Chereads / Wait for me to come back! / Chapter 12 - LUPA WAKTU

Chapter 12 - LUPA WAKTU

Malody sedang menyisir rambutnya saat ia melihat puncak kepala seseorag di ambang kusen jendela. Tina melihat gelagat sepupunya yang tidak berkonsentrasi segera mendekati melody.

"Ada apa Mbak?" tanyanya serapa berbisik.

"Kayaknya ada orang di jendela tuh," jawab Melody seraya berbisik. Sejak pertemuannya kembali dengan Yoga membuat melody menjadi pribadi yang mudah berprasangka terhadap orang asing. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang akan terjadi, entah apa itu.

Tina berjalan ke arah jendela dengan tak lupa ia meraih sapu lantai yang tersandar di samping lemari kayu tua peninggalan sang nenek.

"Buat apa sih?" tanya Melody yang sudah memutar tubuhnya mengawasi Tina.

"Buat ketok hidung belang yang berani ngintip," ujar Tina dengan sedikit keras kali ini.

Ucapan Tina itu ternyata mengundang ketertarikan seseorang yang sedang berjongkok di luar jendela. Seketika orang itu berdiri dan menjawab ucapan Tina, "Mana ada si hidung belang, sini Abang patahin hidungnya sekalian."

Tina yang kaget karena kemunculan Banyu dengan spontan memukulkan gagang sapu tepat mengenai puncak kepala pria yang seumuran dengan Tono tersebut. "Ya, ampun, Bang. Ngapain di situ?!" seru Tina seraya meringis iba melihat wajah Banyu yang memucat karena kaget terkena hantaman gagang sapu dan pria itu mengusap puncak kepalanya yang berdenyut nyeri.

"Kamu ngapain sih?! Bawa gagang sapu segala?!" tegur Banyu.

"Itu Mbak Lody, takut ada orang di jendela katanya," tunjuk Tina. Pada Melody yang meringis iba kepada Banyu.

"Kamu kan bisa tanya siapa di sana gitu? Lagian buat apa juga Abang ngintipin kalian. Waktu kecil juga kalian Abang yang mandiin," ujar Banyu.

"Yee! Beda kali Bang, dulu ama sekarang. Kita mah body udah pada seksi," kilah Tina.

"Kalau Melody percaya seksi, kamu seksi apanya dada sama pantat rata begitu," cibir Banyu.

"Tina masih dimasa pertumbuhan Abang Banyu yang ganteng. Sekarang jawab dulu pertanyaan Tina."

"Pertanyaan yang mana?" tanya Banyu seraya mengerutkan dahinya, mencoba mengingat-ingat pertanyaan dari sepupu kecilnya tersebut.

"Yang tadi itu, Abang ngapain di sini?"

"Oh ini Abang cabut daun suruhan," jawab Banyu sembari menunjukkan tumbuhan liar yang dimaksud kepada kedua sepupunya tersebut.

"Buat apaan Bang?" tanya Tina. Biasanya ia kalau membersihkan halaman tanaman liar itu selalu ia cabut dan buang dalam lubang sampah organik yang dibuat sang ayah.

"Buat obat asam urat, pegel linu, nyeri haid, sakit kepala dan lain-lain, udah gratis, gampang dicari dan sangat bermanfaat," ujar Banyu seraya berlalu.

"Cara pakainya makan aja dilalap atau rebus terus minum deh airnya."

"Kecuali kalau penyebab sakit kepala dompet yang kosong ya. Itu jelas obatnya bukan ini," ujar Banyu lagi seraya berlalu dari sana.

Setelah mereka sarapan bersama Melody meminta ijin untuk pergi ke rumah temannya yang tidak jau dari sana bersama dengan Tina.

"Pergi sama siapa Dy?" tanya Jinah.

"Sama Tina. Bolehkan?"

"Boleh aja. Tapi ingat jangan sore-sore pulangnya. Di warung bawah pohon waru itu sering banyak pemuda mabuk nongkrong ya," pesan sang bibi.

Namun pesan sang bibi itu terlupakan karena serunya acara perjumpaan mereka yang larut dalam senda gurau dan acara rujak bersama. Sampai rona jingga muncul di ujuk barat Melody dan Tina baru tersadar dari buaian senda gurau.

"Vera aku balik dulu ya. Udah sore banget ini, keburu magrib," pamit Melody.

Melody mengambil ponselnya dari tas yang ternyata telah kehabisan daya. Ia hanya berharap semoga sang bibi tidak mencari keberadaan dirinya dan Tina. Namun terkaan Melody meleset di tikungan sebelum warung kopi yang di pesankan oleh sang bibi, pamannya Tarmin dan juga Tono sudah menunggu mereka berdua. Tono melambai agar Tina yang mengendarai motor untuk menepi.

"Asik ya main samoai lupa waktu?" tanya Tono.

"Maaf Mas, Pak. Abisnya seru sekali," jawab Tina.

"Lain kali jangan diulangi ya, kamu tahu sendiri daerah sini bagaimana? Apalagi jauh dari rumah penduduk, kalau sampai disalahin orang dan nggak ada yang lihat. Siapa mau tolong, hm?" tutur Tarmin.

