Adyatama berjalan mondar mandir di teras depan menunggu kedatangan Melody. Ia tak akan berangkat ke bandara sebelum Melody ikut mengantarnya pergi. Seluruh barang bawaannya dan bundanya pun sudah siap didalam mobil. Ayahnya sendiri juga yang akan mengantarkan ke bandara. Adiknya Anulika masih tidur, ia dan ayahnya juga akan berangkat malam ini.
Tap.. tap.. tap
Terdengar langkah tergesa-gesa dari dalam rumah. Melody menggapai pintu dan terengah-engah, ia kesiangan. Ia lupa memasang alarm, karena Adyatama berangkat pukul tiga pagi dari rumah. Wajahnya pun tampak kuyu karena mengantuk.
Adyatama mengulurkan buket bunga yang dipegangnya.
"Ini buat kamu ya." Adyatama mengulurkan tangannya dan memakaikan kalung emas putih dengan liontin berbentuk hati dan ditengahnya ada satu batu intan kecil tersemat.
"Mas, ini bagus banget. Makasih ya."
"Iya, itu sengaja aku kasih supaya kamu ingat aku terus. Jangan digadai ya apalagi dijual?"
"Iya Mas." Melody mengangguk dengan tersenyum haru menatap kekasih hatinya yang sebentar lagi akan pergi menuntut ilmu ke negeri nun jauh di sana.
Melody memandangi punggung gagah Adyatama dengan rasa haru dan sedikit tidak reja hati melepas sang kekasih pergi. Rasa sesak menghimpit dadanya dengan membayangkan jarak yang memisahkan mereka. Walaupun ia baru bersama dengan Adyatama dua tahun tetapi rasanya mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya.
Melody menarik nafas dalam-dalam dan menghibur dirinya sendiri dengan berasumsi jika nanti Adyatama akan sering menghubungi dirinya. Toh perkembangan jaman sudah canggih, jaman sekarang apa yang tidak bisa dilakukan. Ia berjanji akan selalu menjaga diri dan juga hatinya untuk Adyatama pastinya. Pastinya ia juga akan memantaskan dirinya untuk bersanding dengan Adyatama untuk menjadi wanita mandiri dan tidak membuat malu keluarga Alsaki dan keluarga Sukarto.
Tujuh tahun kemudian...
Selama Tujuh tahun ini Adyatama bersama dengan Melody semakin dekat, Melody sudah menerima Adyatama sebagai kekasihnya saat pemuda tersebut menginjak usia ke tujuh belas tahun. Melody berdalih sebagai kado ulang tahun Adyatama. Dua bulan lagi Adyatama akan kembali ke Indonesia dan itu artinya Melody yang saat ini sudah berusia dua puluh lima tahun akan segera melepas masa lajangnya, karena Adyatama berencana akan meminangnya.
"Nduk, Ibu mau pulang kampung sebentar. Kamu, Ibu tinggal di sini nggak papa 'kan?" tanya Tinah.
"Ada acara apa Bu?" tanya Melody sembari melipat pakaian di atas keranjang.
'Sepupumu Titin mau nganten."
"Bagaimana kalau Nduk aja yang balik Bu, dia juga udah lama nggak ketemu sodara di kampung," saran Sapri ayah Melody, yang sedang duduk-duduk santai bersandar di daun pintu sembari merokok.
"Oh iya kamu aja balik. Kalau Bapak sama Ibu yang balik biayanya jadi dobel. Tapi kalau kamu sendiri berani ndak?" Tinah merasa ide suaminya bagus juga tetapi di dalam lubuk hatinya ia juga merasa khawatir melepas anak gadisnya untuk kembali.
"Ya berani to Bu. Toh juga nggak lama kan? Paling seminggu ya?" tanya Melody.
"Iya semingguan lah Nak. Tapi gimana ya? kok Ibu merasa nggak enak lepas kamu balik sendiri," ujar Tinah raut wajahnya mengisyaratkan kekhawatiran.
