Tinah berjalan mondar mandir di dapur setelah Adyatama menyingkir dari dapur. Ia gelisah sehingga tidak sadar meremas serbet yang berada dalam genggamannya. Sejujurnya ia senang tetapi juga dirinya dan sang suami tidaak bisa memutuskan semuanya. Banyak pertimbangan jika sampai Melody bergabung dengan keluarga Alsaki. Ah, tidak hanya keluarga Alsaki saja tetapi semua keluarga terpandang yang akan dipilih sang putri. Tatapan kosongnya melihat keluar jendela dapur sampai tidak menyadari jika sang nyonya sudah bergabung dengan dirinya.
Almira masuk ke dapur dan mendapati Tinah sudah duduk terbengong dengan pandangan mata kosong menatap teko air yang sudah mendidih sedari tadi. Almira melangkah mendekat dan mematikan kompor. Kemudian ia mengulurkan tangan menyentuh bahu sang ART.
Tinah tergagap, "Eh nyonya," ujarnya gugup seraya menunduk.
"Ada apa sih Bi, ada masalah?" tanya Almira seraya mendudukkan diri berhadapan dengan Tinah sembari meraih mangga dan atas meja dan mengupasnya.
"Nggak nyonya, nggak ada apa-apa. Cuma itu anak-anak," jawabnya dengan terbata-bata.
"Ada apa dengan anak-anak?"
"Aduh gimana ya bilangnya ... em ... itu lho." Tinah memandang gusar kepada sang nyonya majikan.
"Apa sih?" Almira memandang wajah sang ART dengan penasaran.
"Itu tadi Mas Tama, minta ijin saya untuk pacaran sama Melody."
"Oh itu ya udah kasih aja to. Namanya juga anak-anak. Enakkan kita nanti besanan," ucap Almira santai.
"Nyonya gimana to, kok boleh?"
"Lho kenapa harus tidak? Melody anak yang baik hati. Selama ini dia juga terlihat sayang dengan kembarku. Yo wis to biar aja. Kalau memang mereka berjodoh kita bisa apa."
Tinah terharu, hatinya bahagia ternyata majikannya sangat baik budinya. Tak pernah mempermasalahkan latar belakang keluarganya yang berasal dari orang tak punya.
***
Adyatama berbaring di gazebo berbantalkan paha Melody yang duduk bersandar disalah satu pilar.
"Lody mau nggak jadi pacar aku? A-"
"Mas Tama ..." Melody memotong perkataan Adyatama.
"Tunggu, aku belum selesai ngomongnya." Adyatama mengangkat sebelah tangannya membekap mulut Melody.
"Jadi gini, emang sih aku masih kecil. Tapi sebentar lagi 'kan udah remaja gede gitu jadi udah boleh pacaran, kata Ayah kalau udah delapan belas tahun baru boleh." Adyatama kemudian bangkit duduk menghadap Melody.
"Mau nggak Melody jadi pacar aku?" Adyatama menurunkan tangannya yang membekap mulut Melody yang sekarang terbengong menatap Adyatama. Ia tak menyangka jika rasa cintanya terbalas.
Oh my, ngimpi apa aku semalam yah? Batin Melody yang seketika menunduk menatap kedua tangannya yang terjalin di pangkuan.
"Jangan nunduk gitu dong. Ayo jawab, mau ya cantik?" rayu Adyatama. Pertanyaan yang memaksa, ada kesungguhan dan tak rela ditolak dalam setiap kata yang terucapkan oleh Adyatama.
"Emmm ... Gimana ya mas? Aku kan lebih tua udah gitu orang miskin," Lody dengan muka memelas dan menahan malu.
"Emang kenapa kalau lebih tua? Kakek sama Nenek juga beda enam tahun lebih tua Nenek lho. Sekarang lihat aja sama tuanya 'kan? Umur nggak masalah lagi. Aku juga miskin kok, masih semua tergantung sama Ayah. Yang penting sekarang Lody mau dulu ya? Pokoknya tunggu aku kembali ya. Mas sekolah dulu di luar, biar semakin pintar dan bisa bantu Ayah urus perusahaan setelahnya aku lamar kamu." Adyatama memandang lekat-lekat wajah cantik Melody.
"Atau mau kita tunangan dulu? Ahh ... Tapi nggak bisa soalnya umurku masih kurang. Bingung ih," timpal Adyatama seraya mengacak-acak rambutnya.
Kelakuannya itu membuat Melody yang hatinya gundah untuk memilih bersikap akhirnya mengulurkan tangannya merapikan rambut Adyatama lagi.
"Jangan digituin rambutnya, gantengnya berkurang nanti," protes Melody keceplosan.
Raut wajah Adyatama sudah merona, ia menggigit bibir bawahnya. Tetapi ia tetap membiarkan Melody berkonsentrasi merapikan rambutnya sedangkan ia menikmati menatap paras cantik gadis di depannya.
"Jadi jawabannya apa?" tanya Adyatama dengan tidak sabar.
"Tunggu ya Mas, Lody pikir dulu." Melody sengaja mengulur waktu. Walaupun sejatinya hatinya ingin menjawab 'Ya' tapi jelas semuanya harus dengan pertimbangan yang matang. Ia tahu betul bagaimana sifat Adyatama ini, pria muda yang selalu konsisten dengan apa yang ia ucapkan.
Adyatama cemberut kemudian ia menghela nafasnya, "Jangan lama-lama mikirnya ya. Keburu berangkat akunya."
Melody mengangguk, "Iya mas Tama ganteng." rayunya.
"Emm mas, jadi packing nggak? Yuk Lody bantu."
Seketika wajah Adyatama berbinar karena ajakan melody. Gadis itu ingin membantunya benar kata Joshua, Melody seperti istrinya. Eh apaan sih kencing aja belum lurus udah mikir istri. Adyatama geli sendiri dengan pemikirannya dan kemudian ia menepuk dahinya. Ia yakin sekali Melody sebenarnya juga menaruh hati padanya, hanya saja karena usianya yang dianggap masih kanak-kanak gadis itu menjadi sungkan.
Tak apa-apa pelan tapi pasti Melody suatu saat nanti pasti menjadi miliknya. Adyatama akan mengunci hatinya rapat-rapat hanya untuk Melody seorang. Ia yakin pasti sanggup walaupun pasti di luar sana banyak gadis yang lebih baik dan cantik dari pada Melody tapi gadis ini sederhana dan tak kalah cantik pastinya.
"Mas, Lody bingung ini apa aja yang mau di masukkan?" tanya Melody yang sudah berdiri di dalam walking closed milik Adyatama.
"Kemeja, celana panjang, boxer, cardigan aja, yang lain nanti beli di sana kata bunda," terang Adyatama sembari tengkurap di atas tempat tidur dengan bermain ponsel. Ia sengaja tidak mau membantu Melody agar bisa berlama-lama dengan gadis itu di kamarnya. Ekspresi serius gadis pujaannya saat menata pakaiannya ke dalam koper bagi Adyatama adalah pemandangan yang akan selalu ia ingat. Setiap gerak geriknya diperhatikannya tanpa terlewatkan sedetikpun.
"Hemmm gitu sih orang kaya mah bebas," gumam Melody. Melody kemudian melirik ke arah Adyatama yang sedang menatapnya tapi sepertinya pemuda itu tidak mendengar apa yang ia ucapkan tadi. Entahlah Melody tak bisa memprediksi reaksi Adyatama tetapi ia tahu Adyatama tidak pernah marah terhadapnya.
Keasikan Adyatama memperhatikan Melody terusik karena kedatangan sang bunda.