Chereads / Dear Kamu / Chapter 8 - Chapter 8

Chapter 8 - Chapter 8

Kantin sekolah tampak penuh saat Hanny dan Martha menginjakkan kaki disana.

"Elo sih, lambret banget. Ke kantin aja pake dandan segala," gerutu Hanny. " Lo liat sekarang, nih kantin penuh banget. Kita mau makan dimana? Masa iya mau lesehan."

Martha terkekeh. "Ya mau gimana lagi, abis bedak gue luntur, sih. Gue'kan ga mau keliatan jelek biarpun cuma ke kantin."

"Emang lo mau tebar pesona sama siapa lagi? Kayaknya hampir satu sekolah ini cowoknya udah elo pacarin semua."

"Sok tau deh. Belom semuanya kok," kata Martha. Dia mengedarkan kepalanya melirik kiri kanan dan pojok kantin. Semuanya tampak penuh. Tapi rasanya tadi Martha melihat ada tempat yang masih kosong. Tapi itu meja yang berada di wilayah teritori anak-anak IPA.

Kantin sekolah memang hanya ada satu, semua kelas dari berbagai angkatan dan jurusan makan di kantin yang sama, kantin itu juga cukup luas mengingat bahwa tempat itu harus menampung sekitar 600 anak setiap jam istirahat. Namun meski digunakan oleh semua anak, tapi di kantin itu ada semacam peraturan tak tertulis yang menyatakan bahwa wilayah teritori jurusan IPA adalah di bagian kantin paling kanan, dan wilayah jurusan IPS adalah di bagian kantin paling kiri, wilayah itu dibatasi dengan semacam garis biru yang bisa di tarik ulur persis seperti di bank-bank.

Wilayah teritori IPA rata-rata tidak selalu penuh karena anak-anak IPA kebanyakan menghabiskan waktu mereka di perpustakaan.

"Han… disana, itu kosong," kata Martha menunjuk meja yang dikelilingi oleh beberapa anak cewek yang tampaknya kelas 3. Hanny mengernyit. Itu'kan meja anak-anak IPA? Si Martha mikir apa sih?

"Lo serius?" tanya Hanny sangsi.

Martha menatapnya. "Memangnya kenapa? Kita'kan cuma mau numpang duduk doang buat makan."

"Gue sih lebih baik ga makan daripada duduk disana." Dalam pandangan Hanny, kantin wilayah anak-anak IPA itu tampak angker, aura yang dikeluarkan oleh anak-anak IPA benar-benar berbeda dengan anak-anak IPS.

Entah kenapa dia tidak terlalu nyaman apabila berada dekat anak-anak IPA. Kalau Hanny bilang aura mereka berbeda. Seperti ada semacam aura kesombongan dari anak-anak IPA. Yah, meski sekarang pacarnya juga anak IPA, begitu juga dengan kak Harry dan Jordy, tapi mereka pengecualian.

"Ih, udah deh, gue tahu elo laper. Jadi mendingan kita sekarang pesan siomay dan duduk disana," Martha segera menarik Hanny yang berjalan ogah-ogahan. Langkahnya benar-benar berat dan malas.

Martha memesan dua piring siomay dan kembali menarik Hanny yang benar-benar tidak ingin duduk di meja anak-anak IPA.

"Permisi, kak. Kami numpang duduk disini, ya. Meja kami penuh," kata Martha dengan sopan.

Beberapa anak IPA yang semuanya cewek itu menoleh dan mengangguk. "Silakan."

Martha menyuruh Hanny duduk dengan isyarat matanya dan Hanny hanya bisa duduk dengan pasrah, mulai makan siomaynya yang terasa benar-benar tidak enak di lidahnya sekarang.

Hanny makan dengan lambat, dia melirik hati-hati kearah gerombolan cewek-cewek IPA itu dan sedikit terpesona pada wajah-wajah mereka yang bisa dikatakan cantik, apalagi salah satu dari mereka yang rambutnya panjang dan memakai bando bermotif polkadot biru, benar-benar cantik banget. Hanny sampai minder karena dia merasa seperti itik buruk rupa di tengah kawanan angsa-angsa.

