Tangan kiri Tama terulur menahan bahu Melody saat gadis itu akan membuka pintu mobil. Melody membalikkan badan menoleh ke belakang pasalnya ia duduk di depan sebelah mang Asep.
"Ya, Mas Tama?"
"Nanti aku tunggu di gazebo belakang kalau kamu udah nggak capek ya. Ada yang mau aku omongin, mumpung aku belum berubah pikiran," pinta Tama.
"Ngomong apa mas? Mbok sekarang aja?" jawab Melody yang penasaran.
"Nanti ah," tukas Tama sembari melirik mang Asep wajahnya sudah merona.
Mang Asep tersenyum simpul melihat interaksi keduanya. Juragan kecilnya sudah mulai mengenal cinta rupanya.
Melody menganggukkan kepala, "Lody makan siang dulu ya Mas Tama nanti terus Lody menyusul ke gazebo," terang Melody.
Sekarang gantian Tama yang menganggukkan kepala lalu meraih map berisi ijazah yang sudah dilegalisir smbari membuka pintu mobil.
Bundanya sudah menunggu di depan. Almira tersenyum menyambut sang putra datang, ia kemudian merentangkan tangan menyambutnya. Tama mendekat dan memeluk sang bunda. Almira mengecup pipi sang putra yang bongsor sudah hampir setinggi dirinya diusianya yang ke empat belas tahun.
"Mana Mbak Lika, Nak?" Almira melirik ke belakang tubuh sang putra guna mencari keberadaan sang putri.
"Katanya diantar sama Bang Rendra."
"Naik motor?"
"Nggak sih, bawa mobil kok Nda. Tadi sempat ketemu sama Tama minta ijin."
"Iya lho, Bunda suka ngeri kalau Lika bonceng sepeda motor soalnya adikmu itu 'kan gampang mengantuk."
Tama mengangguk dan tersenyum simpul, "Paling sekarang dia juga udah tidur di mobil."
Keduanya terkekeh dan masuk ke dalam rumah.
***
"Lika duduk di depan ya sebelah Abang," pinta Narendra.
"Iya Bang."
Narendra membukakan pintu mobilnya kemudian ia berlari kecil mengitari mobil dan duduk manis di balik kemudi. Narendra tersenyum simpul menatap gadis pujaannya.
Anulika tampak kesusahan memasang seat belt. Narendra mengulurkan tangannya dan membantu memasangkannya. Jarak mereka wajah mereka sangat dekat debat jantung Narendra sudah membabi buta sedangkan gadis itumenunduk berkutat dengan ujung seat belt yang susah digerakkan.
"Sini Abang bantu?"
Klik ...
"Nah sudah terpasang sekarang," ujar Narendra lembut. Anulika menegakkan kepalanya menoleh kearah Narendra.
Cup ...
Kecupan lembut dari bibir Narendra mendarat dengan sukses di keningnya. Narendra kelepasan ia tak bisa menahan hasratnya, terlebih sebentar lagi gadis pujaannya akan segera meneruskan pendidikan di luar negeri. Ia harus segera menyatakan perasaannya.
Tangan Anulika terulur memegang keningnya persis tempat yang tadi dicium oleh Narendra.
"Abang kenapa cium Lika ?" tanyanya polos.
"Karena Abang suka."
"Suka cium-cium gitu?"
Tangan Narendra terulur meremas telapak tangan Anulika.
"Suka ciumnya sama Lika aja."
"Kenapa begitu?" tanyanya dengan raut wajah sepolos bocah. Eh emang masih bocah 'kan ya. Secara masih empat belas tahun.
"Abang suka dan cinta sama Lika," ucap Narendra dengan nada suara yang bergetar menahan rasa gugup dan rasa senang sekaligus lega karena sudah menyatakan perasaannya. Walaupun dalam hati pemuda itu berdebar menunggu jawaban sang gadis pujaan hatinya.
Anulika tertawa terbahak-bahak, dengan tangannya yang bebas ia memukul dada Narendra.
"Abang lucu ih ... pake cinta-cinta sama Lika, Lika masih kecil lho Bang. Baru juga dapat menstruasi. Sama Bunda dan Ayah nggak boleh cinta-cintaan dulu. Abang harusnya cari yang seumuran Abang dong," sanggah Anulika dengan kejujuran perkataannya bahkan tanpa malu-malu mengungkapkan dirinya yang sudah dalam tahap menjadi seorang gadis seutuhnya.
