Chereads / Dear Kamu / Chapter 3 - Chapter 3

Chapter 3 - Chapter 3

Alfin menelungkupkan kepalanya di atas meja, merasa tepuruk.

Ferdian menghampiri meja Alfin dan menepuk pundak cowok itu pelan.

"Gimana hasilnya, Al?" tanya Ferdian penasaran. Tanpa perlu ditanya, hanya dengan melihat wajah suntuk Alfin, rasanya dia sudah tahu hasilnya apa.

"Gue turut bersimpati, Al," kata Ferdian.

"Gue diterima...," kata Alfin lemas.

Ferdian melotot. "Serius lo?"

Alfin mengangguk. "Tapi..."

"Tapi apa?"

"Dia bukan Hanny gebetan gue?!" kali ini Alfin membenamkan kepalanya diantara tangannya.

"Apaaa?!"

***

Martha melihat wajah Hanny yang berseri-seri dari kejauhan. Dia bertanya dengan mengacungkan dua jempolnya.

Hanny mengacungkan dua jempolnya juga dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya.

"Wah... selamat ya. Udah punya pacar," goda Martha saat Hanny sudah duduk disebelahnya.

"Apaan sih? Tapi, makasih ya," kata Hanny malu-malu.

Martha menyikutnya sambil senyum-senyum."Naksir juga'kan?"

"Belom, kok."

"Loh kenapa lo terima kalo gitu?" tanya Martha keheranan.

"Yah, gue pengen nyoba menjalani hubungan pacaran itu seperti apa. Lagipula sepertinya dia cowok baik-baik," jawab Hanny.

Martha mengangguk-angguk.

"Keputusan elo tepat," Martha menepuk pundak Hanny.

"Bagaimanapun, selamat buat pacar pertama elo."

Hanny tersenyum. "Thanks."

"Eh, jangan lupa ya. Pajak jadiannya," Martha nyengir.

***

"Itu loker Hanny mana sih sebenernya?" tanya Alfin menuntut jawaban dari Ferdian. Dia meminta tolong Ferdian untuk mencari loker Hanny karena Ferdian memaksa untuk membantunya, tapi dia tidak tahu kalau ternyata temannya itu malah menjerumuskannya ke orang yang salah.

"Kalau tahu begini jadinya, lebih baik gue yang cari tahu sendiri," kata Alfin ketus.

Ferdian tesenyum kecut. "Sabar... sabar, Al."

"Gue ga bisa sabar kalau kejadiannya kayak gini."Alfin menatap Ferdian dengan tatapan seperti ingin menelannya hidup-hidup.

"Gue ga tahu kalau Hanny yang elo maksud adalah Kak Hanny anak kelas 3 IPA 4. Pertama, elo ga kasih tahu gue kelasnya, elo cuma kasih tahu namanya Hanny. Jadi gue pikir itu Hanny anak kelas 2 IPS 1, karena namanya sama. Kedua, lo juga sering merhatiin dia kalau lagi ekskul badminton'kan di lapangan, jadi gue kira elo naksir dia."

"Yang gue perhatiin itu kak Hanny yang lagi ekskul tennis. Makanya nanya dulu yang jelas sebelum nolong orang!" kata Alfin setengah berteriak.

Untung saja saat itu kelas sudah sepi karena jam pelajaran sudah berakhir dan teman-teman sekelas mereka sudah pulang. Alfin sengaja mencegat Ferdian untuk meminta penjelasan.

Napas Alfin setengah memburu karena menahan marah. Ini bukan pertama kalinya dia terkena sial karena mempercayai Ferdian.

Pernah sekali, waktu ulangan matematika bulan lalu, Ferdian memberitahunya bahwa ulangan itu di undur ke minggu depan karena Pak Anwar akan ijin tidak masuk esoknya. Ferdian tahu karena dia tidak sengaja dengar pembicaraan antara Pak Anwar dengan Ibu Dessy, guru matematika kelas 3. Bodohnya, Alfin percaya begitu saja bahwa ulangan itu memang akan di undur ke minggu depan karena tidak mungkin ulangan tetap dilangsungkan tanpa gurunya, makanya malamnya Alfin tidak mempelajari matematika, dia sibuk mempelajari Bahasa Indonesia yang juga akan ulangan pada esok harinya.

Dan, tanpa disangka, ulangan matematika tetap dilakukan dengan Bu Dessy sebagai pengawasnya, rupanya kemarin itu Pak Anwar meminta tolong pada Bu Dessy untuk menggantikannya mengajar di kelas Alfin. Tanpa persiapan, Alfin mengerjakan 10 soal matematika itu seadanya dan dengan rumus yang bisa dia ingat. Akibatnya nilai ulangannya jeblok dan dia di panggil ke ruang guru oleh Pak Anwar.

Ferdian garuk-garuk kepala, dalam hati merasa bersalah. Dia memang memaksa Alfin untuk menerima bantuannya, dia yakin bahwa kali ini dia tidak akan menyusahkan temannya itu. Dia ingin sekali membantu Alfin untuk menyatakan perasaannya yang sudah dipendamnya selama setahun itu kepada cewek yang disukainya.