Teman-temannya di kelas IPS sering bilang bahwa cewek-cewek IPA itu rata-rata jelek dan berkacamata semua, mereka juga kutu buku dan kuper, tapi sepertinya kenyataannya tidak begitu. Penyebar gossip itu pasti sudah tidak waras kalau bilang anak-anak IPA jelek-jelek.

"Hush, elo ngapain ngelirik kakak-kakak itu?" Martha menepuk tangan Hanny pelan yang membuatnya sadar dan kembali ke dunia nyata.

"Hah… ehehe… gue cuma lagi mikir kalau mereka cantik-cantik." Hanny terkekeh. Gila, malu banget sampe kepergok Martha kalau dirinya lagi merhatiin kakak-kakak kelas IPA.

"Kenapa? Elo minder?" tanya Martha nyengir.

Hanny tersenyum kecut. "Sial, dia tahu aja apa yang gue pikirin." Batinnya.

"Han, nanti siang jadi kerumah gue'kan?" tanya cewek berambut ponytail bertanya kepada cewek berbando polkadot biru yang dikagumi oleh Hanny.

Hanny menoleh, "Kerumah kakak?"

Cewek berambut ponytail itu menoleh mendengar pertanyaan dari samping kanannya, tempat dimana Hanny duduk. Dia tersenyum.

"Oh, maaf, aku tidak bertanya padamu, aku bertanya pada dia," tunjuk cewek berambut ponytail yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mira, kakak sepupu Alfin.

Hanny melongo. Rasanya dia tidak salah dengar tadi, kakak kelas IPA ini menyebut namanya 'Han'. Apa kakak berbando polkadot biru itu juga punya nama yang sama dengannya?

Martha terkikik. "Lo ngapain sih? Kepedean banget, emangnya kakak kelas itu lagi ngomong sama elo?"

Hanny memelototinya.

"Hanny, nanti siang jadi kerumah gue'kan?" kali ini ucapan Mira lebih keras dan jelas membuat cewek berbando polkadot itu menoleh.

Dia tersenyum. "Iya, tentu aja jadi."

Oh, My God. Hanny tidak menyangka, cewek cantik yang begitu kontras dengan penampilannya itu ternyata benar-benar memiliki nama yang sama dengannya. Martha tidak kalah terkejut, dia bahkan sampai memelototi cewek IPA bernama Hanny itu dan membandingkannya dengan sahabatnya, Hanny si tomboy yang memiliki penampilan ala kadarnya. Bahkan sampai anak-anak IPA itu pergi, Hanny dan Martha masih terhenyak di meja kantin sampai bel tanda istirahat usai akhirnya menyadarkan mereka.

***

"Jo, elo tahu kalau kakak gue sama kakak elo udah putus?" Harry dan Jordy sedang berjalan kembali ke kelas menjelang bel istirahat usai.

"Gue ga tahu. Gue baru dengar beritanya dari elo barusan."

"Wah, baru gue pengen nanya ke elo penyebab mereka putus apa. Soalnya kak Hendry diem-diem aja ga ada cerita apapun."

"Percuma. Kakak gue juga ga bakal kasih tahu penyebab mereka putus apa."

"Lah, sama aja dong," Harry tertawa. "Tapi sayang, yah. Mereka'kan pacaran udah lama, padahal gue berharap mereka bisa sampai menikah, loh."

Jordy mengangguk-angguk. "Gue juga berharap gitu. Tapi apapun keputusan mereka, gue yakin itu yang terbaik."

"Yaudah, gue duluan," Harry berdiri didepan pintu kelasnya, kelas 3 IPA 1, sementara Jordy di kelas 3 IPA 2.

Jordy mengangguk dan melambaikan tangannya.

Harry baru saja akan bersiap menuju bangkunya saat Dewa dan tiga cowok teman sekelasnya yang lain menyeretnya ke pojokan kelas.

