Chereads / Dear Kamu / Chapter 10 - Chapter 10

Chapter 10 - Chapter 10

Harry memandang keran shower dan memutarnya. Membiarkan air yang menyeruak keluar dari sela-sela lubang shower membasahi kepalanya yang terasa panas. Dia butuh mendinginkan kepalanya setelah apa yang terjadi hari ini.

"Nah, itu mereka," Dewa menunjuk segerombolan cewek-cewek yang sedang duduk sambil asik berselfie ria di dalam kafe yang bertema minimalis tersebut.

Harry yang memang tidak terlalu bersemangat untuk ikut acara itu jalan dengan sedikit lambat dan ogah-ogahan. Sementara keempat temannya sudah lebih dulu masuk kedalam kafe.

"Loh, kalian cuma berempat?" tanya salah satu dari kelima cewek tersebut saat keempat teman Harry sudah memasuki kafe.

"Ngg, temanku satu lagi ketinggalan dibelakang," jawab Dewa dengan canggung. "Mana si Harry?" bisiknya pada Reinald.

"Tuh baru masuk," Farrel yang menjawab.

"Har, buruan," Dewa memberi isyarat agar Harry segera mendekati mereka.

Harry menghela napas. "Anjirr, gue merasa kayak perjaka ga laku ikut acara begini." Batinnya.

Dia memandang kearah lima cewek yang kini menatapnya, empat dari mereka menatap Harry dengan  pandang terpesona, tapi satu dari mereka, cewek yang duduk di pojokan menatapnya dengan pandangan lain, rasanya Harry mengenal tatapan itu.

Langkahnya terhenti saat dia menyadari siapa cewek yang kini menatapnya dengan tatapan super menusuk itu. Tubuhnya membeku dan lidahnya terasa kelu.

"Ma…Marlene," gumamnya.

"Apa, Har?" tanya Farrel yang mendengar gumaman Harry. Tapi Harry tidak menjawab. Wajahnya berubah pias.

"Ayo silakan duduk," kata cewek-cewek itu.

Keempat cowok duduk dibangku yang bersebrangan dengan kelima cewek itu, sementara Harry masih berdiri dengan tatapannya yang tak lepas dari Marlene yang kini membuang mukanya kearah lain.

"Har, elo ngapain sih, buruan duduk," tegur Dewa yang mengembalikan kesadaran Harry.

Harry yang merasa malu segera mengambil posisi duduk dihadapan seorang cewek yang lumayan cantik dengan rambut tergerai panjang. Sebenarnya cewek-cewek yang datang di acara kencan buta hari ini memang cantik-cantik semua, Harry mengakui itu, dia juga mengakui bahwa Marlene yang duduk bersilangan dengannya tampak jauh lebih cantik dari yang terakhir dia lihat.

"Ehm, langsung aja ya. Jadi kalian pasti udah tahu kalau kita disini bertemu karena satu alasan, yaitu acara kencan buta. Acara ini dibuat oleh Kak Defina yang sepertinya sudah kalian kenal juga sebelumnya. Dia sering membuat acara kencan buta seperti ini untuk mempertemukan para jomblowan jomblowati yang merasa kesulitan untuk menemukan pacar," cewek yang duduk ditengah membuka pembicaraan, dari cara bicaranya yang penuh percaya diri sepertinya dia adalah pemimpin dari grup kencan buta cewek hari ini.

Keempat cowok itu mengangguk. Sebenarnya mereka bisa kenal dengan Kak Defina yang disebut-sebut itu dari sebuah forum internet yang mengatakan kalau Kak Defina itu mak comblang level dewa yang selalu berhasil menjodohkan orang-orang (kebanyakan anak SMA) lewat acara kencan buta, setelah mencari tahu lebih banyak, lalu Dewa-lah yang berinisiatif menghubunginya pertama kali dan kebetulan sekali Kak Defina saat itu sedang membutuhkan lima cowok untuk ikut kencan buta dengan cewek-cewek adik kelas dari almamater SMA-nya di SMA Tunas Bangsa.

"Seharusnya Kak Defina juga datang hari ini untuk membicarakan rule acara ini, tapi dia berhalangan hadir karena sedang ada kuliah, jadi aku akan mewakili dia hari ini. Lalu dia juga memberikan kertas susunan acara yang harus kita lakukan setelah ini."

Selanjutnya, cewek itu mengeluarkan kertas yang kemudian dibagikan kepada mereka semua.

