"Jo...!!" teriak Harry dari pinggir lapangan basket yang dibatasi oleh pagar besi yang cukup tinggi.
Tidak banyak yang bermain siang itu. Hanya ada Jordy dan beberapa orang temannya yang juga anak kelas 3. Jordy yang sedang melakukan pemanasan menghentikan aktifitasnya dan menghampiri Harry.
"Kenapa?"
"Lo main sampai sore?"
Jordy menggeleng. "Paling sampai jam 3 sore gue disini. Emang kenapa? Terus elo mau kemana? Ga main?" tanya Jordy bertubi-tubi.
Harry tertawa. "Satu-satu dong nanyanya. Gue pusing mesti jawab yang mana dulu."
Jordy mengedikkan bahunya. "Terserah elo mau jawab yang mana dulu."
"Oke. Jadi gini, hari ini gue ga ikut main dulu. Gue dipaksa sama anak-anak kelas gue buat ikut kencan buta. Nah, karena gue bakal pulang sore hari ini, gue mau minta tolong ke elo, tolong jagain Hanny dirumah. Kak Hendry ada kuliah dari pagi sampai sore jam 5 mungkin baru pulang. Bokap gue belum balik dari Bandung, kalo kak Hendra ada seminar apalah namanya itu...," cerocos Harry panjang lebar.
Jordy mengerjap-ngerjapkan matanya. Bingung dan tidak mengerti akan kata-kata Harry barusan, namun dari kata-kata panjang lebar Harry, yang dapat Jordy tangkap adalah cowok itu memintanya untuk menjaga Hanny. Sesuatu yang tidak biasanya diminta oleh cowok itu.
"Tunggu. Tadi elo minta gue buat ngejaga Hanny? Memang Hanny kenapa?" tanya Jordy.
"Oh ya, gue lupa kasih tau ke elo. Kemarin dia kecelakaan. Hari ini juga ga masuk sekolah," kata Harry.
Jordy tampak terkejut. Wajahnya berubah pucat dan cemas. Melihat itu Harry bersorak dalam hati. "Mampus, gue kerjain lo, Jo."
"Yaudah, gue titip adik gue ya. Gue jalan dulu, udah ditungguin sama anak-anak digerbang," tanpa ba-bi-bu, Harry langsung ngeloyor meninggalkan Jordy yang sekejap kemudian buru-buru bersiap untuk pulang.
***
"Loh, Han, kakak elo pada kemana?" Martha mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah Hanny dan dia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan lain dirumah itu.
"Kak Hendra kerja, kak Hendry kuliah dari pagi, klo kak Harry mah jam segini emang belom pulang," Hanny membuka keripik kentang yang dibawa oleh Martha.
Martha datang menjenguknya dengan membawa seplastik penuh berisi makanan ringan yang memang sengaja diminta oleh Hanny. Dengan dandanan super heboh, dia mengagetkan Hanny yang membukakan pintu untuknya.
Entah cowok mana yang sedang berusaha dia tarik perhatiannya. Tapi mengingat Martha datangnya kerumah ini, Hanny yakin sekali bahwa cewek itu sengaja berdandan demikian supaya dilirik oleh kakaknya, Harry.
Martha benar-benar keras kepala. Padahal dia sadar bahwa sejak pertama kali berkenalan dengannya, Harry tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikannya terhadap cewek itu.
Bahkan kakaknya itu terkesan acuh tak acuh dan tidak peduli, makanya Hanny selalu mengingatkan Martha supaya dia mencari cowok lain saja. Karena percuma, mengejar cowok kayak Harry itu hanya akan menguras energi.
"Yah, kakak elo kalo pulang memangnya jam berapa?" Martha tampak kecewa.
"Ga tentu. Bisa sore banget dia baru pulang. Namanya juga anak cowok, ngelayap kemana aja yang dia suka," kata Hanny.