"Ada apaan, nih?" tanya Harry keheranan.

"Har, elo punya pacar ga?" tanya Farrel to the point. Harry menggeleng.

Melihat jawaban Harry, mereka berempat bersorak kegirangan. Harry mengerutkan keningnya. "Apaan sih mereka ini?"

"Jadi gini, kita berempat mau ajak elo ikut kencan buta besok siang. Kita kekurangan personil, cewek-cewek dari SMA yang janjian sama kita ada lima orang, jadi kita butuh satu orang lagi," Reinald menjelaskan.

"Hah?"

"Jadi elo bisa ikut'kan? Elo'kan kebetulan jomblo juga, siapa tahu dapet jodoh nanti," kata Dewa.

"Sial banget, gue emang jomblo, tapi gue ga sampe harus ikut kencan buta segala kali buat dapet pacar. Lagian elo, elo, elo dan elo, cewek disekolah ini banyak, ngapain cari sampai ke sekolah lain segala?!" desis Harry.

Dia kesal setengah mati. Harga dirinya jatuh dibilang jomblo oleh cowok-cowok jomblo ga berkualitas dari kelasnya ini. Oke,  Harry mengakui kalau dirinya memang jomblo, tapi setidaknya dia jomblo berkualitas, terbukti dari beberapa prestasi yang diperolehnya dibidang akademik maupun non akademik.

Wajah Harry juga ga pas-pasan banget, bahkan dengan wajahnya itu, Harry masih bisa menggaet cewek cantik diangkatannya yang memang sempat naksir dirinya namun di tolak mentah-mentah sama Harry karena dia merasa ceweknya kecentilan.

"Sorry Har. Gue lupa kalo elo itu bukan jomblo tapi single," kata Farrel, masih berusaha membujuk Harry yang tampak jengkel.

"Iya, Har. Kita tahu kalau elo itu milih jomblo bukan karena ga ada yang mau, tapi karena elo yang ga mau. Tapi, cewek-cewek disini rata-rata udah punya pacar semua, kalaupun belum pasti kutu buku banget, atau taat Tuhan banget. Makanya gue janjian sama sahabat gue di SMA Tunas Bangsa buat bikin acara kencan buta ini, siapa tahu gue bisa dapat pacar dari SMA itu. Cewek-ceweknya terkenal cantik-cantik."

Harry memandang keempat temannya bergantian. Mereka tampak putus asa dengan kejombloan mereka. Sepertinya mereka takut kalau nanti tidak akan mendapat jodoh, padahal jodoh udah diatur sama yang diatas, yah walaupun sebenarnya kita juga harus berusaha.

"Har, plis. Ikut, dong," rayu Dewa. Ketiga temannya yang lain juga menatap Harry dengan pandangan memohon.

"Sial. Kalo gue nolak,  mereka pasti ga bakal berenti ngerengek-rengek. Kalau udah begini, mau gak mau gue harus ikut," Harry membatin. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya-iya oke. Besok gue ikut kalian. Tapi gue ga mau cari pacar disana, dan jangan jodoh-jodohin gue. Ngerti?!"

Dewa, Reinald, Farrel dan Firman tersenyum lebar dan berhigh five.

Harry hanya bisa geleng-geleng kepala dan kembali ke bangkunya karena bel sudah berbunyi.

"Aneh. Bukannya fokus sama ujian yang udah didepan mata, mereka masih sempat-sempatnya mikirin cari pacar."

***

Alfin memberhentikan motornya didepan gerbang, menunggu Hanny yang sedang membereskan perlengkapan ekskulnya. Hari ini dia akan mengantar cewek itu pulang karena Hanny bilang kalau kakinya terkilir saat sedang berlatih badminton.

