"Lho Mas Tama kok nggak bantu Melody?" tanya Almira.
"Ih ... Bunda nih, kalau Tama bantu jadi cepat selesai Lodynya siapin baju Mas," protes Tama.
"Yey ... nggak boleh gitu to yo Mas. Ingat lho nggak baik cowok, cewek di dalam kamar berduaan terlalu lama, terlebih Mas sama Melody udah remaja bukan anak-anak lagi."
"Iya Bunda, Mas tahu kok. Soalnya kalau di kamar bertiga itu satunya setan," jawab Adyatama yang mencandai sang bunda. Adyatama menyeringai jahil kepada bundanya yang sudah cemberut.
"Jadi maksud Mas, Bunda setannya gitu? 'Kan kita bertiga di sini," protes Almira dengan mukanya yang tertekuk menatap anak sulungnya.
Adyatama seketika melompat dari ranjangnya dan memeluk sang bunda seraya tergelak lantang.
"Ya ampun Bunda bukan begitu," bujuknya, dengan gemasnya Adyatama menciumi pipi bundanya dan derai tawanya yang tak berhenti.
"Lody, besok ikut Pak Timan antar kami ke bandara ya?" ujar Adyatama sembari mencomot timun yang sedang dipotong Tinah.
Melody yang sedang membantu ibunya mencuci piring hanya menganggukkan kepala setelah sebelumnya menatap ibunya kode meminta ijin yang disetujui oleh Tinah.
"Mas Tama itu timunnya belum dicuci," terang Tinah.
"Nggak apa bersih kok, duh Mas pasti nanti di sana jadi kangen sama potongan timun Bi Nah," ujar Adyatama.
Tinah melongo kemudian wajahnya memerah mendengar gombalan Adyatama. "Ah Mas Tama lebay. Mana ada yang begitu? Potongan timun di mana-mana sama. eh, beda ding ya kalau di restoran seperti yang waktu ini," Tinah tersipu malu dibuatnya.
"Sekali-sekali godain mertua 'kan nggak apa ya Bi," goda Adyatama seraya memeluk pinggang Tinah dari belakang dan menyandarkan kepala di bahunya.
Tinah menghentikan kegiatannya dan membalas merangkul Adyatama dengan rasa hangat. Bagaimanapun ia sudah menganggap anak majikannya ini seperti anaknya sendiri. Ia juga menyayangi mereka.
"Mas Tama, Bibi pasti kangen banget nanti sama Mas," kata Tinah lirih dengan titik airmata sudah mengalir dari sudut matanya.
"Nanti nggak ada yang ajakin Bibi ke restoran yangbikin acarnya bisa tipis-tipis itu Mas yang makannya pake saos," kata Tinah lagi.
Melody yang melihat kedekatan mereka ikut terharu dan terisak lirih. Ia menatap keduanya dan menghentikan kegiatannya.
"Nanti Lody ajak Ibu sama Bapak ke sana, tenang aja," timpal Melody.
Adyatama menangkup bahu Tinah dan memeluknya erat. Ia juga pasti akan merindukan calon mertuanya ini. Setelahnya Adyatama menggandeng Tinah dan menggeser kursi untuk Tinah duduki beserta Melody di sebelahnya. Tinah menggenggam telapak tangan Adyatama yang berada di atas meja.
"Mas Tama, nanti lama nggak sekolahnya?"
"Sekitar enam tahun sekolahnya. Tapi nanti setiap liburan pasti Mas pulang kok."
"Kok lama banget Mas, kayak SD?" protes Tinah polos, wanita paruh baya itu tak segan-segan memperlihatkan kesedihannya akan ditinggalkan oleh juragan ciliknya. Pasalnya tidak hanya satu anak yang pergi tetapi keduanya akan pergi bersamaan dengan tujuan tempat yang berbeda.
