Usai mata kuliah pertama, Zavier kembali ke ruang studio miliknya. Berbaring di atas tempat tidur sambil merenungkan semua perkataan Jihan tentang hubungan setting-an antara Lea dan Xavier. Tapi, hubungan mereka terlalu nyata untuk dibantah. Belum lagi, bukti-bukti akurat yang dikirimkan oleh agent yang disewanya, berdasarkan foto-foto yang diterimanya menunjukkan fakta yang berbeda.
Dia benar-benar bingung, antara mempercayai itu atau tidak. Meskipun, dari dalam hati yang terdalam, sungguh dia ingin mempercayai hubungan itu hanya setting-an belaka karena itu lebih melegakan hatinya.
"Ok, anggaplah hubungan mereka palsu, tapi...", batinnya kembali terusik.
Pertanyaan baru tiba-tiba muncul di benaknya, bagaimana jika hubungan palsu itu telah berubah menjadi nyata. Bukankah cinta tumbuh dan berkembang seiring waktu?
Mungkin setelah beberapa kebersamaan, setelah menghabiskan banyak waktu bersama, setelah berpetualang ke berbagai negara bersama, setelah berkali-kali melewati moment romantis bersama, bukan tidak mungkin hubungan mereka akan berubah. Perasaan mereka bisa saja berkembang menjadi hubungan romantis yang sering dialami wanita dan pria yang awalnya hanya berteman baik.
Zavier tidak ingin berlarut-larut bersama rasa penasaran yang sangat mencekik dan hampir membunuhnya dari dalam. Sehingga, dia memilih mendatangi Jihan, menanyakan dengan segelas-jelasnya.
Zavier meninggalkan studio dan mendatangi beberapa tempat yang biasa didatangi Jihan, tapi bayangannya bahkan tidak terlihat. Pada akhirnya, dia menyerah berkeliling tanpa kepastian dan memilih mengetik nama Jihan di clipboard handphone-nya, lalu menghubunginya.
"Lo di mana?", tanya Zavier setelah panggilan itu terhubung.
"Perpus", jawab Jihan singkat.
Zavier memutuskan sambungan telepon tanpa aba-aba, lalu muncul di hadapan Jihan berselang 5 menit kemudian.
"Ada apa?", tanya Jihan.
"Lea beneran gak sama Xavier Martin?", tanyanya.
"Enggak", jawab Jihan.
"Kenapa Lo seyakin itu? Apa buktinya mereka gak jadian?", tanya Zavier lagi.
"Shhtt, tolong jangan berisik!", ucap seseorang.
Zavier memaki seseorang yang menyuruhnya diam dengan tatapan mata. Sorotan tajam nan sinis itu membuat lawannya ciut, kemudian segera meninggalkan perpustakaan.
"Kalau tujuan Lo ke sini bukan belajar, mending Lo keluar aja", jawab Jihan.
"Dan, satu lagi, kalau mau tau lebih jelas, mau lebih yakin, tanya aja langsung sama Lea", lanjutnya sambil membenahi buku sebelum akhirnya meninggalkan perpustakaan.
"Lo mau kemana lagi?", tanya Zavier.
"Ke kantin, gue laper", jawab Jihan.
"Gue ikut Lo deh ke kantin", ucap Zavier.
"Ok", jawab Jihan.
"Anggap aja gue lagi jagain tunangan sahabat gue biar gak didekatin cewek lain", lanjutnya seperti orang yang sedang berkumur.
"Lo ngomong apa barusan?", tanya Zavier kaget karena hampir tidak mempercayai pendengarannya.
"Apa? Gue gak bilang apa-apa", jawab Jihan.
"Tadi, barusan, Lo ngomong apa?", tanya Zavier lagi.
"Gue cuma bilang, bilang apa ya? Gue lupa", jawab Jihan.
Zavier hanya menarik nafas panjang, tidak ingin memperpanjang masalah dengan Jihan yang saat ini memiliki kartu As di tangannya. Jadi, dia hanya bisa membiarkan Jihan terus mempermainkannya seperti orang bodoh.
🍁🍁🍁