Chereads / The Last Wind / Chapter 36 - Flashback (Sky Bar in Stockholm)

Chapter 36 - Flashback (Sky Bar in Stockholm)

Xavier Martin langsung terbang ke New York usai mendapat kabar tentang kematian Lea. Kabar yang diterimanya masih sangat sulit dicerna, bagaimana mungkin perempuan yang diam-diam telah menempati hatinya sejak lama meninggal begitu saja, bahkan sebelum sempat mendengar pengakuannya.

Tentu saja, sangat sulit baginya untuk mempercayai itu sebagai fakta. Belum lagi, Lea adalah seseorang yang penuh misteri dan dapat merekayasa berbagai hal hanya untuk mencapai tujuannya atau mendapatkan targetnya.

Xavier kembali merenungi perkataan Lea pada saat mereka menghabiskan malam di salah satu Sky Bar di kota Stockholm.

Malam itu, mereka sengaja kembali ke sana tanpa Leo untuk membenarkan asumsi publik bahwa hubungan keduanya masih sangat harmonis. Kesempatan itu mereka manfaatkan karena kamera paparazzi terus mengintai.

Tentu saja, kebersamaan Xavier dan Aurélie tidak bisa lepas dari sorot kamera paparazzi yang sangat tertarik pada percintaan Xavier. Mereka pun tidak lagi bisa mengelak dari semua itu karena sejak awal telah sepakat terlibat dalam fake scandal demi kepentingan masing-masing.

"Hubungan palsu kita harus segera berakhir", bisik Lea pada Xavier, lalu kembali menikmati mocktail non-alcohol.

"Lihat saja kondisinya, pengumuman itu tidak memungkinkan dalam waktu dekat karena bisa memicu kekecewaan publik", bisik Xavier, kemudian meneguk semua red wine yang mengisi gelasnya.

"Aku punya pilihan lebih baik, we can make it real", lanjutnya.

"I don't think it's a good idea", jawab Lea.

"Why?", tanya Xavier.

"Am I not good enough for you?", tanyanya lagi.

"Bukan itu masalahnya, but I have a fiancee", jawab Lea.

Xavier terdiam. Lalu, kembali meneguk minumannya tanpa kata. Kemudian, memeluk Lea dalam diam dan membenamkan dirinya selama beberapa saat, menyembunyikan kekecewaan yang terlalu jelas.

"Apa yang kamu lakukan?", tanya Lea seraya mencoba melepaskan diri karena Xavier tidak melepaskan pelukannya setelah beberapa waktu.

"Don't move! Please, stay like this for a moment. Now, I'm not okay. Let me hug you for a while", ucap Xavier yang saat itu memeluk Lea semakin erat.

Lea membalas pelukan itu seraya mengatakan, "Everything will be all right, but it takes time". Lalu, menepuk-nepuk pundaknya untuk menenangkannya. Bagaimanapun, Lea tahu bahwa Xavier mirip seperti dirinya.

Mereka sama-sama berasal dari keluarga broken-home dan memilih hidup terpisah dari orangtua. Selain itu, ada berbagai masalah yang membuatnya benar-benar frustasi di balik gemerlap dunia yang ditinggalinya. Ketika bersama Lea, Xavier dapat melupakan segalanya, mengatakan apapun, melakukan apapun, dan menjadi diri sendiri tanpa rasa takut dihakimi.

Segala kenyamanan dan ketenangan yang didapatkannya saat bersama Lea, pelan-pelan membuatnya melihat Lea sebagai kekasih yang sebenarnya. Sehingga, adakalanya, dia mengabaikan fakta bahwa hubungan mereka tidak nyata. Lebih tepatnya, bagi Lea, Xavier hanya seorang sahabat sekaligus kerabat.

"I'll find a way to disappear without affecting your career", ucap Lea.

"Don't worry!", lanjutnya.

"Aku bahkan tidak memikirkan itu", lirih Xavier.

"Baiklah, ayo kembali! Leo menungguku", ucap Lea.

"Sepertinya dia akan mengerti meski kamu tidak kembali", ucap Xavier sambil tersenyum, lalu kembali mengangkat gelasnya.

"Cukup, jangan minum lagi!", ucap Lea.

Lea memindahkan gelas wine dari tangan Xavier. Lalu, meletakkan tangan Xavier ke pundaknya dan memapahnya kembali ke kamar.

"Kamu sebaiknya berterimakasih padaku setelah sadar", ucap Lea seperti meracau usai menempatkan Xavier di atas tempat tidur.

"Jangan pergi!", ucap Xavier yang kemudian memeluknya dari belakang.

"Xavier, kamu benar-benar mabuk sekarang", ucap Lea.

Xavier hanya menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih bersandar pada pundak Lea. Kemudian, Lea mencoba melepaskan tangan Xavier yang masih melingkari pinggangnya.

Lea berbalik arah menghadap Xavier usai membebaskan diri dari pelukan itu. Tapi, Xavier kembali memeluknya.

"Jangan bertindak konyol, aku bisa marah", ucap Lea sambil meletakkan kedua tangannya pada pipi Xavier.

"Jadilah penurut!", lanjutnya.

"Baiklah", ucap Zavier yang akhirnya melepaskan tangannya.

Lea membantunya kembali ke tempat tidur, membantunya berbaring, lalu menyelimutinya dengan selimut hangat.

"Aku pergi, selamat malam", ucap Lea sambil mengusap rambut Xavier.

"Selamat malam", ucap Xavier yang kini seperti setengah tertidur.

