Melody bertemu dengan teman bermainnya bernama Vivi di atas angkot yang melaju mulus dengan beberapa kali perhentian.
"Melody, kapan balik?" sapa Vivi.
"Eh, hai Vi. Udah beberapa hari ini. Itu hanjatan Titin."
"Oh iya aku tahu tapi waktu ini nggak bisa datang. Ini kamu mau ke mana?"
"Mau ke Pasar Besar beli oleh-oleh."
"Oh, kamu udah mau balik?"
Melody mengangguk dan menjawab, "Rencana sih secepatnya mau balik. Ijinnya cuma satu minggu soalnya."
"kamu sama ortumu masih tinggal di rumah majikanmu?"
"Iya, mau di mana lagi. Bapak sama ibu mau pulang kampung nanti kalau Melody menikah."
"Kamu mau menikah?"
"Iya, segera setelah pacarku kembali."
"Wah, selamat ya Lody."
"Makasih." Melody tersenyum menanggapi ucapan tulus dari Vivi.
Mereka berdua akhirnya berbelanja bersama mencarikan berbagai macam oleh-oleh.
"Oh ya Vi, kamu tahu nggak kok sepertinya desa kita rawan sekarang?"
"Iya, aku dengar dari bapak begitu. Sejak ada pengembangan pabrik di ujung desa itu tahu kan? Yang punya orang kaya dari kota katanya. Para pemuda banyak yang direkrut jadi preman.'
Melody mengerutkan dahinya keheranan. "Kok, jadi preman gimana maksudnya?"
Vivi mengedikkan bahunya. "Aku nggak tahu pasti tetapi banyak yang membicarakan kalau malam pabrik itu masih beroperasi dengan pegawai yang berbeda. Semua pegawainya pria.
"Serem juga ya."
Melody dan Vivi memasuki kedai penjual soto langganan, sembari menunggu soto pesanannya datang Melody membalas pesan singkat dari sang kekasih hati Adyatama. Melody tersenyum menatap ponselnya, setidaknya pesan dari sang kekasih menjadi penghibur pagi harinya ini karena pertemuannya tadi dengan Yoga.
Cintaku:
"Mas, telepon sekarang bisa?"
Melody:
"Bisa Masku."
Tak menunggu waktu lama ponsel Melody berdering. Secepat kilat Melody yang dilanda rindu menerima panggilan tersebut.
"Halo Mas."
"Sayang di mana?"
"Di pasar besar nih, beli batik buat Mas."
"Kemeja?"
"Iya Mas, buat ganti-ganti nanti waktu kerja ya."
"Duh ... Baiknya calon istriku ini," puji Adyatama.
Melody yang mendengarkan pujian Adyatama tersipu malu dibuatnya.
Adyatama yang merasakan kegelisahan beberapa hari terakhir ini, sampai-sampai ia tidak bisa tidur nyenyak di malam hari sehingga selalu menelepon sang kekasih agar ia bisa tidur. Namun entah mengapa malam ini kegelisahannya semakin menjadi tetapi dengan mendengar nada riang suara sang kekasih hati sedikit meredakan kegelisahan hatinya.
Adyatama bangkit dari pembaringan dan mengemasi pakaiannya yang tersisa. Ia memang segera berencana untuk pulang. Ia akan meminta ijin pamannya Edgar untuk meminjam Jet pribadi agar bisa sampai dengan lebih cepat kebetulan seingat Adyatama dua hari kedepan pesawat tersebut memiliki jadwal penerbangan ke tanah air.
"Ada apa ini. Kegelisahan ini kok semakin menjadi. Pikiran ke Melody terus ya? Ya Tuhan jaga selalu kekasih hatiku," gumam Adyatama seraya bersimpuh dan berdoa. Ia tak lupa untuk memohon ampun akan segala salah dan khilaf yang mungkin dirinya sengaja ataupun tidak selama ini.
Kembali ke kedai soto Vivi dan Melody masih asik menyantap menu makanan mereka.
"Oh ya Lody. Besok kita ke air terjun dulu yuk sebelum kamu kembali ke kota seperti dulu," ajak Vivi.
"Boleh juga. Aku sudah lama tidak pernah ke sana sedangkan di kota jelas tidak ada air terjun dengan kolam mata air yang airnya sangat jernih bahkan bisa untuk bercermin dengan banyak ikan kecil yang berenang gembira di sana.
Sementara tak jauh dari tempat Melody duduk, ada seseorang yang memandang tajam ke arahnya, raut kecewa dan amarah tampak jelas menguasai dirinya terbukti dari wajahnya yang memerah dan pembuluh nadi yang bertonjolan di lehernya. Orang itu masih setia menunggu pergerakan Melody dengan menikmati menyesap rokok dan segelas es teh. Ia juga membuntuti Melody sampai gadis itu selesai berbelanja dan menaiki angkot untuk kembali ke desanya.
Angkot yang ditumpangi oleh Melody berisi empat orang penumpang. Saat melewati perkebunan tebu, angkot tersebut mogok. Seluruh penumpang diminta turun dan menunggu angkot berikutnya. Sang kondektur menganjurkan demikian, tetapi Melody yang merasa desanya sudah tidak terlalu jauh dari perkebunan tebu tersebut memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki, ia takut hujan akan segera turun karena sedari tadi awan gelap sudah menyapa pertanda akan datangnya hujan lebat. Syukur-syukur tidak disertai angin kencang. Melody melangkah dengan setengah berlari memotong jalan melewati jalan setapak kecil yang menghubungkan sepetak kebun tebu milik tetangganya dengan kebun jati milik juragan Harsa. Ia dulu sering melewati jalan setapak ini jika terlalu capek untuk melewati jalan utama yang jaraknya lebih jauh.
Pria itu menghentikan kendaraannya tak jauh dari angkot yang dinaiki oleh Melody dan temannya berhenti. Pria itu meludah dan menatap geram ke arah Melody. "Secantik ini rupanya. Aku harus memastikan jika Yoga gagal. Kalau tidak gadis ini bisa menjadi milik Yoga dan aku tidak akan mendapatkan apa pun. Jelas tidak bisa dibiarkan hal ini terjadi. Gadis ini harus jadi milikku, atau dia lebih baik saja," gumam pria itu sendirian.
Sementara itu Melody dan Vivi berjalan beriringan dengan riang gembira. Keresahan Melody menguap saat mendapatkan teman seperjalanan kembali. Tak bisa dipungkiri hatinya merasa resah tadi dan juga sempat terbesit pemikiran jika dirinya akan menghubungi sepupunya Yono, untung saja ada Vivi yang menemani. Rumah Vivi sudah nampak. Gadis ramah temannya itu berjanji akan mengantarnya kembali ke rumah dengan sepeda motor milik ayahnya.