"Eh kalo elo mau minum ambil aja ya sendiri. Gue lagi ga bisa melayani tamu."
Martha mengangguk. "Kalo gitu gue ke dapur dulu, deh."
Martha bergegas meninggalkan Hanny yang kini sedang menikmati keripiknya diatas kasur kamar bawah yang hangat dan nyaman.
Martha sedang membuat jus jeruk saat bel rumah Hanny berbunyi. Dalam hatinya berpikir bahwa itu pasti adalah Harry yang sudah pulang, tapi dia tidak berpikir bahwa apa mungkin seseorang akan membunyikan bel saat akan masuk kerumahnya sendiri.
Dengan semangat yang menggebu-gebu dan buru-buru bercermin di wastafel dekat dapur, Martha bergegas membukakan pintu dan kemudian kecewa. Cewek itu kecewa melihat cowok yang kini berdiri bengong dihadapannya. Cowok itu Alfin.
"A... ini rumah Hanny'kan?" tanya Alfin gugup. Dia takut kalau-kalau dia salah masuk rumah karena yang menyambutnya adalah seorang cewek dengan make up tebal dan lipstick yang merah merona yang memakai seragam sekolah yang sama dengannya.
"Ah, kok elo sih?" kata Martha judes begitu tahu bahwa orang dihadapannya ini bukan Harry.
Alfin mengangkat alisnya, bingung.
"Siapa, Tha?!" teriak Hanny dari dalam kamar. Dia tahu bahwa ada seseorang yang kini sedang bertamu dirumahnya.
"Yang pasti bukan kak Harry!" balas Martha malas.
Hanny mengernyitkan dahinya. Apaan sih si Martha, kalo ngomong ga jelas?
"Ayo masuk. Gue mau kasih tahu Hanny dulu," Martha meninggalkan Alfin yang masih berdiri didepan pintu, dengan ragu-ragu cowok itu kemudian masuk kedalam rumah Hanny dan duduk di sofa ruang tamu.
"Siapa?" Hanny mengikuti langkah Martha yang lemas dan kemudian menjatuhkan dirinya diatas kasur yang diduduki Hanny.
"Cowok elo," sahutnya pelan.
Hanny melotot. Kok Alfin tidak bilang-bilang padanya kalau mau kesini? Duh gawat, mana belum mandi dari pagi, rambut juga masih kusut dan parahnya lagi, dia masih pakai piyama semalam.
"Duh gimana nih?" Hanny mengggigit bibir. Dia buru-buru melakukan sesuatu yang bisa dia lakukan. Dia mengambil sisir dan mulai menyisiri rambutnya yang kusut.
"Ih, rambut elo pada rontok, nih," Martha menatap jijik beberapa helai rambut Hanny yang rontok diatas kasur yang sedang dia tiduri.
"Kok elo jijik gitu, sih. Emang sih gue belom keramas, tapi rambut gue bersih, kok," kata Hanny jengkel.
Dia kemudian mengorek-ngorek isi tas Martha dan menemukan sebotol parfum yang kemudian dia semprotkan secukupnya kebadannya yang sebenarnya tidak bau. Tapi dia tidak merasa pede kalau harus menemui Alfin dalam kondisi dia belum mandi.
Martha memperhatikan gerak-gerik Hanny yang kini mengganti piyamanya dengan kaos oblong dan celana pendek sambil sesekali mengaduh karena bengkak di kakinya yang tanpa sengaja terbentur meja dikamarnya itu.
"Cepetan woi. Alfin keburu jamuran nungguin elo," kata Martha.
"Aduh, iya-iya," dengan langkah pendek-pendek Hanny menuju ruang tamu yang berada persis di samping kamar bawah. Hanya saja ruang itu dibatasi oleh rak yang diisi oleh hiasan patung-patung kecil.
***
"Maaf nunggu lama," sapa Hanny pada Alfin yang sedang menunduk memandangi pigura-pigura kecil yang ada di meja kecil dekat sofa.