"Jadi yang namanya Kak Defina itu sahabat elo?" bisik Harry pada Dewa yang kebetulan duduk disebelahnya.

"Sebenarnya sih bukan. Dia itu alumni SMA Tunas Bangsa yang sering bikin acara beginian. Gue juga baru kenal dia dari forum internet. Dia itu cewek yang keren bro. Dia berhasil bayar kuliah dari uang hasil bikin acara ini. Visinya juga keren, visinya itu menjadikan dunia yang lebih baik tanpa jomblo," balas Dewa setengah berbisik.

Harry mengerutkan keningnya. 'bayar kuliah dari uang hasil acara beginian?'

"Jadi ini ga gratis?"Harry melotot.

Dewa mengangguk. "Satu orang bayar 300 ribu. Elo tenang aja, kita berempat udah kolekan buat bayar punya elo."

"Gila…ini gila." Batin Harry. Harry tahu kalau mereka memang orang-orang kaya tapi demi bisa punya pacar keempat temannya itu tidak merasa sayang harus mengeluarkan uang begitu besar hanya untuk ikut acara beginian. Harry menepuk jidatnya. Jadi, kalau begitu… Harry menatap Marlene yang ternyata diam-diam sedang menatapnya. Cewek itu buru-buru mengambil kertas susunan acara dihadapannya dan pura-pura membacanya.

"Jadi dia juga bayar untuk ikut acara ini?" bisik Harry dalam hati.

Disaat yang sama Marlene juga sedang memikirkan hal serupa. Apa Harry juga sedang mencari pacar? Sampai-sampai cowok itu rela membayar untuk ikut acara ini. Jadi selama ini cowok itu-pun menjomblo seperti dirinya? Marlene menggeleng-gelengkan kepalanya. "Peduli amat sama dia. Mau dia jomblo seumur hidupnya juga gue ga peduli. Gue udah ga ada hubungan lagi sama dia." Batinnya.

"Jadi mari kita berkenalan lebih dulu. Silakan kalian lebih dulu."

"Aku Dewa, dan ini keempat temanku. Yang di pojok itu Firman, Farrel, lalu Reinald, dan ini Harry."

"Oh, namanya Harry," beberapa cewek-cewek itu menggumamkan nama Harry dengan suara yang tidak jelas.

"Selanjutnya kami. Dari pojok kiri, Ranita, Andien, aku sendiri Riska, lalu ini Fita dan terakhir Marlene."

Wajah keempat cowok itu tampak sumringah setelah perkenalan selesai. Mereka senang sekali karena bisa mengetahui nama-nama dari cewek-cewek cantik dihadapan mereka ini.

Acara itu-pun berlanjut. Dan selama acara itu, baik Harry maupun Marlene tidak sedikitpun berbicara. Mereka hanya menjawab apabila ditanya, selebihnya mereka lebih banyak diam. Begitupun saat mereka berpisah didepan kafe setelah acara selesai. Harry dan Marlene hanya saling menganggukkan kepala mereka sebagai ucapan perpisahan.

Harry memandang gerombolan cewek-cewek itu yang berjalan berlawanan dengan arahnya.

"Har,  elo ga mau pulang?!" teriak Firman. Harry menoleh dan mengangguk.

"Marlene kok elo pendiam banget hari ini? Lagi sakit gigi ya?" tanya Fita. Marlene hanya tersenyum dan menggeleng.

***

Harry mematikan keran shower dan keluar dari kamar mandi. Air menetes dari rambutnya yang masih basah, menimbulkan bercak-bercak air di lantai kamarnya. Dia pun segera mengenakan pakaiannya dan mengeringkan rambutnya di balkon kamarnya. Hembusan angin menerpanya.

"Jadi gimana tadi acara kencan butanya?" suara Jordy terdengar membuatnya kaget setengah mati.

"Elo ngagetin gue aja. Kayak setan kalau nongol ga ada suaranya," sahut Harry ketus.

"Gue udah disini dari tadi, kok," sahut Jordy ringan lalu memetik gitar yang sedang di pegangnya. Dia menyenandungkan sebuah lagu dengan nada lirih dan pelan sehingga Harry tidak bisa mendengarnya.

