"Hanny," Martha berlari kencang dari depan kelas menyambut kedatangan Hanny. Begitu sampai didepan Hanny, cewek itu langsung memeluknya membuat Hanny risih.
"Apaan sih? Pagi-pagi udah drama," Hanny buru-buru melepaskan tangan Martha yang masih melingkar di pundaknya.
"Ish, jutek banget sih. Gue lagi senang, nih," kata Martha.
"Apa? Ditembak cowok?" Tebak Hanny yang langsung diiyakan oleh Martha.
"Bener. Kok elo tahu aja, sih?" Martha terkikik.
Hanny menguap. "Apa lagi sih yang bisa bikin elo nyengir selebar ini pagi-pagi kalo bukan karena abis ditembak cowok."
Mereka memasuki ruang kelas. Martha sudah sampai disekolah sejak 10 menit yang lalu. Dia tidak bisa tidur semalaman karena ingin buru-buru memberitahu berita ini pada Hanny.
Martha tergelak. "Udah lama gue ga ditembak. Lo kan tahu baru tiga minggu lalu gue putus dari Aby."
Hanny melirik Martha. "Tiga minggu elo bilang lama?"
Martha mengedikkan bahunya. "Bagi gue hidup tanpa cowok itu ibarat sayur tanpa garam. Hambar."
"Sesuka elo deh." Hanny kemudian duduk di bangkunya diikuti Martha.
"Elo tahu ga, cowok baru gue ini mahasiswa. Dia tinggi, putih, keren. Anak kedokteran lagi. Gue sih baru kenal sekitar seminggu yang lalu, dikenalin sepupu gue," cerocos Martha, tampaknya cewek itu tidak peduli Hanny mendengarkannya atau tidak.
"Dia nembak gue kemarin. Di restoran mewah gitu. Udah gitu bawa-bawa bunga lagi."
Hanny geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman sebangkunya yang benar-benar haus akan kasih sayang ini. Martha memang anak tunggal dan orang tuanya selalu sibuk bekerja yang membuatnya mendambakan kasih sayang. Meski playgirl tapi Martha tidak pernah terlibat dalam pergaulan yang negatif. Dia tahu batas dan itu yang membuat Hanny salut.
"Ngomong-ngomong kemarin elo kemana? Jalan sama Alfin?"
Hanny mengangguk. "Kemarin gue nonton pertandingan basket SMA kakak gue sama dia di GOR Setiabudi."
Eh… Hanny keceplosan. Harusnya dia tidak menyebut-nyebut nama SMA kakaknya, Harry. Martha itu benar-benar Harryholic. Cewek itu suka semua hal tentang Harry. Entah apa yang dia suka dari kakak ketiganya itu. Padahal menurut Hanny, Jordy masih jauh lebih baik daripada Harry.
Hanny menutup mulutnya. Dia lupa kalau kemarin dia menonton pertandingan kakaknya itu tanpa mengajak Martha.
"Apaaa?!" Martha nyaris berteriak kayak orang kesambet. Beberapa orang dikelasnya sampai melihat mereka dengan pandangan bertanya. Kelas memang belum mulai. Masih ada waktu 10 menit lagi sampai bel masuk berbunyi, jadi kelas mereka-pun masih belum terlalu ramai.
"Elo jahat. Elo ga ngajak-ngajak gue nonton pertandingan kakak elo," Martha merajuk. Dia menggoyang-goyangkan tubuh Hanny kedepan dan kebelakang. Ngambek.
"Sorry. Gue lupa. Gue ngajak Alfin kemarin," kata Hanny.
"Elo bener-bener jahat sama gue. Gue'kan pengen ngeliat kakak elo dalam balutan seragam basketnya dan ngeliat dia berkeringat. Pasti kece," kata Martha.
Hanny mencibir. "Kece apanya. Cowok nyebelin begitu. Lagian elo itu udah punya pacar. Mendingan elo lupain deh kakak gue. Kakak gue itu ga doyan cewek."