Melihat Hanny yang berjalan dengan susah payah, Alfin buru-buru berdiri menghampiri Hanny dan membimbing cewek itu ke sofa.
"Lukamu bagaimana?" tanya Alfin. Dia memandang bengkak di kaki Hanny yang sudah agak kempes.
"Udah lebih baik, kok. Kamu dari sekolah?"
Alfin mengangguk. "Tadi itu siapa?"
"Yang mana?" tanya Hanny heran.
"Yang bukain pintu rumah kamu."
"O... oh. Itu Martha. Teman aku. Dia satu sekolah sama kita," kata Hanny.
Alfin mengangguk-angguk. "Pantas sepertinya pernah lihat."
Hening diantara mereka. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Duh gue mesti ngomong apa, nih?" Hanny memutar otak. Sementara Alfin tidak kalah bingungnya dengan Hanny. Saat itulah dia baru ingat bahwa dia membawakan sesuatu untuk Hanny yang dia taruh didalam tasnya. Semoga benda itu tidak rusak karena guncangan.
"Oh ya, aku punya sesuatu untukmu." Alfin memecah keheningan diantara mereka. Dia lalu memunggungi Hanny dan mengambil sesuatu dari balik tasnya.
Sebuket bunga. Beberapa helai kelopaknya memang rontok tapi selebihnya bunga itu masih terlihat cantik. Yah, benar-benar kejutan yang manis.
"Kamu suka?" tanya Alfin, dia tersenyum melihat Hanny yang tampak berbinar memandangi bunga yang kini dia peluk.
"Ini cantik sekali. Makasih, ya."
Alfin memandangi Hanny. Cewek dihadapannya ini benar-benar bukan tipenya. Cewek ini tidak cantik, tidak juga lembut, malah terkesan serampangan dan kasar, Alfin menarik kesimpulan demikian saat mereka bertemu dengan Harry dan Jordy tempo hari.
Tapi kadang cewek ini bisa bersikap manis juga seperti sekarang dan sangat polos, setidaknya itu menurut penilaian Alfin. Walau awalnya dia ragu untuk menjalani hubungan ini karena memang bukan cewek ini yang dia suka, tapi seiring berjalannya waktu dia ingin belajar untuk menyukainya dan sebisa mungkin menjaganya seperti yang dipesan oleh Harry padanya. Meski demikian dia masih belum bisa melupakan perasaannya pada kak Hanny karena kakak kelasnya itu adalah cinta pertamanya.
***
Jordy menatap sepeda motor yang tampak asing yang terparkir manis didepan rumah Hanny, selain itu pintu rumah Hanny-pun tampak terbuka lebar. Sepertinya ada seseorang yang sedang bertamu. Dengan tergesa Jordy masuk kedalam rumah Hanny yang sudah dia anggap sebagai rumah keduanya.
"Han!" teriaknya.
Hanny dan Alfin yang sedang berbincang menoleh kearah datangnya suara yang begitu keras tersebut. Martha juga sampai terlonjak dan buru-buru keruang tamu untuk melihat siapa yang datang dan membuat keributan dirumah sahabatnya itu.
"Jordy?!"
Jordy menatap Hanny dan Alfin bergantian.
"Elo... elo ga apa-apa?" tanya Jordy yang menghampiri Hanny dan memegangi pundaknya dan memeriksa kalau-kalau ditubuh Hanny ada luka.
"Gue? Gue ga apa-apa, kok," sahut Hanny.
Jordy tampak lega. Cowok itu menghela napas dan tersenyum. "Syukurlah kalau begitu. Tapi, kata Harry elo kecelakaan?"
"Hah? Ng... gue emang kecelakaan sih, tapi cuma terkilir aja, kok," Hanny nyengir. Dia yakin sekali bahwa Jordy dikerjain oleh Harry mendengar bahwa cowok itu menyebut-nyebut nama Harry. Kakaknya itu memang usil dan keterlaluan jahilnya. Bahkan dengan sahabatnya sendiri-pun dia tidak segan-segan.
