tampak santai dan tidak menunjukkan reaksi apa pun terhadap yang terjaadi pada gedungnya saat ini. Seolah hancurnya gedung itu bukan masalah besar untuk mereka.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Morgan pada orang kebercayaannya.

"Kita harus mencari lokasi baru untuk membuat gedung."

"Baiklah kalau begitu siapkan rencana kedua dan jaga ketat." Orang kepercayaan Bangsawan Cleve hanya mengangguk dan segera berlalu.

"Kamu masih menyimpan blue print-nya bukan?"

"Iya masih Tuan."

"Bagus," ujar Morgan seraya menepuk bahu Adyatama.

"Besok kamu temui Henry untuk mempersiapkan lokasi kedua," ujar Morgan sebelum berlalu.

Walaupun sang pemilik gedung tidak menunjukkan reaksi kemarahan atau kekecewaan tetapi rasa gundah masih juga Adyatama rasakan. Resah, seperti akan terjadi hal yang tidak baik. Dirinya bahkan sudah menghubungi kedua orangtuanya daan mereka sangat sehat. Begitu juga sang kekasih yang tampak sangat bahagia bisa kembali ke desa dan bertemu dengan teman-teman masa kecilnya.

***

Melody memeriksa ponselnya yang tadi kehilangan sinyal saat menunggu kedatangan Vivi Melody tersenyumm bahagia namun raut wajahnya kembali sedikit cemberut dengan mencebikkan bibir bawahnya. Batal, yah itulah yang dirinya tangkap dari pesan terakhir Adyatama pagi ini. Kekasih hatinya itu tidak bisa kembali saat ini. Bisa jadi mundur selama tiga bulan ke belakang. Memang nasib buruk kita tidak pernah tahu dan bisa menimpa pada siapa saja. Untunng saja saat kejadian sang kekasih sudah berada di apartemennya terlebih dahulu.

"Lody ayo!" seru Vivi yang sudah membeli tiket masuk terlebih dahulu.

Air terjun yang di datangi oleh Melody dan kelima rekannya sudah di kelola oleh desa sekitar dan menjadi tambahan untuk pemasukan kas desa. Terlebih ada tim sar yang berjaga di beberapa pos yang berdekatan dengan air terjun dan sepanjang sungai tersebut. Airnya yang jernih dan banyaknya ikan membuat siapapun senang di sana. Namun yang harus di waspadai adalah saatnya bertepatan dengan musim hujan seperti saat ini, karena jika daerah atas sedang hujan sudah pasti air akan berubah keruh dan debit air meningkat drastic serta tempat pariwisata di tutup untuk sementara.

Melody sangat bahagia hari ini. Tepat wisata tampak ramai dengan banyaknya pemuda pemudi, sampai dirinya tidak menyadari jika ada beberapa orang yang mengintai dirinya dari atas bukit sebelah utara air terjun.

"Aku ganti pakaian dulu ya? Kamu mau sama-sama nggak?" ajak Melody.

"Ayo deh."

Melody mendapatkan ruang ganti paling ujung, namun sebelum dirinya dan Vivi masuk mereka berhenti sejenak karena adanya monyet yang sedang menggendong bayinya duduk santai bersandar pada pintu. Vivi berinisiatif memberikan dua buah pisang yang sengaja ia bawa dan langsung diambil oleh monyet tersebut dan pergi.

Vivi melirik Melody yang agak pendiam pagi ini. Sungguh berbeda perangainya dengan gadis itu saat ia menjemputnya tadi.

"Ada apa sih?"

Melody melirik Vivi seraya menghembuskan nafas keras. "Pacarku batal pulang."

"Loh, kenapa?"

"Gedung yang dia bikin ambruk."

"Hah! Kok bisa sih? Apa ada gempa di sana?"

"Sepertinya bukan karena gempa, karena pacarku tinggal nggak jauh dari sana dan bilang tidak ada gempa."

"Yah, lama lagi dong dia kembali."

Melody mengangguk. "Hu'um, dia juga bilang kalau aku boleh lebih lama di desa. Padahal aku pingin segera bertemu dengan dia," ucap Melody melirih, sedikit rasa kecewqa menorah benaknya.

"Tidak apa, mungkin kalau kamu jenuh bisa bantu aku mengajar melukis anak-anak di balai desa."

Melody yang sangat suka dengan anak kecil mengangguk dengan antusias. "Sungguh, beneran ya?"

"Iya, aku kan memberikan pelajaran dasar berhitung dan membaca untuk anak pra taman kanan-kanak. Biar mereka juga lebih siap untuk masuk sekolah."

"Apakah setiap hari diadakan proses belajar mengajarnya?"

"Enggak kok, seminggu tiga kali saja. Biar balita itu nggak bosen. Walaupun tiap hari juga sih mereka main di sana karena ada banyak permainan. Tau nggak itu pembangunan balai desa dan taman bermain dari juragan Harsa."

"Wah, bagus dong itu. Juragan Harsa memang baik sih," sahut Melody seraya menitipkan tas yang dibawanya dan juga Vivi pada petugas yang berjaga. Melody senang paling tidak dirinya menjadi memiliki kegiatan yang berguna sembari menunggu kekasih hatinya kembali.