"Yah, pacar gue yang ini mah buat cadangan aja. Sambil gue berusaha dapetin kakak elo. Lagian bohong banget kalo kak Harry ga doyan cewek mah. Mungkin aja sekarang dia belom suka sama gue, tapi gue pasti bakal taklukin dia," kata Martha berapi-api.
Hanny cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Elo bantuin gue dong buat dapetin kak Harry," kata Martha, kali ini dengan tatapan memohon. Persis kayak anak anjing.
"Ogah. Elo usaha sendiri, dong. Lagian elo kayak ga ada cowok lain aja deh. Cowok baik didunia ini tuh banyak," sahut Hanny.
Dia menatap jam tangannya. Lima menit lagi bel berbunyi, dia kemudian mengeluarkan buku-buku pelajarannya. Pelajaran pertama adalah sejarah. Pelajaran yang pasti bikin dia ngantuk seharian.
"Ish. Emangnya elo ga mau jadi adik ipar gue? Kita'kan bisa sodaraan kalau gue nikah sama kakak elo," kata Martha membuat Hanny tertawa.
"Elo? Jadi kakak ipar gue? Gue ga sudi. Udah cukup gue punya kakak yang hobinya ngebully kayak kunyuk satu itu, ditambah elo, mau jadi apa hidup gue nanti?" Hanny meringis.
Benar-benar tidak bisa dia bayangkan apabila Martha benar-benar jadi kakak iparnya. Harry dan Martha punya hobi yang sama, yaitu suka ngebully dirinya. Punya satu kakak kayak Harry aja hidup Hanny kayak di neraka, ditambah Martha, memang tidak separah Harry, tapi tetap saja, Hanny tidak mau mengambil resiko mati muda karena stress jadi korban bully-an mereka berdua.
Martha tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Benar juga."
***
"Kak, denger deh, gue punya berita baru," kata Harry membuka obrolan di meja makan, malam itu.
Semua mata tertuju pada Harry, kecuali Hanny, dia tampak asik menghabiskan supnya sambil membuka-buka instagramnya. Kalau ada papa dirumah, dia pasti dimarahi karena memegang handphone ditengah makan malam keluarga. Untungnya hari ini hanya ada ketiga kakaknya dan dia karena papa sedang keluar kota untuk keperluan pekerjaan.
Papa Hanny bekerja sebagai arsitek disebuah perusahaan pengembang rumah-rumah untuk kelas menengah keatas. Sekarang ini, perusahaan tempat papanya bekerja itu sedang berniat untuk membangun sebuah kawasan perumahan dikota Bandung. Padahal Bandung sudah cukup padat, entah tanah kosong mana yang akan di dirikan perumahan dikota itu.
"Berita apa?" Tanya kak Hendra. Dia adalah kakak pertama Hanny dan bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta.
Hari ini kebetulan sekali dia bisa ikut makan malam bersama keluarga mereka, biasanya kak Hendra sangat sibuk sehingga untuk sekedar makan malam bersama-pun sangat sulit.
"Adik perempuan kakak satu-satunya sudah punya pacar," kata Harry. Gerakan Hendry terhenti seketika, dia menatap Harry, begitu juga Hendra.
"Serius, Har?" Tanya Hendra. Harry mengangguk-angguk.
Hanny merasakan pandangan yang menusuk datang dari arah depan dan kanan bangkunya, dia kemudian mendongak dan mendapati kak Hendra yang duduk di depannya dan kak Hendry yang duduk disebelah kanannya menatapnya.
"A… ada apa?" Tanya Hanny, mengerutkan keningnya. Curiga, dia melirik Harry yang bersiul-siul ga jelas sambil melempar pandangan jahil pada Hanny.
"Kamu udah punya pacar?" Tanya Hendry.
"Anak mana… anak mana?" Tanya Hendra antusias.
