Adyatama menatap ponselnya, sungguh ia sudah sangat rindu dengan kekasihnya. Apa mau dikata ia harus menyelesaikan tanggung jawabnya dulu di Inggris. Ia melirik jam di dinding sudah pukul dua dini hari tetapi entah mengapa kantuk tak jua menyapanya. Perasaannya tidak enak tetapi semua anggota keluarganya sudah ia telepon satu persatu dan tampaknya mereka baik-baik saja.
Ah.. mungkin aku cuma kecapekan saja.
Adyatama mencoba kembali membaringkan dirinya di ranjang dan menyimpan ponselnya di atas meja kerja di samping ranjangnya.
Melody berjalan di peron kemudian duduk dikursi tunggu tempat penjemputan. Ia mengedarkan pandangannya di deretan mobil dan motor yang berlalu lalang, tampaknya sepupunya itu belum menampakkan diri. Kemudian ia dikejutkan oleh tepukan ringan pada bahu kanannya ia seketika memalingkan wajah melihat siapa yang telah menepuk bahunya.
Tatapannya pertama kali bertemu dengan tatapan tajam menilai seorang pria tampan yang ia tahu bernama Yoga Tanwira putra Harsa Tanwira pemilik pabrik tahu terbesar di desanya. Kemudian ia melihat Yono sepupunya.
"Ih ... Mas Yono ngagetin Lody aja."
"Mas tadi sempat ragu. Wong adekku wuayune jian. Byuh.. Kok bisa cantik gini sih kamu Nduk? Ck..ck.ck.." ujar Yono seraya menilai Melody dari puncak kepala sampai kakinya.
"Makanya punya pacar biar auranya terpancar seperti Lody to Mas ...hihihi," canda Melody.
Terdengar dengusan samar dari belakang tubuh Yono, tetapi sepertinya hanya Melody yang memperhatikan itu. Raut wajah Yoga tampak tidak suka dengan apa yang ia utarakan .
Ah.. bodo amat bukan urusan dia juga!
"Oh ... Jadi Nduk ayu dah punya pacar to. Wis.. wis.. cepet nikah ya Nduk. Ingat umur," ujar Yono seraya menggapai tas berisi pakaian Melody dan membimbingnya berjalan ke arah parkiran.
Yono kemudian berhenti di tengah jalan. "Wah.. hampir lupa aku. Masih ingat Yoga nggak? Dulu sering main ke rumah simbah." Yono memperkenalkan Yoga. Ia sempat melupakan temannya itu yang sudah berbaik hati mengantarnya dengan mobilnya guna menjemput Melody.
Yono mengerutkan dahinya menatap temannya yang sedari tapi menatap Melody dengan pandangan memuja. Yono menarik sudut bibirnya, rupanya temannya ini menaruh hati pada Melody.
"Nduk, ingat nggak?" tanya Yono lagi.
"Oh ... nggih mas. Lody ingat kok," jawab Melody dengan wajah sedikit merona dan senyumnya yang menawan melirik kepada Yoga. Sejujurnya Melody sangat tidak nyaman dengan tatapan Yoga. Tetapi demi saudara sepupunya ia harus meredakan kegugupannya.
Yoga tersenyum hangat menyambut senyuman Melody kemudian pria itu menjabat tangan Melody dan mengusap punggung tangannya sekilas dengan ibu jarinya.
Akhirnya kamu kembali dan kali ini aku akan mendapatkanmu! Lihat saja.
Melody kemudian menyimpan tasnya di dalam lemari kamar Tina sepupunya, kemudian ia duduk di kursi kayu depan meja belajar. Meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada orangtua dan juga Adyatama mengabarkan jika ia sudah tiba. Melody berjalan ke arah jendela dan melihat keluar, tampak pamannya sedang sibuk menurunkan kayu bakar dan menyusun beberapa balok batako yang digunakan sebagai alas tungku dari tanah liat supaya tidak mudah basah terkena genangan air. Acara pernikahan di desa sungguh berbeda, para tukang masak dan tetangga saling bahu membahu. Canda dan tawa mereka sungguh membuat hati ini menghangat dan lebih bersemangat. Melody pun beranjak dan keluar bergabung dengan sanak saudara yang lain setelah membersihkan diri.
Di luar para pria yang lain sedang sibuk menata tenda dan meja serta kursi. Musik sudah di putar keras-keras sejak kedatangan Melody tadi, malam ini akan diadakan siraman sang mempelai wanita sedang bersiap diri.
"Rencana berapa hari Nduk? Jangan cepat-cepat pulang ya?" tanya Jinah begitu Melody menempatkan diri di sampingnya.
"Rencananya tujuh hari Bulik. Majikannya nggak ada di rumah soalnya," jawab Melody seraya memilah sayur mayur untuk acara hajatan esok hari.
"Cieee ... majikan apa pacar?" goda Tina.
Melody tersipu malu, "Keduanya lah," jawab Melody.
"Hush ... Pacar dong, sebentar lagi juga Lody nyusul Titin," sanggah Jinah.
"Kok Bulik bersiap-siap?" tanya Melody yang masih mendapati sang bibi masih bersantai di sana.
"Masih antri dirias nih adikmu aja masih di sini," terang Jinah seraya menunjuk ke arah Tina.
"Tina udah mandi Bu, bentar lagi tinggal dandan aja."
Tak jauh dari mereka ada seseorang yang menghentikan kegiatannya yang sedang mengupas kulit kelapa. Wajahnya memerah marah, menatap tajam ke arah tiga wanita yang sedang sibuk bergurau itu dengan kedua tangan mengepal di sisi badannya.
"Ya udah sana panggil Bapak sama Masmu. Mereka juga masih sibuk mengurusi kayu di belakang," perintah Jinah. Tanpa menyahuti perintah sang bunda, Tina segera bergegas menyusul Bapak dan sang kakak.
"Bapak Ayo mandi keburu tamunya pada datang lho. Besannya juga!" seru Tina dari ambang pintu dapur.
Yono yang baru saja datang dari halaman samping, sembari meletakkan arang kayu yang ia bawa di sebelah tangan dan sebelah tangannya yang lain membawa seikat potongan kayu, kemudian menatap paras pemuda tersebut dan ia mengerutkan keningnya. Lalu pandangan matanya beralih menatap kepada Melody.
"Lihat apa Mas?" tegur Tina.
"Itu lihat," tunjuk Yono pada pemuda itu.
"Segitunya lihatin si Lody, kek mau makan orang aja," tambah Yono.
Tina mengedikkan bahu seraya mencibir dan berkata, "Kok dia semakin aneh ya sejak pulang dari kota? Mentang-mentang lihat cewek mulus."
"Adiknya Mas semua cantik, makanya banyak yang kesemsem," jawab Yono seraya mengalungkan tangannya di bahu Tina.
"Tapi aneh banget dia lho Mas," protes Tina seraya berbisik. Yono mengedikkan bahunya dan berlalu ke dalam dapur. Ia sebetulnya sedikit terusik dengan cara pandang pemuda itu, tetapi ia masih berpikir semuanya baik-baik saja.