"Iya Pak, maaf,"

"Iya Paklik maafkan saya tadi yang ajak Tina sampai lupa waktu."

"Ya udah kalau gitu ayo kita langsung pulang. Melody bonceng sama Tono ya, Tina sama Bapak." Akhirnya mereka berpindah kendaraan.

Benar apa yang dikatakan oleh Tarmin dan Tono. Warung sederhana itu sudah penuh dengan para pemuda, Melody mengenali beberapa di antaranya termasuk ada Yoga juga di sana. Ada juga beberapa pemuda yang berasal dari desa tetangga. Kebetulan letak warung itu yang sangat strategis berada di perbatasan tiga desa.

"Wih … Yono menang banyak nih!" seruan salah seorang pemuda.

Kemudian pemuda yang lain menimpali, "Nggak pernah gabung sama kita, bahaya juga nih gandengannya, yahud!"

Yono tetap diam dengan santai mengendarai motornya dengan kecepatan sedang karena sang ayah tidak berani melaju kencang. Melody yang merasa tidak nyaman mengeratkan pegangannya pada pinggang Yono hingga kedua lengannya melingkari perut ramping pemuda tersebut.

"Yon! Bagi-bagi napa?! Kenalin dong bening banget!" seru yang lain lagi. Dari ekor matanya Melody menangkap sorot mata Yoga yang sedari tadi menatap dengan tajam ke arah Melody seraya tersenyum tipis.

Melody kemudian memalingkan wajahnya menatap sisi jalan yang lain. Ia merasa risih ditatap sedemikian rupa dengan pria asing itu. Melody semakin tidak merasa nyaman, ia hanya bisa berdoa semoga selama dirinya masih di sini, dirinya tidak akan berurusaan atau bertemu dengan Yoga lagi.

Malam harinya, Melody melakukan panggilan pada Vera temannya.

"Gimana Ver, bisa temani aku nggak besok ke sungai?"

"Bisa dong, ke air terjun aja gimana? Ajak Tina juga, mumpung aku masih libur," usul Vera.

"Wah boleh banget itu. Tapi bukannya tempatnya agak jauh?"

"Makanya kita harus berangkat pagi kalau nggak mau ke sorean pulangnya."

Melody sengaja menanyakan hal itu karena arah ke air terjun itu melewati warung kopi yang mereka lewati kemarin. Melody masih sangat enggan jika harus bertatap muka dengan Yoga. Tadi saja sebelum Melody melakukan panggilan dengan Vera. Melody mendapati Yoga dengan mengendarai sepeda motornya berhenti di seberang jalan rumah pamannya ini. Entah apa yang dilakukan pemuda itu, jika saja si pemilik rumah tidak keluar dan menyapanya pria itu pasti masih berdiam di depan pagar rumah orang dengan tingkah anehnya.

Melody menaruh ponselnya di atas meja belajar Tina begitu selesai melakukan panggilan dengan Vera. Ia berjalan ke arah jendela dan bermaksud untuk menutup korden saat ia melihat di perbatasan antara pagar rumah pamannya dan milik tetangganya ada sebuah mobil sedan kapsul berwarna hitam berhenti. Mobil itu tampak tidak mencolok tetapi untuk Melody terasa ganjil jika mobil itu berhenti di sana. Sedangkan rata-rata penduduk di sini memiliki halaman rumah yang luas.

Melody bergegas menutup jendela dan kemudian keluar kamar mencari keberadaan Yono. Melody menemui Tono yang sedang asik menyeduh coklat panas dalam teko sedang di dapur.

"Mas Yon, itu di depan kok ada mobil mencurigakan ya," lapor Melody.

Yono masih asik dengan kegiatannya seraya menjawab, "Masa sih? Mas dari tadi nggak dengar suara mobil-." Belum selesai Yono berkata, suara mesin mobil yang dihidupkan terdengar sampai dapur mereka.

Rupanya tidak hanya satu mobil tapi tiga mobil. Melody dan Yono mengintip dari balik korden jendela dapur yang dibuka sedikit.

"Ya 'kan Mas, mencurigakan?"

"Ya udah yuk biarin aja," kata Yono seraya menepuk bahu Melody.

"Mendingan kita makan pisang aja sambil nonton rame-rame," timpal Yono lagi.

"Anggap aja bukan siapa-siapa. Positif thinking." Yono berkata sembari mengangkat nampan minuman sedangkan Melody membawa piring berisi pisang goreng ke depan.

"Bu, dengar nggak suara mobil di depan, barusan?" tanya Yono.

"Dengar sih, paling tamu sebelah."

"Tapi, sepertinya pengendara nggak turun deh Bulik," ujar Melody.

"Masa?" tanya Tarmin dengan raut wajah penasaran.

"Memang sih nggak kelihatan jelas dari kamar tadi. Tapi tangan yang di atas kemudi kelihatan lho, kena pantulan lampu pinggir jalan itu," terang Melody.

"Udah Mas bilang jangan dipikirkan. Siapa tahu memang tetangga sebelah. Daerah rumah kita ini aman kok."