Bukannya marah, mereka malah kelihatan senang mengetahui bahwa adik perempuan mereka yang dibesarkan ditengah-tengah tiga kakak cowok akhirnya punya pacar. Mereka lega mengetahui bahwa mereka berhasil membesarkan Hanny menjadi seorang cewek.
"Ih, kakak-kakak kepo," kata Hanny tersipu.
"Kok kamu ga kenalin ke kami? Cuma dikenalin ke Harry aja," kata Hendra.
"Itu kebetulan aja aku nonton pertandingan basket SMA kak Harry bareng Alfin makanya sekalian aku kenalin," jawab Hanny.
"Oh, namanya Alfin," Hendra mengangguk-angguk. "Kalian satu SMA?"
Duh, Hanny jadi merasa sedang di interogasi oleh kedua kakaknya ini, terutama oleh kak Hendra. Kakak pertamanya itu memang selalu jadi orang yang ingin tahu apa yang dilakukan adik-adiknya. Mungkin karena dia anak pertama, jadi sudah sifatnya untuk mengayomi adik-adiknya.
"Iya. Kami seangkatan. Dia kelas 2 IPA 2, kak," kata Hanny.
"Wah hebat. Pacaran sama anak IPA," Hendra berdecak kagum.
Harry menyemburkan air yang sedang diminumnya. Dia berusaha menahan tawanya namun tidak berhasil.
"Harry…," Hendry menatap tajam Harry yang nyengir.
"Nanti gue bersihin, kak," kata Harry dengan pandangan minta maaf.
"Jorok lo, kak," kata Hanny jijik melihat tumpahan air diatas meja karena semburan Harry.
"Ini semua gara-gara elo," kata Harry.
"Kok elo nyalahin gue!" Hanny mendelik. Merasa tidak terima disalahkan oleh Harry.
"Gue ga bisa nahan ketawa gue gara-gara elo. Sumpah, gue mau tanya sekali lagi, elo pakai pelet apa sampai-sampai si Alfin anak IPA itu kepincut sama elo?" Harry tertawa tergelak-gelak.
"Ih, jahat banget sih elo, kak. Elo ga percaya kalo Alfin itu suka karena pesona gue?" kata Hanny.
Mendengar itu, tawa Harry semakin keras. "Gue ga nyangka. Ngakunya tomboy, tapi aslinya ternyata masih cewek tulen."
Hanny melempar serbet makannya ke muka Harry. "Rese lo, kak. Gue kan emang cewek."
"Udah…udah… jangan berantem di meja makan. Harry, lo bersihin nih tumpahan airnya. Gue ga berselera kalau meja makan jorok begini," kata Hendra menginterupsi pertengkaran mereka.
Hendry geleng-geleng kepala. Entah kenapa kedua bocah itu selalu saja bertengkar kalau sudah duduk bersama dalam satu meja. Hanya dalam sepak bola mereka tidak pernah bertengkar karena mereka menyukai klub sepak bola yang sama yaitu Liverpool.
Harry membawa lap kering dan basah untuk membersihkan tumpahan air akibat semburannya tadi dan mereka kemudian melanjutkan makan malam yang sempat tertunda karena pertengkaran Hanny dan Harry.
"Jadi sekarang Hanny sudah punya pacar. Elo kapan, Har?" tanya Hendra. Ternyata obrolan tadi masih berlanjut.
Hanny nyengir. "Mampus lo, kak."
Harry membalasnya dengan tatapan super tajam pada Hanny.
"Nanti aja kak. Gue masih mau fokus sama sekolah dulu, tahun depan kan udah mau ujian akhir," kata Harry.