Adyatama tersenyum menawan dan melirik Melody. Melody menunduk tersipu malu, pasalnya pancaran mata Adyatama seperti pria yang telah dewasa dan benar-benar penuh cinta.
"Kalau pemilik hatiku mau sabar menunggu, semoga nggak sampai enam tahun mas udah selesai sekolahnya." Adyatama memberi kode dengan dagunya ke arah Melody.
"Mas, ih ... bisa aja godain Melody melulu."
"Eh! Bentar lagi bakalan lama Mas nggak bisa godain, bisa juga lewat video aja."
Tinah memalingkan wajah menatap putrinya yang masih setia menunduk dan tersipu. Pipi Melody sudah semerah tomat masak. Walaupun ia gadis kampung tetapi sejak tinggal dengan keluarga Alsaki badannya semakin terawat karena Almira sendiri tidak suka melihat para asisten rumah tangganya berpenampilan lusuh. Apalagi ia tahu sang putra menaruh hati pada Melody.
"Bibi juga boleh pake video yang di laptop ya Mas? Itu Laptopnya Lody canggih banget. Mahal katanya Bapak," ujar Tinah.
"Boleh banget pokoknya, nanti Mas bakalan hubungi semuanya. Bisa pakai tivi yang ada di ruang kerja Ayah juga nanti biar sama-sama," terang Adyatama. Adyatama senang dengan bujukannya itu, paling tidak wajah pembantu kesayangannya menjadi sedikit ceria dan melupakan sejenak jika dirinya akan segeraa pergi.
Anulika memasuki dapur kemudian membuka pintu kulkas dan mengambil botol dingin miliknya. "Eh tumben pada kumpul nih. Bikin rujak timun ya bi?" tanya Anulika. Seraya menatap irisan timun yang menganggur di mangkok.
"Enggak Mbak, ini Bibi mau buat ayam geprek. Itu timunnya buat lalapan nanti."
"Oh buat yang banyak ya Bi. Nanti Bang Rendra mau makan bareng kita, 'kan lusa Lika berangkat ke Amrik."
Tinah mengerutkan dahinya. "Amrik, apa itu mbak?" tanyannya.
"Ammewricka ..." ucap Anulika dengan logat seperti orang bule berbicara bahasa indonesia. Ia terkikik dan kemudian berlalu saat ponselnya berdering nyaring.
***
Davka duduk santai sembari menonton berita di televisi bersama dengan Almira.
"Nggak terasa ya udah dua tahun kita kembali bersama dan sekarang anak-anak malah mau sekolah jauh," kata Davka.
"Iya, cepat banget besarnya mereka. Coba bukan anak jenius ya pasti masih SMP aja. Hehe."
"Yah, nggak apa juga sih jadi nanti mereka cepat bisa bantu ayah di kantor atau di perkebunan. Kalau mereka udah bisa Ayah lepas, Ayah bisa pensiun dini dan kita berdua bisa berduaan terus sepanjang waktu iya 'kan sayangku?" ucap Davka sembari menyurukkan wajahnya di ceruk leher Almira yang berada di sampingnya.
"Sayang ih mesum," protes Almira.
"Nggak apa lagi sama istri sendiri juga."
"Ye ... iya lah masa iya sama istri tetangga."
"Sayang, udah beres belum urusan untuk Lika?"
"Sudah ada Kian Dario yang bantu. Dia yang akan jadi wali untuk Lika di sana. Kebetulan rumah mereka, strategis agar dia nggak perlu waktu lama untuk ke kampus. Ayah nggak mau Lika tinggal di asrama, asrama di sana berbeda dengan di sini."
"Syukur deh kalau gitu Mimi jadi tenang."
"Karena besok kita sama-sama berangkat ayo nabung dulu."
"Nabung apa sih Ayah?"
"Bikin dedek buat si kembar," ujar Davka dengan memainkan alisnya naik turun. Kemudian ia menggendong Almira dan membawanya ke dalam kamar mereka.