Jordy menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Merasa malu sekaligus lega. Malu karena dia sudah salah paham dan mempermalukan dirinya sendiri didepan Hanny dan juga Alfin. Tapi dalam hatinya ada kelegaan luar biasa mengetahui bahwa Hanny tidak apa-apa.
Padahal dia sudah takut sekali kalau-kalau Hanny mengalami kecelakaan yang parah. Harusnya dia bisa berpikir jernih saat itu bahwa tidak mungkin kecelakaannya separah itu karena Hanny hanya dirawat dirumah.
"Harry sialan," umpatnya.
Hanny tertawa, Alfin hanya tersenyum karena dia merasa tidak enak kalau menertawakan Jordy yang notabenenya setahun lebih tua darinya.
"Kak Harry kemana, Jo?" Jordy yang akhirnya memutuskan untuk merebahkan dirinya untuk sementara di sofa panjang Hanny-pun menoleh.
"Ga tahu, kalo ga salah sih dia bilang, dia mau ikut kencan buta," Jordy angkat bahu. Cowok itu melepas jaketnya dan memejamkan matanya sejenak.
"Apa?!" kali ini terdengar teriakan lain dari arah ruang tengah yang berdekatan dengan kamar bawah.
Hanny, Alfin dan Jordy serta merta menoleh kearah sumber suara. Dan disana berdiri Martha yang tampak syok berat. Cewek itu berdiri sambil berpegangan pada rak karena kakinya lemas. Entah memang lemas atau pura-pura.
Dia kan ratu drama, Hanny mencapnya demikian karena Martha memang selalu berlebihan terhadap segala hal, cewek itu bisa terpekik tiba-tiba karena senang atau menangis tersedu-sedu karena menonton video mengharukan di youtube.
Mereka bersahabat sejak kelas satu SMA. Martha yang (memang) cantik awalnya begitu ilfeel pada Hanny yang memiliki penampilan biasa, kalau Martha menyebutnya ala kadarnya. Tidak tampak aura cewek pada diri Hanny yang seringkali adu bacot dengan teman sekelasnya yang kebanyakan laki-laki (sepertinya ini kebiasaan karena sering adu bacot dengan Harry).
Benar-benar tidak ada manisnya. Tapi pandangan Martha terhadap Hanny berubah sejak cewek itu di tolong Hanny saat dirinya sedang di gencet oleh kakak-kakak kelas yang sebal dengan Martha yang mereka rasa keganjenan. Dan mungkin juga mereka cukup resah dengan adanya Martha yang bisa dengan mudah menggaet cowok-cowok kece disekolah.
Setengah berlari Martha mendekati Jordy yang menatapnya dengan heran.
"Kenapa, Tha?"
"Kak Jo, tadi kakak bilang kak Harry ikut kencan buta?" tanya Martha, dia berharap dia salah dengar karena dia memang kebetulan belum membersihkan telinganya.
"Ng... kalau gue denger sih dia bilang begitu," kata Jordy.
Martha menoleh ke Hanny dan menatap sahabatnya itu tajam. "Kata elo kak Harry ga doyan cewek?! Tapi sekarang buktinya dia lagi ikut kencan buta. Kenapa dia ikut acara gituan, sih? Kan masih ada gue yang setia menanti dia," cecar Martha.
"Mana gue tahu. Mungkin dia berubah pikiran kali," Hanny menjawab ragu-ragu.
"Ahh... pupus deh harapan gue jadi kakak ipar elo," Martha pura-pura menangis dan duduk disebelah Jordy, memeluk lengan cowok itu dan mengelap ingusnya di seragam Jordy.
Jordy tersentak. "Woi, ini seragam bukan kain lap! Aduh elo cantik-cantik jorok juga, ya."
Hanny tertawa terbahak-bahak dan Alfin mati-matian menahan tawanya.