Pertanyaan kayak gini benar-benar membuatnya bingung. Papa maupun Hendra tidak membatasi mereka untuk memiliki pacar meski masih usia sekolah, terbukti dengan Harry yang pernah pacaran di bangku SMP dan Hendry yang pacaran dengan Jenna di bangku SMA kelas satu. Tapi karena tidak dilarang itulah, kadang Hendra suka kepo ingin tahu apakah mereka sudah punya pacar atau belum. Padahal kakak pertamanya itu juga belum punya pacar sampai sekarang.
"Bilang aja kalo elo ga laku," cibir Hanny.
"Eh, gini-gini banyak cewek naksir sama gue. Gue-nya aja yang ga mau," sahut Harry ketus.
"Cewek-cewek itu matanya udah rabun kali bisa naksir sama elo."
"Sial. Lo merasa menang yah karena sekarang udah punya pacar. Liat aja, nanti gue bakal cari pacar yang cantik banget daripada elo."
"Aduh, kalian bisa ga sih ga bertengkar?" Hendra tertawa melihat kelakuan mereka berdua. Persis anjing dan kucing.
Hendry hanya bisa menghela napas. Kakak mereka yang satu itu jarang memberi komentar, tapi mereka tahu bahwa sebenarnya Hendry merasa terganggu dengan ulah mereka berdua. Karena mereka berdua benar-benar berisik kalau sudah bertengkar.
Harry dan Hanny sudah tidak lagi adu mulut, tapi kini mereka saling memelototi satu sama lain.
"Oh ya, Ndry, gue jarang liat Jenna akhir-akhir ini. Lain kali ajak dia makan malam bareng kita," kata Hendra.
Hendry yang sedang siap-siap untuk menyuap nasi tertegun sejenak.
"Gue udah putus sama dia," sahutnya singkat yang berhasil membuat perhatian Harry dan Hanny kini teralihkan dan menatap kakak kedua mereka yang tampak tidak peduli sama sekali akan reaksi apa yang bakal diterima oleh kakak dan adik-adiknya itu setelah mendengar berita ini.
***
"Jordy tahu kalau Hanny udah punya pacar?" tanya Hendra dengan raut wajah serius.
Dihadapannya ada secangkir kopi hangat yang dibuatkan oleh Hendry. Hari sudah larut dan mereka bertiga masih ada di ruang makan, Hendra sibuk mengetik sesuatu di laptopnya sementara Hendry sedang mencuci piring dan Harry, cowok itu sedang asik menonton video di youtube sambil sesekali cekikikan. Kalau Hanny? Cewek itu sudah tertidur pulas di kamarnya.
"Udah, kak. Kan Hanny ngenalin ke gue waktu kami tanding basket bareng," kata Harry tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphonenya.
"Gimana reaksinya? Gue yakin itu anak patah hati sekarang," kata Hendra.
"Yah gitu deh. Cuma kita ga usah ikut campurlah, kak. Lagian pacar Hanny ini cukup baik menurut penilaian gue," kata Harry.
Hendry duduk disebelah Hendra, dia sudah selesai mencuci piring dan kini dia membuka buku yang baru dibelinya minggu lalu.
"Begitu? Baguslah kalau memang cowoknya Hanny ini baik." Hendra lalu menyeruput kopinya.
"Tapi, sekarang Hendry udah putus sama Jenna, Jordy juga udah ga ada kesempatan buat pacaran sama Hanny. Diantara kita semua ga ada yang bisa menuhin keinginan papa," Hendra berujar. Hendry tertegun. Harry menoleh menatap Hendra.
Mereka baru ingat. Keinginan papa mereka. Keinginan sepihak dari papa yang ingin agar salah satu dari anaknya itu menikah dengan anak dari keluarga Saputra, yaitu keluarga Jenna dan Jordy. Bukan karena alasan harta atau kedudukan yang memang dimiliki oleh keluarga Saputra, tetapi karena lebih kepada menjaga hubungan baik dan kedekatan antar keluarga yang sudah dibangun papa dan almarhum mama sejak dulu. Apalagi papa dan om Saputra yaitu papa Jenna dan Jordy adalah sahabat sejak SMA. Maka dari itu alangkah baiknya apabila salah satu dari mereka bisa menikah ke keluarga Saputra dan membuat kedua keluarga bersatu, sehingga mereka benar-benar bisa jadi keluarga yang sebenarnya. Keinginan ini juga semata bukan cuma keinginan dari papa, tapi juga merupakan keinginan dari om Saputra. Dan hanya mereka bertiga yang tahu.