Lea mematikan lampu, lalu meninggalkan kamar Xavier pukul 1 pagi dan kembali ke kamarnya. Dia menghela nafas berat yang dipenuhi rasa bersalah di depan pintu kamar yang baru tertutup itu. Sekali lagi kejadian serupa terulang; Lea kembali menyakiti orang yang tidak ingin disakitinya.

Lea bukan orang yang tidak mengerti bagaimana pemikiran orang lain terhadapnya, apalagi jika itu adalah orang yang sangat dekat dengannya. Dia pun tahu apa yang diinginkan Xavier darinya. Tapi, dia hanya tidak bisa memberikan hatinya pada laki-laki yang juga mempunyai tempat khusus di hatinya itu. Baginya, Xavier Martin adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya, mereka saling memahami penderitaan masing-masing, dan mereka sangat mirip; dilahirkan untuk menjadi manusia kesepian dan tidak dirindukan oleh siapapun.

🍁🍁🍁

Adakalanya, Lea memperlakukan Xavier bagaikan seorang anak kecil, begitupun sebaliknya. Dia bahkan tidak segan menginap di rumah sahabatnya itu. Hal serupa juga dilakukan Xavier, dia sama sekali tidak segan membangunkan Lea di tengah malam buta hanya untuk memasakkan sesuatu untuknya. Atau, mendatangi rumah Lea dalam keadaan setengah mabuk, lalu Lea memapahnya ke tempat tidur. Dan, keesokan harinya Xavier harus siap-siap mendengar omelan sang sahabat yang lebih mirip omelan seorang ibu.

"Baiklah, aku mendengarkanmu dengan baik. Tapi, sekarang aku lapar, berikan aku sarapan", kalimat serupa itu selalu terulang setiap kali Xavier bangun keesokan paginya.

"Aku menyiapkan sup rumput laut untuk menghilangkan pengarmu", balas Lea seraya meletakkan semangkuk sup rumput laut di hadapan Xavier yang masih dalam kondisi semrawut dengan rambut acak-acakan dan berbau alkohol.

"Kenapa kamu belum mandi? Aroma alkohol memenuhi seluruh rumahku", ucap Lea.

"Aku akan membelikanmu selusin pengharum ruangan, rumahmu akan baik-baik saja setelah itu", ucap Xavier cengar-cengir.

"Kamu terlihat glamour di luar sana, tapi kenapa kamu terlihat sangat miskin di depanku? Kemana Xavier Martin yang super star itu?", omel Lea.

"Aku memang miskin, yang kaya adalah mereka yang membawaku ke dunia", balasnya santai.

"Kamu anak yang sangat berbakti", balas Lea.

"Lihatlah siapa yang bicara. Kata-kata seperti itu tidak berhak keluar dari mulutmu. Kamu bahkan lebih buruk dariku, apa aku salah?", balas Xavier.

"Aku memang lebih buruk darimu. Tapi, kamu tau kan kenapa semua berakhir seperti sekarang?", balas Lea skakmat tapi masih mencoba membela diri.

"Ya, bukan salah kita. Salah mereka yang tidak ada saat kita paling membutuhkan mereka. Sekarang saat kita tidak membutuhkan apapun dari mereka, mereka menawarkan semuanya yang seharusnya mereka berikan sejak dulu", jawab Xavier.

"Tepat sekali. Itulah mengapa aku selalu merasa kita memang ditakdirkan menjadi teman baik", balas Lea.

"Ini benar-benar enak, Lea Aurélie Miller adalah yang terbaik", ucap Xavier mengakhiri topik berat mereka sebelumnya.

"Dan kamu adalah yang terburuk. Bagaimana setiap kali mabuk, kamu selalu datang ke rumahku. Benar-benar merepotkan", ucap Lea.

"Aku tidak memiliki siapapun untuk direpotkan selain Aurélie. Kamu tahu kan, mereka hanya memberiku uang dan ingin memberiku perusahaan, tapi tidak dengan waktu dan cinta mereka", ucap Xavier.

"Baiklah, aku akan berhenti mengomelimu", balas Lea mulai melunak.

"Kemari Nak, biarkan Ibu memelukmu", lanjutnya sambil memeluk Xavier.

"Tapi nanti kamu akan mengomeli anakmu ini lagi, kan?", balas Xavier.

"Apa kamu berencana mabuk lagi dan kembali ke rumahku?", tanya Lea lalu melepaskan pelukannya dan mendorong kepala Xavier.

"Itulah yang aku pikirkan", balasnya.

"Aku akan mengunci pintu rumahku", ucap Lea.

"Tapi kamu akan selalu membukanya setiap kali aku datang dalam keadaan mabuk atau tidak", ucap Xavier lalu tersenyum.

"Aku menyerah bicara denganmu. Sekarang makanlah, aku hanya punya sandwich dan susu hangat", ucap Lea.

"Aku akan ke kampus sekarang. Mandi dan ganti bajumu sebelum pergi. Aku sudah memesan baju untukmu, mungkin sebentar lagi kurir akan mengantarnya", ucap Lea lalu meninggalkan Xavier yang masih di meja makan.

"Terimakasih, Aurélie adalah yang terbaik. Nona Miller, semoga harimu menyenangkan", balas Xavier.

Lea hanya melambaikan tangannya dari belakang sebelum pergi. Sementara Xavier bertahan di meja makan seperti tuan rumah.

Sedekat itu hubungan mereka, bahkan Lea belum pernah membiarkan laki-laki manapun termasuk mantan-mantan pacarnya menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Tapi, seorang Xavier bebas keluar masuk dari sana tanpa istilah jam malam. Bagaimana mungkin paparazzi tidak tertipu dengan hubungan seperti itu?

🍁🍁🍁