Balkon kamar Harry dan Jordy saling berhadapan. Sebenarnya balkon kamar Hanny juga berhadapan langsung dengan balkon kamar Jordy yang luasnya hampir separuh dari luas kamar mereka berdua namun saat ini Hanny masih tidur di kamar bawah karena kakinya yang terkilir masih terasa sakit. Jadi kamar cewek itu kosong dan tampak gelap.

"Elo belum cerita ke gue tentang acara kencan buta lo tadi siang," kata Jordy dengan nada menuntut. "Inget, ga ada rahasia diantara kita."

"Yah, apa yang mau gue ceritain ke elo, gue juga bingung," Harry menggaruk-garuk kepalanya.

"Yang jelas sih tadi gue ketemu Marlene," kata Harry.

"Kalau itu gue udah tahu. Bagian itu di skip aja," kata Jordy kurang ajar. Harry meringis.

"Terus bagian mana yang pengen elo tau? Sepanjang acara aja gue cuma bisa diem. Gue ga berani ngomong didepan dia. Gue bingung harus gimana. Disatu sisi gue ga mau ketemu lagi sama dia. Tapi hati gue yang lain bilang kalau gue senang banget bisa ketemu lagi sama dia. Elo tahu'kan kalau sejak hari itu dia ga mau ngeliat gue, ga mau bicara sama gue sampai akhirnya gue sama dia pisah sekolah," kata Harry.

Jordy mengangguk-angguk.

"Dia pasti berpikir kalau gue ikut acara kencan buta ini karena lagi cari pacar," kata Harry.

"Loh, emangnya bukan?"

"Tentu aja bukan. Emangnya gue segitu ga lakunya sampai-sampai ikut acara begituan. Elo lupa sama si Karina yang ngejar-ngejar gue dari SMA kelas 1 sampai sekarang? Atau si Sasha yang udah nembak gue puluhan kali dari tahun kemarin?"

"Atau si Martha, sahabat Hanny yang cinta mati sama elo tapi elo cuekin terus," sambung Jordy seraya menggoda. Harry tersenyum masam.

"Gue tahu elo bukannya ga sadar, tapi pura-pura ga sadar'kan sama perasaan si Martha?"

"Elo mengenal gue dengan sangat baik, ya," kata Harry.

Jordy mengedikkan bahunya. "Seperti yang elo bilang, kita sahabatan udah dari orok. Jadi gue udah tahu elo luar dalam."

Harry terkekeh.

"Gue juga tahu kok, kalo sampai sekarang elo belum bisa move-on dari Marlene," kata Jordy yang membuat Harry tertegun.

Harry mendengus. "Entah. Dibilang belum move-on tapi gue udah bisa ngelupain dia selama dua tahun belakangan ini sampai hari ini datang."

"Makanya harusnya gue ga ikut acara ini, karena itu bikin gue malah harus bertemu dia lagi, dan parahnya lagi…," Harry terdiam sejenak, tampak ragu.

"Apa?"

"Dan parahnya lagi, dia tambah cantik sekarang," Harry menutupi wajahnya yang kini memerah.

Jordy terbahak melihat ekspresi Harry.

"Dia emang udah cantik dari dulu. Tapi, sekarang dia lebih cantik. Sumpah."

"Elo tahu ga? Ketika elo ngomong kayak gitu barusan, elo mirip om-om mesum. Jijik gue ngeliatnya."

"Gue'kan ngomong yang sebenarnya," kata Harry berkilah.

"Lalu apa rencana elo selanjutnya?" kata Jordy tidak mempedulikan ucapan Harry barusan.

"Mungkin gue ga lanjutin acara itu. Gue ga mau ketemu dia lagi."

"Ga konsisten lo. Tadi katanya senang bisa ketemu dia lagi, tapi sekarang bilang ga mau ketemu lagi."

"Gue bilang senang bukan berarti gue mau ketemu dia lagi. Gue… kalau gue terus-terusan ikut acara itu dan ketemu dia, gimana gue bisa move-on? Elo tahu kan gimana perjuangan gue buat move-on selama ini, gue fokus sama sekolah gue, ikut banyak kegiatan, gue juga ga mau pacaran sama siapa-pun, gue belum siap memulai hubungan lagi karena itu cuma bisa bikin gue inget terus sama dia."