"Papa pasti kecewa kalau tahu," kata Hendra. Dia melirik Hendry, yang dilirik sadar tapi pura-pura asik membaca.
"Kalau begitu biar gue aja, kak. Yang jadi pemersatu keluarga kita sama om Saputra," kata Harry.
Hendra menaikkan alisnya, keheranan.
"Elo? Sama Jordy?" Hendra tergelak.
"Enak aja. Emangnya gue gay," Harry monyong. "Ya sama kak Jenna-lah. Gue sih ga masalah pacaran sama yang lebih tua." Harry terkikik.
Raut wajah Hendry mengeras, dan Hendra tampak bingung harus menanggapinya.
Duk…
Hendra menendang kaki Harry pelan. Dia melemparkan isyarat bahwa kata-kata Harry barusan benar-benar sudah diluar batas.
Harry melirik Hendry yang masih berkutat dihalaman yang sama. Tidak bisa fokus pada apa yang dibacanya. Cowok itu tampak memikirkan kata-kata Harry barusan.
"Umm… sorry kak," kata Harry, dia benar-benar merasa tidak enak hati. Hendry berdeham.
"Ga masalah. Kalau Jenna memang suka sama kamu, kamu boleh pacaran sama dia. Lagipula kami udah putus," suara Hendry terdengar serak.
Harry dan Hendra saling bertatapan. Hendra memberikan isyarat bahwa Harry harus menegaskan bahwa ucapannya tadi hanya sekedar candaan.
"Gue ga bermaksud bicara itu, kak. Gue cuma bercanda. Lagipula gue ga suka sama kak Jenna," kata Harry lirih.
Hendry kelihatan benar-benar marah pada apa yang diucapkan Harry tadi. Dan seperti yang Hanny sudah bilang, Hendry akan sangat menyeramkan kalau sudah marah.
"Gue tidur duluan. Nanti cangkirnya rendam saja di air biar air kopinya ga berbekas di cangkir, kak," kata Hendry.
Cowok itu bangkit dan menuju kamarnya di lantai atas. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ataupun membalas kata-kata Harry.
"Elo tuh, ya. Dipikir dulu sebelum ngomong," kata Hendra setengah berbisik.
"Sorry kak. Gue udah salah ngomong," kata Harry.
***
Hendry mengacak-acak rambutnya dan bingung kepada dirinya sendiri. Dia tahu bahwa Harry cuma bercanda, tapi entah kenapa dia benar-benar marah. Padahal tidak seharusnya dia marah pada Harry. Dia hanya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah putus dengan Jenna walaupun sebenarnya mereka hanya break untuk sementara.
Keluarganya-pun tidak ada yang tahu penyebab dirinya putus dengan Jenna. Hendry bungkam, dia tidak ingin keluarganya tahu bahwa semua ini terjadi karena ketidakmampuannya mempertahankan cewek itu disisinya. Semua ini terjadi karena dirinya yang terlalu lemah dan terlalu mudah cemburu. Dia tidak tahan melihat gadis yang dia cintai satu-satunya dekat dengan cowok lain yang walaupun dia tahu kalau mereka hanya sebatas teman saja. Padahal dia tahu, Jenna selalu setia padanya. Namun sisi egois Hendry mengatakan bahwa apa yang dilakukan Jenna tidak benar dan sudah diluar batas, dan Hendry tidak menyukainya.
Hendry meluruh dibalik pintu kamarnya. "Gue benar-benar menyedihkan."