"Nggak bisa sayang karena Abang maunya sama Lika. Lika nggak harus jawab sekarang tapi nanti jika Lika sudah siap baru bilang sama Abang ya?" Narendra menatap wajah Anulika dengan lembut seraya mengusap surainya yang indah.
Abang berharap Anulika nantinya akan menerima pernyataan cinta Abang ya Sayang, amin.
Anulika mengangguk dan tersenyum membalas kata-kata Narendra.
"Sekarang kita pulang ya? Atau mau mampir makan dulu?"
"Kalau jajan dulu gimana? Lika pingin ice cream."
"Baiklah tuan putri."
"Bang, nanti kalau Lika bobo di mobil nggak papa ya. Lika ngantukan, bolehkan Bang?"
"Boleh dong Cinta," kata Narendra seraya mengerling kepada Anulika.
"Geli ih dipanggil cinta. Panggil Lika aja."
"Lika cintanya Abang."
"Nggak gitu juga kali Bang." Narendra terkekeh mendapat protes oleh Lika.
Biarlah begini dulu paling tidak ia sudah tidak memendam perasaan pada gadis ini. Saingannya lumayan banyak, walaupun Lika masih kecil tetapi ia imut, polos dan cantik. Terlebih pipinya yang chubby karena masih tertinggal raut muka kanak-kanaknya.
***
"Bi Nah, cemilan Mas Tama mana?"
"Ini Mas baru disiapin. Ada acara apa to? Temennya pada datang ya?"
"Mau kencan sama Lody."
Tinah melotot menatap Adyatama tak percaya. Juragan ciliknya mau kencan dengan putrinya?
"Mas Tama bercanda 'kan ya? Ojo gitu mas."
"Emangnya muka Mas kelihatan bercanda? Mas serius lho dan Bi Nah harus setuju. Nggak boleh larang lody nanti jadi istri Tama," ujarnya dengan raut wajah serius.
Tinah menelan salivanya kasar, ia masih berusaha mencerna setiap perkataan dari sosok juragan kecilnya itu, "Mosok lamar anak Bibi begitu sih?" gumamnya.
Ternyata Adyatama mendengarnya, "Baru bilang dulu Bi, lamaran resminya nanti tunggu kalau Tama udah selesai sekolah dan belikan Lody rumah," tukasnya.
"Aduh Mas ... mimpi apa aku to."
"Mungkin mimpiin Mas jadi menantu," jawab Tama dengan cengiran khasnya yang menawan. Jangankan para gadis, pelayan di rumahnya pun senang dengan senyuman sang juragan cilik.
"Nggak pernah mimpi sih tapi tak aminkan saja wis. Makasih ya Mas Tama."
"Amin. Eh makasih buat apa? Mas nggak kasih apa-apa kok. Udah sini nampannya Tama bawa sendiri."
"Awas nanti tumpah."
Adyatama mengulurkan tangannya, "Nggak bakal, Mas kuat lho. Udah gede."
Melody sudah duduk di gazebo sejak lima menit yang lalu. Tak jauh dari tempatnya berada sang ayah Sapri sedang membersihkan dedaunan di atas kolam renang. Angin lumayan kencang di siang yang panasnya sangat menyengat dikulit ini. Melody sejatinya tahu dengan apa yang akan diutarakan oleh Adyatama, ia bukannya seorang gadis yang dengan mudah jatuh cinta atau punya banyak mantan di sekolahnya. Tetapi karena wajahnya yang cantik sungguh sering menarik lawan jenisnya, tak sedikit dari mereka sudah menyatakan cinta kepadanya tetapi ia tolak dengan baik-baik. Katakanlah Melody sedikit gila, ia bukannya memilih pemuda yang seusianya tetapi malah memilih bocah lelaki yang baru saja akil baliq, padahal di antara mereka semmua jelas dari keluarga sangat mampu dan ada beberapa yang terpandang di masyarakat.
Bayangan Adyatama muncul di balik pintu penghubung samping bersamaan dengan selesainya Sapri membersihkan kolam renang. "Bapak tinggal dulu ya, Nduk? Tuh Mas Tama dah datang, bantuin sana," ujar Sapri seraya berlalu dari sana.
Adyatama membawa cemilan dan minuman ke gazebo. Sesaat sebelum sampai Melody datang menghampiri dan meraih nampan yang dibawa oleh Adyatama.
"Jangan sayang, kamu duduk aja. Mas kuat kok."
Melody mengalah dan kemudian duduk di pinggir gazebo. Wajahnya sudah merona karena panggilan sayang oleh Adyatama. Senyumnya yang ceria bak mentari yang sedang terik sedari tadi tak lepas dari wajahnya.