"Ini...ini tissue. Lap pake ini," Hanny menyodorkan tissue yang ada dimeja pada Jordy.
Setengah jijik Jordy membersihkan lengan seragamnya yang terkena cairan hijau yang keluar dari hidung Martha. Martha juga ikut membersihkan hidungnya yang tersumbat. Matanya tampak merah. Padahal tadi Hanny melihat sepertinya dia cuma pura-pura menangis saja.
"Aktingnya benar-benar luar biasa, dia benar-benar cocok jadi ratu drama," Hanny geleng-geleng kepala.
Namun meski sering berkata tajam pada Martha, diam-diam Hanny merasa kasihan juga padanya, Martha sudah berusaha keras selama dua tahun ini untuk menarik perhatian kakaknya, tapi tidak mempan.
"Elo segitu sukanya ya sama kakak gue?" tanya Hanny.
"Iya." Mata Martha tampak berbinar saat menjawabnya. "Dia itu udah cakep, tinggi, pintar, jago main basket lagi."
"Masa? Perasaan yang disebelah elo juga menuhin semua kriteria itu," kata Hanny. Yang dia maksud adalah Jordy.
"Siapa? Kak Jo?" Martha menunjuk Jordy yang sedang membalas chat temannya di whatsaap.
"Kalo kak Jordy sih ga mungkin bisa gue taklukin. Hatinya udah mentok sama satu orang," kata Martha sambil mengerling ke Jordy yang terbatuk-batuk.
Hanny memandang mereka berdua dengan bingung. Alfin yang sejak tadi diam hanya memperhatikan obrolan mereka tanpa bisa ikut nimbrung seperti menyadari sesuatu. Satu orang yang Martha maksud itu apakah Hanny?
"Siapa?" tanyanya.
Jordy menyikut Martha, Martha meringis. "Ahahah... bukan siapa-siapa, kok."
"Eh, ngomong-ngomong gue pulang dulu, ya. Gue lupa kalo gue ada janji sama Rudi malam ini. Mau dinner bareng." Martha buru-buru masuk kedalam kamar bawah dan mengambil tas serta jaketnya.
Dia lalu bercipika cipiki dengan Hanny dan berpamitan pada Jordy dan juga Alfin.
"Rudi itu siapa?" tanya Jordy setelah Martha pulang. Kini hanya tinggal mereka bertiga saja dirumah itu.
"Pacarnya," jawab Hanny singkat.
"Baru lagi?" Jordy melotot. Hanny mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hebat'kan. Ngakunya naksir berat sama kak Harry, cinta mati sama dia tapi giliran di tembak cowok mah diterima juga."
Jordy tertawa.
"Ehm, Han, aku juga mau pulang dulu ya. Sudah sore," kata Alfin.
"Pulang sekarang?" Alfin mengiyakan.
"Baiklah kalau begitu,"Hanny mengangguk dengan wajah bersalah.
Dia merasa tidak enak karena sudah nyuekin Alfin dan malah mengobrol bersama Martha dan Jordy.
"Maaf, aku keasikan ngobrol sama Martha dan Jo," kata Hanny.
Alfin menggeleng dan tertawa, "Ga apa-apa. Malah seru mendengar obrolan kalian."
Hanny hanya bisa tersenyum. Alfin benar-benar baik banget.
"Saya pulang dulu, kak," Alfin berpamitan pada Jordy yang mengangguk. Dia memperhatikan Hanny yang mengantar Alfin sampai ke pintu depan. Tidak berapa lama suara motor Alfin terdengar menjauh dari rumah itu.
"Jadi kita mau ngapain?" tanya Jordy.
"Loh, gue kira elo mau pulang juga?"
"Nggaklah. Elo kan ga ada yang jagain."
"Gue berasa kayak bayi besar kalo dijagain begini."
Jordy tergelak. Dia lalu menuntun Hanny kearah ruang tengah dan duduk disofa panjang disana.