Jordy terdiam. "Gue tahu gimana perjuangan elo. Tapi, buat move-on, pertama, elo harus mulai memaafkan diri elo atas kejadian hari itu, gue tahu yang bikin elo ga bisa move-on juga karena elo masih merasa bersalah sama Marlene atas kejadian hari itu. Dan gue rasa, elo harus minta maaf secara langsung ke Marlene. Ini udah empat tahun berlalu dan elo masih belum minta maaf sama dia. Elo melarikan diri, bro. Gue tahu kalo elo takut buat minta maaf ke dia, tapi itu artinya elo ga jantan. Gue rasa yang bikin elo belum move-on juga karena elo masih belum mendengar Marlene memaafkan elo. Gue pikir elo bisa bertemu lagi dengannya pun karena takdir, karena kalian masih ada urusan yang masih harus di selesaikan. Lo harus menyelesaikan apa yang udah elo mulai Har."

Harry menatap Jordy. Apa yang dikatakan cowok itu memang ada benarnya. Sampai sekarang, Harry tidak berani meminta maaf secara langsung pada Marlene. Dan dia sudah begitu pengecut.

Jordy kembali memetik gitarnya tapi sesaat kemudian berhenti, dia menatap Harry.

"Tapi, gue penasaran, mau ngapain Marlene ikut acara gituan, ya? Dia kan cantik, tinggal gaet cowok disekolahnya juga dapet," kata Jordy.

Harry terdiam, "Entah. Gue juga pengen tahu," Harry menatap langit malam. Bulan dan bintang tampak bercahaya temaram dibalik awan. Mereka berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

Mata Jenna mengitari pelataran kampus yang cukup lengang. Kuliahnya hari ini sudah selesai dan ditutup dengan presentasi oleh beberapa kelompok dikelasnya. Dia menatap gedung yang menjulang tinggi di sayap barat areal kampusnya yang memang cukup luas dan terdiri dari beberapa gedung fakultas.

Gedung yang menjulang itu adalah gedung fakultas teknik, tempat belajar Hendry. Sudah satu minggu berlalu sejak mereka putus dan ada rasa rindu dihati Jenna karena selama itu pula Hendry tidak pernah menghubunginya sama sekali. Memang yang meminta break adalah dirinya karena dia merasa hubungan mereka sudah mulai toxic dengan Hendry yang terus menerus merasa cemburu padanya hanya karena dia dekat dengan cowok dari fakultasnya. Dia juga yang meminta ruang untuknya berpikir ulang tentang hubungan mereka, tapi entah kenapa kini dia merasa kesepian.

Jenna penasaran apakah Hendry hidup dengan baik setelah hubungan mereka berakhir? Karena selama ini hidup Hendry hanya berputar antara rumah dan kampus. Dan orang yang paling dekat dengan cowok itu adalah dia. Sebagai pacar yang sudah bersama selama 5 tahun, wajar jika Jenna dan Hendry begitu dekat, tapi akhir-akhir ini Hendry banyak berubah, dia sering marah jika Jenna memilih pulang bersama teman-temannya, dia juga marah karena Jenna sibuk dengan kegiatan kampus. Sebagai jebolan Miss kampus, Jenna memang memiliki segudang kegiatan untuk mempromosikan kampus mereka.

Mungkin ini sudah saatnya mereka kembali bicara tentang hubungan mereka kedepannya akan seperti apa. Sedikit bergegas, Jenna setengah berlari kearah gedung fakultas teknik, dan berharap bisa bertemu Hendry.

Jenna hafal semua jadwal kuliah Hendry disemester ini. Dia juga tahu dimana saja letak ruang-ruang kelas pacarnya itu. Dan saat ini seharusnya Hendry masih dikelas laboratorium program. Jenna mengintip ke dalam laboratorium dan mendapati sosok yang dia rindukan selama seminggu ini. Sosok yang menghilang begitu saja tanpa kabar setelah putusnya hubungan mereka minggu lalu.

Hendry tampak berkonsentrasi dengan deretan algoritma dihadapannya. Sesekali rambutnya dia acak-acak karena memikirkan logika untuk bisa menjalankan program dihadapannya. Setengah jam berlalu. Pintu dihadapan Jenna terbuka lebar, mahasiswa-mahasiswa teman seangkatan Hendry menghambur keluar dari kelas. Rata-rata mereka cowok dan mereka cukup mengenal Jenna yang memang sering sekali main kegedung mereka.

"Loh, elo Jen. Cari Hendry, ya?" tanya Miko, salah satu dari sedikit teman Hendry yang mengenal Jenna.

Jenna tersenyum dan mengangguk.

"Dia masih lama kayaknya. Ada keperluan sama dosen."