"Bu, Lody udah dewasa masa iya balik kampung nggak berani. Udah Ibu tenang aja sebelum Mas Tama balik Lody udah ada di sini lagi."
Tinah dan Sapri sang suami bertukar pandang dan saling tersenyum mereka bahagia anaknya dicintai oleh pria berada, setidaknya derajat mereka ikut terangkat.
***
Sapri mengantarkan putri semata wayangnya ke stasiun untuk kembali ke desa mereka. Kereta Melody berangkat pukul tujuh pagi. Melody tidak berpamitan pada majikannya Davka dan Almira karena keduanya sedang berada di Cianjur menengok perkebunan teh milik mereka.
"Hati-hati ya Nduk, salam untuk semua. Oh ya, kamu udah bilang Mas Tama belum?" tanya Sapri.
"Nggih pak, sampun," jawab Melody seraya menata barang bawaannya di bagasi atas tempat duduknya.
Sapri mencium kening sang putri kemudian ia pergi keluar dari gerbong kereta. Entah mengapa ia merasa enggan melepas putrinya kembali pulang. Ia sadar putrinya sudah bukan anak kecil lagi, ia merasa ada firasat buruk akan menimpa putrinya. Tetapi segera ia tepis jauh-jauh semua itu. Menghibur dirinya sendiri jika sang putri pasti akan baik-baik saja.
Melody tersenyum dan melambaikan tangannya kepada sang ayah dari jendela gerbong keretanya. Ia merasa heran tidak biasanya ayahnya mencium keningnya seperti tadi.
Kenapa Bapak kayak sedih gitu ya?
"Jangan lupa nanti Yono sepupumu yang jemput ya Nduk!" seru Sapri.
Melody lagi-lagi tersenyum dan mengangguk. Perasaan Sapri semakin tidak karu-karuan ia merasa senyum putrinya akan lama terbit kembali.
Ono opo to iki?
Sapri menunggu sampai kereta yang membawa sang putri berangkat kemudian ia mengambil ponselnya dan menghubungi saudaranya di desa.
"Hallo, Jinah. Lody udah berangkat. Titip anakku ya."
"Nggih mas, nduk ayu aman kok. Pasti tak jaga."
"Ya wis, matur nuwun."
Sapri kemudian segera menyimpan ponselnya dan kembali ke rumah Alsaki.
Melody sempat tertidur di dalam kereta ketika ponselnya bergetar, ia kemudian terbangun dan segera mengangkat panggilan tanpa melihat nama penelepon.
"Hallo Sayang, bobo ya?" Suara merdu kesayangannya di seberang sana mengalun menyapa.
Seketika Melody terjaga, "Hallo Sayang, iya Lody bobo di kereta ini."
"Hati-hati di sana ya Sayang. Jangan lirik-lirik, ingat kamu milik aku." Adyatama mengingatkan.
"Iya Sayangku," jawab Melody seraya berbisik, pasalnya saat ini para penumpang yang duduk disebelahnya menatapnya dengan penuh tanda tanya.
Ish.. kepo!
"Sayang juga jaga diri baik-baik ya, i love you."
"I love you to, darling ... mmmuuahhh!" jawab Adyatama, mengahiri panggikan teleponnya. Ia masih ingin berbicara panjang lebar tetapi dirinya memberikan waktu untuk sang kekasih beristirahat.
Melody kembali menyimpan ponselnya di dalam saku jaket bagian dalam. Hatinya berbunga-bunga karena perhatian Adyatama tak pernah berkurang walaupun jarak ribuan mil memisahkan fisik mereka. Kekasihnya selalu menyempatkan diri menanyakan kabar dan kegiatannya. Pria baik hati yang tak pernah memandang perbedaan status sosial mereka. Selalu memperlakukan orang tua dan dirinya dengan sopan dan baik.