"Gimana kalo kita main PS?" tanya Hanny saat melihat playstation nganggur yang sudah jarang dimainkan itu. Jordy membawa dua kaleng minuman ringan dan meletakkannya dimeja kecil dekat sofa.
"Boleh aja. Mau main apa?"
"Yang biasa. Tapi ada taruhannya."
"Apa?" Jordy tampak antusias mendengar kata taruhan.
"Yang kalah harus mau mukanya dicoret pakai ini," Hanny menunjukkan spidol yang entah darimana nemunya, tapi yang jelas sih bukan spidol permanen. Mau coret-coret pakai lipstick, dirumah ini tidak ada yang punya karena penghuninya sebagian besar adalah cowok, dan meskipun dia cewek, tapi dia sendiri tidak pernah membeli barang-barang seperti itu.
***
"Ahahah...," Jordy tertawa terbahak-bahak setelah dia selesai mencoret wajah Hanny dengan spidol. "Lucu sumpah."
"Mana...mana, foto dong. Nanti gue foto elo juga," kata Hanny. Jordy kemudian memfoto wajah Hanny yang sudah dilukis sedemikian rupa.
"Liat nih, mahakarya dari seniman Jordy." Hanny mengambil ponsel Jordy dan langsung tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya sendiri.
"Sial, muka gue jadi tambah jelek aja," kata Hanny. "Sini muka elo juga gue foto."
Hanny memberikan foto wajah Jordy yang juga tidak kalah heboh dengan wajahnya. Tawa Jordy lebih keras dari Hanny.
"Ini harus gue post di instagram," Jordy menghapus airmatanya karena kebanyakan tertawa.
"Aduh jangan. Muka elo lagi ancur begini, Jo," kata Hanny.
"Sengaja, biar fans-fans gue pada ilfeel," Jordy kemudian memposting fotonya di instagramnya yang diikuti belasan ribu followers.
"Lo salah Jo, yang ada nanti gue dicari fans-fans elo terus gue dimutilasi rame-rame gara-gara bikin idola mereka ini jadi super jelek," kata Hanny. Jordy terkekeh.
Brak...
Pintu rumah Hanny terbuka lebar, Harry berdiri dimuka pintu dengan muka kusut. Karena mereka keasikan tertawa, mereka tidak mendengar suara motor Harry yang memasuki halaman rumah.
"Loh, Har. Udah pulang, lo?"
Harry mengangguk, cowok itu langsung menuju dapur untuk mengambil minum. Tenggorokannya benar-benar kering. Jordy dan Hanny saling berpandangan. Tidak biasa-biasanya cowok itu hanya membalas dengan anggukan dan dia bahkan tidak mengomentari ataupun menertawakan wajah Jordy dan juga Hanny. Harry benar-benar bertingkah aneh.
Jordy mengikuti Harry kedapur dan melihat cowok itu tampak kacau.
"Dapet pacar, ga?" goda Jordy. Harry menatap Jordy selama sepersekian detik dan melanjutkan minumnya tanpa menjawab pertanyaan Jordy barusan.
"Njirr. Gue nanya ga dijawab," sindir Jordy.
"Pertanyaan elo ga penting, Jo," sahut Harry ketus.
"Jadi pertanyaan penting itu yang kayak gimana?" tanya Jordy, sedikit ketus.
Harry mendesah. Dia lalu menyandarkan tubuhnya ke meja dapur.
"Coba lo tebak siapa yang gue temuin di kencan buta hari ini?"
Jordy angkat bahu. "Siapa? Gue kenal?"
Harry mengangguk. Jordy memandang Harry, melihat raut wajah kusutnya sepertinya Jordy tahu siapa orangnya. Tapi masa sih dia? Rasanya Jordy agak tidak yakin.
"Jangan bilang kalau dia?" tanya Jordy hati-hati.
Harry mengangguk. "Marlene."