Alfin tak sampai hati membiarkan Hanny pulang sendiri dan kebetulan saja dia belum pulang karena sedang membantu Pak Suryo di ruang guru, jadi Alfin bilang kalau dia yang akan mengantarnya. Hanny dengan sedikit tergesa memasukan buku-buku pelajarannya kedalam tas. Dia memutuskan untuk pulang lebih awal dan akan pergi ke tukang pijat untuk mengobati kakinya yang terkilir.

"Al!" Hanny memanggil Alfin yang sedang mengetuk-ngetukkan jarinya diatas motornya.

Alfin menoleh dan melihat Hanny yang tersenyum tipis sambil sesekali mengernyit karena kakinya terasa sangat sakit. Alfin menghidupkan mesin motornya dan menghampiri Hanny yang berjalan dengan tertatih-tatih.

"Ga apa-apa?" tanya Alfin.

Dia sedikit khawatir melihat Hanny yang berjalan terpincang-pincang itu. Sepertinya terkilirnya cukup parah.

Hanny mengangguk. Dengan pelan-pelan, Hanny naik keatas boncengan motor Alfin.

"Pegangan, ya," kata Alfin. Hanny memegang ujung jaket hitam Alfin. Ini pertama kalinya dia pulang bersama-sama dengan Alfin dan juga ini pertama kalinya dia dibonceng oleh cowok lain selain ketiga kakaknya dan juga Jordy.

Alfin segera mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menuju rumah Hanny. Sementara Hanny? dia sedang berusaha mengendalikan degupan kencang di jantungnya. Mungkin ini karena dia tidak terbiasa di bonceng oleh orang lain makanya dia sedikit takut.

Awalnya dia berpikir demikian. Tapi tidak, degupan ini lain. Hanny menyadari itu. Rasanya sangat berbeda, ini bukan rasa takut. Perasaan ini belum pernah dirasakan oleh Hanny sebelumnya. Entahlah, perasaan apa ini?!

***

Hendry yang sedang menyiram tanaman dihalaman rumah menatap keheranan sepeda motor yang berhenti didepan rumah mereka. Di boncengannya juga ada Hanny yang kakinya di perban.

"Hanny?!" dengan tergopoh-gopoh Hendry membuka gerbang dan membantu Hanny turun dari boncengan motor Alfin, Alfin membuka helmnya dan ikut turun membantu Hendry membawakan tas Hanny.

Mereka membawa Hanny ke ruang tamu dan mendudukkannya di sofa.

"Kamu kenapa?"  Hendry tampak cemas.

"Keseleo, kak. Tadi ekskul badminton aku lompat mau smash bola kok-nya tapi pendaratan aku kurang mulus," Hanny menjelaskan.

Hendry menghela napas. "Lain kali hati-hati. Sakit banget, ya? Coba sini kakak lihat."

Hendry membuka perban yang membalut kaki Hanny. Perban yang sudah dicampurkan dengan alkohol itu dibebatkan oleh Pak Haliman, guru ekskul mereka.

Pergelangan kaki Hanny tampak merah keunguan dan membesar. "Bengkak, ya."

"Kamu istirahat dulu, biar kakak nanti telepon Bu Marsih buat pijat kaki kamu," Hanny cuma mengangguk. Kakaknya itu memang benar-benar bisa diandalkan.

Alfin hanya diam saja melihat cowok yang tampak beberapa tahun lebih tua dari mereka itu sibuk menelepon seseorang. Sebelumnya cowok itu juga mengganti perban Hanny dan mengoleskan obat berbentuk gel pada kaki Hanny yang bengkak.

Cowok ini sepertinya kakak Hanny, Alfin bisa menebaknya dari foto keluarga yang dipajang di ruang tamu itu. Kakak Hanny yang ini sedikit berbeda dibanding Harry yang pernah berkenalan dengannya. Kakaknya ini tampak lebih diam, serius dan bertanggung jawab.

Hendry memandang Alfin yang kini masih berdiri mematung didekat pintu depan.

"Kamu temannya Hanny? Terima kasih sudah mengantar Hanny pulang. Maaf sudah merepotkan," kata Hendry, cowok itu menundukkan kepalanya sedikit.

