"Mas, aku jadi kepikiran omongan Yono sama Melody tadi ya," ujar Jinah seraya memakai daster tidurnya.
Tarmin yang baru saja keluar dari kamar mandi lalu bertanya, "Soal apa?"
"Itu loh, orang yang parkir mobil di depan. Nggak biasanya kan ada orang parkir dekat pagar kita."
"Bisa jadi mereka sengaja parkir karena terang. Maklum lampu pojok pagar belum Mas lepas."
"Tapi kan jauh Mas. Itu mobilnya parkir di tempat yang gelap kok. Cuma kena sinar aja dikit. Duh …, perasaanku jadi nggak enak ini," ujar Jinah seraya mengusap lembut dadanya yang sudah berdebar tidak beraturan.
"Pikiraanku kok sepertinya ada hubungannya dengan Melody ya," ujar Tarmin lirih.
"Kok ngomongnya pakai bisik-bisik sih Mas? Kerasan dikit kenapa?" protes Jinah.
Tarmin membuat tanda telunjuk yang menempel pada bibirnya.
"Pelan-pelan aku takut ada telinga yang ikutan mendengar."
Jinah yang sedianya akan merebahkan tubuhnya ada akhirnya mengurungkan niatnya dan beringsut mendekati sang suami.
"Ada apa sih Mas?" ujarnya ikut berbisik.
"Aku takut kalau semuanya ada hubungannya dengan Melody."
"Masa mereka masih hidup sih Mas? Bukannya ketuanya udah mati ya Mas dua orang."
Tarmin mengedikkan kedua bahunya. "Aku kok nggak yakin ya. Pasti ada yang masih hidup ini. Mungkin lho, bisa jadi kaki kanannya yang masih dendam gitu."
"Kok serem gitu ya jadi orang kaya," balas Jinah dengan nada suaranya yang sarat keresahan.
Tarmin mengulurkan tangannya dan mengusap punggung sang istri dengan sayang. "Ini kan baru dugaanku saja. Semoga saja bukan ya? Kalau aku nggak salah ingat dulu ada tiga anak ayam yang harus dilenyapkan gitu isi surat yang diterima Juragan."
"Padahal Melody saat ini udah umur dua puluh lima tahun bukan? Seharusnya dia udah kembali pada keluarganya yang sesungguhnya."
"Aku pikir kok, Mas Sapri belum rela balikkan atau jangan-jangan mereka malah udah lupa ya."
"Kalau mereka lupa nggak mungkin ah …, Melody aja biaya sekolahnya nggak murah lho. Peralatannya aja canggih-canggih."
Berjarak sekitar tiga puluh menit perjalanan dari desa tempat Melody berada ada beberapa pria sedang duduk bersama dalam sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari ladang tebu milik warga sekitar. Rumah itu bahkan cukup terpencil jauh dari pemukiman penduduk sekitar.
"Bagaimana pantauanmu hari ini? Kamu yakin?" tanya seorang pria paruh baya sedikit tambun berkaos lengan panjang.
"Yakin sih Pak. Parasnya cantik mirip ibunya. Coba kalau nggak mirip pasti saya nggak mengenalinya."
"Jangan sampai meleset kali ini ya. Sudah dua kali aku gagal jangan sampai yang ketiga ini bernasib sama."
"Bagaimana kalau kita hancurkan gadis itu dulu. Pasti nanti dia akan bunuh diri," usul pria yang lebih muda itu.
"Siapa kira-kira yang akan kamu suruh?"
"Ada kandidat yang cocok untuk itu dan saya akan secepatnya untuk membujuknya."
"Ingat jangan gegabah kali ini. Taruhannya adalah nyawaku dan kau juga akan mendapatkan akibatnya."
Mata pria yang lebih muda membelalak menatap ngeri pada pria dihadapannya itu. Memang ucapannya dituturkan dengan nada santai tetapi jelas Bakti Sukoco tahu jika itu merupakan ancaman dan juga konsekuensi dari jumlah uang yang telah ia dapatkan.
"Sebelum kamu menyuruh siapapun itu, pastikan dulu jika target kali ini tidak salah lagi. Kau tahu aku sudah menunggu selama dua puluh lima tahun. Kau tahu tugas kali ini membuatku harus kehilangan istri dan menjauhkan putri semata wayangku dari hidupku yang penuh dengan lumpur ini."
"Mengapa Anda tidak berhenti."
Pria yang lebih tua itu memandang Bakti seolah-olah Bakti mengatakan suatu yang aneh dan tidak masuk akal. "Aku sudah terjerumus terlalu jauh dan tidak mungkin bisa keluar dari ini semua."
"Tapi Anda jadi kehilangan keluarga Anda."
"Kau pikir aku tidak tahu itu? Penyesalan pun tidak berlaku lagi sekarang taruhannya tidak hanya nyawaku tetapi juga nyawa anakku tersayang."
"Semuanya karena Kakakku yang tidak mau berbagi sedikit hartanya untukku adik tirinya ini." Mata tua pria culas itu tampak membara penuh dengan kebencian yang menumpuk di dalam hatinya.
Para anak buah yang melihatnya ada beberapa yang bergidik ngeri. Mereka paham betul sifat bos mereka yang tidak akan segan-segan menghilangkan nyawa siapapun yang berani menghalangi langkahnya.
"Brengsek sekali urusan Si Sukoco nggak ada beresnya," umpat Hendi Cahyadi.
"Urusan itu bukannya gampang Tuan. Kalau dia nggak bisa bereskan habisi saja dia," ujar Wildan asisten Hendi.
"Tidak bisa semudah itu kali ini. Kau tahu Edgar Berto sudah mulai bergerak, hanya tinggal tunggu masalah waktu saja sampai pada akhirnya dia mendapatkan aku atau Bos Besar lebih dulu mendapatkanku."
Tatapan Wildan dari bangku dengan tidak terbaca melihat sang bos yang biasanya bisa bersikap tenang, tetapi begitu menyinggung tentang pria kaya raya dari keluarga Berto itu ketenangannya tiba-tiba menguap entah ke mana. Wildan cukup tahu siapa itu Edgar Berto dirinya pribadi berdoa jangan sampai terlibat secara pribadi dengan pria itu sendiri. Semuanya sudah ia pertimbangkan jika keselamatan pribadinya dipertaruhkan di sini, ia akan menghilang terlebih dahulu. Puas dengan pemikirannya Wildan tersenyum tipis dan kemudian segera berlalu. Ia akan menjalankan rencananya, semakin cepat semakin baik.
"Pastikan orang suruhanmu adalah orang yang tepat karena jika tidak, aku sendiri yang akan menghabisi nyawanya," ancam Hendi.
Wildan sudah memiliki kandidatnya. Ia segera menelepon orang suruhannya itu untuk segera mempersiapkan diri dan mengambil kesempatan. Wildan kemudian mengirimkan pesan kepada orang itu.
"Segera lakukan rencanamu jika kamu ingin barangmu tetap kuberikan."
Pria suruhan wildan hanya tersenyum licik menanggapi pesaan tersebut, ia juga memiliki banyak rencana untuk mengerjai Melody tepatnya. Hal itu tentu saja untuk memancing agar keinginnya terlaksana juga sekaligus keinginan para bos besar. Ia sudah tidak bisa mundur saat ini itu pun jika dirinya menginginkan hal itu. Semua sudah kepalang tanggung.