Apalagi Ferdian sering sekali memergoki Alfin sedang memandang Hanny dari sisi luar lapangan badminton, tapi rupanya yang sedang di lihat Alfin adalah kak Hanny yang sedang ekskul di lapangan tennis yang memang bersebelahan dengan lapangan badminton. Mungkin Alfin sengaja melihatnya dari jauh agar tidak terlalu kentara bahwa cowok itu sedang mengamati kak Hanny. Tapi, Ferdian salah menduganya dan menganggap bahwa Alfin menyukai Hanny yang sedang ekskul di lapangan badminton.

Ferdian menatap Alfin yang tampak kacau.

"Al, sorry yah," kata Ferdian sangat bersalah. Alfin memegangi kepalanya yang sedikit pening.

"Udahlah, Fer. Gue mau pulang. Kepala gue pusing," Alfin beranjak berdiri dan berjalan dengan sempoyongan keluar kelas. Cowok itu bahkan menabrak meja didepannya.

"Al, elo ga apa-apa?!" teriak Ferdian khawatir.

Alfin tidak menjawab dan hanya terus berjalan meninggalkan Ferdian yang memandangnya dengan prihatin.

"Aduh, gue salah lagi," Ferdian menepuk jidatnya. "Memang sih, kalau dipikir-pikir ga mungkin Alfin naksir Hanny yang 'itu'.

***

"Hmmm...bau apaan, nih?" Harry bertanya-tanya keheranan karena mengendus bau yang tidak sedap saat memasuki rumah. Dia baru saja pulang ekskul basket. Dengan baju yang masih basah karena keringat, Harry masuk ke dapur dan dia terkejut melihat siapa yang sedang berada di dapur. Adik perempuan dia satu-satunya. Hanny?!

"Elo ngapain disini?"Harry mengerutkan kening.

"Masak," sahut Hanny enteng.

"Hah?" Harry terbelalak. "Ga salah?"

"Emang salah yah kalo gue ada di dapur, kak?"

"Ga salah, sih. Cuma elo mau masak apa? Emangnya bisa masak?Masak air aja gosong," kata Harry tanpa dosa.

Segera saja Hanny mencubit keras-keras lengan kakaknya yang kekar itu membuatnya menjerit-jerit.

"Aduh, ampunn...ampun...!" teriak Harry.

"Tiada ampun bagimu...!"

"Aduh, lepasin dong. Sakit nih," kata Harry dengan memelas.

"Ga akan gue lepasin!"

"Ada apa ini?" terdengar suara ngebass memasuki dapur. Kak Hendry datang membawa seplastik belanjaan dan kaget melihat kedua adiknya yang tampaknya sedang bertengkar.

"Kak, tolongin gue!" jerit Harry.

"Beraninya minta tolong sama kak Hendry," kata Hanny kesal.

Hendry tersenyum."Han, udah lepasin Harry. Kasian Harry."

Hanny monyong."Beruntung elo kak. Ada kak Hendry." Hanny lalu melepaskan cubitannya yang super menyakitkan itu dari lengan Harry yang langsung membiru.

"Aduh... sampe biru begini lengan gue. Dasar cewek gila," sungut Harry yang mengusap-usap lengannya dengan mata yang sedikit berair.

"Apa lo bilang, kak. Mau gue cubit lagi?" ancam Hanny bersiap melancarkan serangan cubitan kedua pada Harry.

"Gak...gak... jangan lagi," kata Harry yang langsung kabur ke kamarnya di lantai atas.

"Dasar cewek gilaa!" teriak Harry lagi dari tangga yang terdengar sampai ke dapur.

"Awas lo kak!" balas Hanny.

"Udah... udah," Hendry menengahi. Hanny cemberut.

"Abis kak Harry yang duluan ngata-ngatain aku."

Hendry tersenyum. "Ya udah jangan dimasukin ke hati. Kamu'kan tahu, kalau Harry cuma bercanda. Memang kamu lagi ngapain disini, Han?"

Hanny tersenyum. Paling senang deh kalau kakaknya yang satu ini sudah pulang, selain paling kalem, kak Hendry juga paling baik dan tidak pernah marah. Oya, dia juga jago masak. Kak Hendry adalah chef nomor 1 dirumah ini.

"Aku lagi masak, kak," kata Hanny.

Eh...

"Masakan gueee!"Hanny buru-buru menghampiri meja kompor dan menatap supnya yang mulai mengering airnya karena kelamaan di masak.

"Yah...," Hanny tampak sedih. "Gagal lagi."

Hendry merangkul pundak Hanny. "Masak sup yah. Jangan sedih dong, supnya masih bisa dimakan, kok," hiburnya.

"Beneran?"Hanny mendongak.

Hendry tersenyum dan mengangguk.

"Tentu dong. Ayo diangkat dulu supnya. Kita masak lagi. Kamu bantu kakak, ya," kata Hendry.

"Siap boss," mata Hanny berbinar dan semangatnya timbul lagi.