"Ti… tidak apa-apa, kak. Itu sudah jadi kewajibanku," kata Alfin canggung. Dia benar-benar merasa tidak enak melihat kakak Hanny menundukkan kepala ke dirinya. Padahal dia tidak melakukan apa-apa, hanya mengantar Hanny pulang.

"Jangan-jangan kamu Alfin?" tanya Hendry. Alfin sedikit kaget. Kenapa kakak Hanny ini bisa tahu namanya? Apa mungkin Hanny sudah bercerita pada keluarganya?

Alfin hanya bisa mengangguk pelan.

"Oh, kamu pacarnya Hanny'kan?" lagi-lagi Alfin mengangguk.

Hendry tampak menghela napas lega. "Saya Hendry, kakak kedua Hanny. Silakan duduk dulu. Kamu mau minum apa?"

Kali ini Alfin menggeleng. "Ga usah, kak. Aku harus segera pulang, udah sore."

"Kamu mau pulang sekarang?" tanya Hanny. Dia tampak tidak rela Alfin pulang secepat itu, padahal Alfin sekarang sudah ada dirumahnya dan kakaknya yang lain belum pulang, Hanny ingin memperkenalkan Alfin juga pada kak Hendra yang sangat menanti-nantikan pertemuannya dengan Alfin.

"Maaf ya, aku belum bilang ke mama kalau aku pulang sore. Aku takut mama khawatir," kata Alfin.

Hanny diam, dia bisa mengerti.

***

Mama… kata itu amat tabu diucapkan dirumah ini. Almarhum mama meninggal saat melahirkannya sehingga Hanny tidak pernah melihat mamanya sejak dia bayi sampai sekarang. Hanny tahu tidak ada yang menyalahkan dirinya atas kepergian mama, tapi Hanny benar-benar merasa sedih mengetahui kenyataan kalau mama lebih memilih mengorbankan dirinya sendiri karena beliau sangat ingin melahirkan Hanny. Padahal mama bisa saja memilih untuk menggugurkan dirinya dan hidup bahagia bersama papa dan ketiga kakaknya sekarang. Tapi, mama lebih memilih melahirkan dirinya yang terlahir sebagai anak yang bodoh dan tidak secantik mama mereka.

Hendry dapat melihat perubahan raut wajah Hanny yang kini diselimuti kesedihan. Dia tahu penyebabnya, bukan salah Alfin juga karena sudah menyebut-nyebut kata itu dirumah mereka dan dihadapan Hanny.

"Kalau begitu kamu pulang saja, memang sudah terlalu sore. Rumahmu jauh dari sini?"

Alfin menggeleng. "Tidak jauh, kok Kak. Kalau begitu aku permisi dulu."

Hanny mengangguk pelan sementara Hendry mengantar Alfin sampai kedepan rumah dan baru masuk kembali kerumah setelah motor Alfin menghilang di ujung kompleks.

"Ayo kita pindah ke dalam. Kamu sementara tidur di kamar bawah saja ya," kata Hendry yang cuma dijawab anggukan oleh Hanny.

Hendry berjongkok dan membiarkan Hanny naik di punggungnya.

Saat itulah Hanny yang sudah susah payah menahan air mata di sudut matanya akhirnya menangis.

"Aku kangen mama, kak," kata Hanny disela-sela tangisnya. Dengan nada sedih dan lirih.

Hendry diam. Bingung harus mengatakan apa. Hal ini seringkali terjadi, apabila sedang sakit Hanny pasti menangis karena merindukan mama mereka. Sosok yang tidak pernah dilihat Hanny seumur hidupnya. Sosok yang tidak sempat melihat putra dan putrinya tumbuh besar. Sosok yang tidak pernah ada disamping mereka saat mereka sakit, saat mereka lulus dari sekolah, dan tidak pernah ada disaat momen-momen berharga mereka. Juga sosok yang diam-diam dirindukan oleh seisi rumah ini.