Mendengar itu lagi-lagi Jenna hanya mengangguk. Hal yang sudah biasa terjadi. Hendry adalah mahasiswa yang cukup pintar di fakultasnya, dan dia sebenarnya cukup terkenal karena kepintarannya itu.

Setengah termangu, Jenna duduk menatap kakinya sambil bersenandung pelan. Hendry masih belum keluar juga dari ruang lab program. Jenna menatap pintu disampingnya yang masih tertutup..

Brak…

Seorang dosen pria setengah baya keluar diikuti oleh Hendry dibelakangnya. Dosen itu menatap Jenna sejenak. Hendry juga bisa melihat Jenna yang kini berdiri didepan mereka lewat sudut matanya.

"Kalau begitu nanti tugasnya dikumpul lewat email saja, tolong kamu beritahu yang lainnya. Batas pengumpulan tugasnya minggu depan," kata dosen itu yang kemudian berlalu begitu saja.

"Baik, pak," kata Hendry yang kemudian menatap Jenna yang masih berdiri dihadapannya.

"Ngapain kesini?" tanya Hendry dingin.

"Aku mau bicara."

Hendry mengangkat alisnya. "Rasanya udah ga ada yang perlu dibicarakan lagi."

"Tentu ada," kata Jenna tegas. "Aku mau kejelasan tentang hubungan kita."

Hendry mengerutkan keningnya, dia lalu tersenyum kecut, "Kejelasan apalagi? Bukannya kamu yang memutuskan hubungan kita secara sepihak."

"Kita hanya break, bukan putus." kata Jenna.

"Bagiku itu tidak ada bedanya. Kita sudah tidak ada hubungan apapun. Terserah jika kamu mau pergi dengan cowok manapun. Aku tidak peduli."

"Kenapa kamu berubah seperti ini? Dulu kamu tidak pernah cemburu seperti ini. Kemana Hendry yang dulu?" kata Jenna dengan marah. Nadanya meninggi dan wajahnya tampak memerah.

Hendry menghela napas. Dia bosan mengulang percakapan yang sama seperti pertengkaran mereka minggu lalu. Jenna selalu bersikeras kalau dialah yang telah berubah tanpa gadis itu mau berkaca pada dirinya sendiri kalau dirinya juga mulai berubah.

"Selama ini aku tidak pernah melarangmu pergi dengan siapapun, tapi aku hanya minta agar kamu tidak dekat-dekat dengan Ivan. Kamu sudah tahu kalau aku tidak suka, tapi kamu bersikap tidak peduli."

"Itu karena memang ada tugas kelompok dan kami berada di kelompok yang sama. Lagipula Ivan dan aku hanya berteman. Tidak ada apa-apa diantara kami. Kenapa kamu malah cemburu padanya?"

Hendry melangkah mendekati Jenna dengan tatapan tajam, Jenna tidak bisa menghindar dan hanya bisa mundur sedikit demi sedikit sampai akhirnya dia terjebak di antara dinding dan Hendry.

"Hanya karena aku tidak pernah menunjukkannya bukan berarti aku tidak cemburu. Menurutmu selama ini aku tidak pernah cemburu? Kamu tidak tahu'kan kalau selama ini aku menahan diri? Aku menahannya karena aku menghargai hubungan kita. Tidak semestinya aku cemburu pada teman-temanmu. Kamu bilang kalian hanya teman, tapi kamu bahkan pulang bersama dengannya. Ketika aku marah, kamu bilang aku berubah, menurutmu siapa yang berubah dalam hubungan kita?" tanya Hendry. Dia menggigit bibirnya kesal.

Wajah Jenna berubah, raut kemarahan menghilang perlahan dari wajahnya berganti dengan wajah sedih. Dia tidak tahu kalau selama ini Hendry menahannya, dia tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali.

"Mungkin kamu benar, hubungan kita sudah mulai tidak sehat dan break adalah jalan satu-satunya bagimu dan bagiku untuk berpikir, apakah hubungan ini layak untuk di pertahankan." kata Hendry. Dia lalu berbalik.

"Pulanglah. Aku juga akan pulang. Aku lelah dan tidak mau membicarakan ini lagi." Hendry berjalan menjauh dan menghilang dari pandangan Jenna yang mulai kabur karena air mata kini mulai membanjiri wajahnya. Apakah ini artinya tidak ada harapan lagi dalam hubungan mereka?