"Hanny... Hanny, sini," Martha kelihatan bersemangat menyambut Hanny yang tampak masih mengantuk di depan kelas mereka.
Hanny menguap berkali-kali. Gara-gara menonton sepak bola di televisi dan lupa soal peer sejarahnya, dia jadi begadang semalam untuk mengerjakan peernya. Untung tadi pagi dia tidak terlambat karena di bangunkan oleh papa.
"Ada apa sih?! Pagi-pagi semangat amat," kata Hanny yang diseret untuk duduk di bangku didepan ruang kelasnya.
"Gue udah tahu yang mana Alfin Dinata," bisik Martha pelan membuat mata Hanny melek seketika.
"Ha? Cepet amat udah cari tahu. Elo tahu darimana?" tanya Hanny heran.
"Soal itu elo ga usah tahu. Gue punya informan di setiap angkatan dan disetiap kelas. Jadi soal itu mah masalah kecil," kata Martha bangga.
" Wah, hebat juga lo," kata Hanny.
"Tentu dong," Hidung Martha kembang kempis saat mengatakannya. "Gue."
Hanny hanya tersenyum, "Terus yang mana orangnya?"
Martha lalu mengedarkan pandangannya ke penjuru sekolah. Tadi dia sudah menemukan sosok Alfin diantara siswa-siswa yang sudah sampai disekolah. Menurut informannya yang tak lain dan tak bukan adalah Rio, mantan pacarnya yang kesekian, Alfin itu cowok baik-baik yang selalu rajin datang pagi, dan dia itu siswa yang cukup berprestasi.
"Aduh, tadi gue udah liat dia," kata Martha. Hanny ikut-ikutan menatap penjuru sekolah, padahal dia tidak tahu yang mana sosok yang sedang dicari oleh Martha itu.
"Ah, itu... itu dia. Ketemu," kata Martha girang.
"Yang mana?" tanya Hanny bingung.
"Tuh, disana. Didepan kelas 2 IPA 2. Dua cowok disana itu."
Mata Hanny menangkap 2 sosok cowok yang sedang berdiri didepan kelas 2 IPA 2. Mereka tampak mengobrol seru. Hati Hanny berdesir, salah satu dari mereka adalah Alfin, cowok yang memberikannya surat cinta. Ternyata mereka satu angkatan, hanya berbeda jurusan.
"Terus, yang mana yang namanya Alfin?" tanya Hanny tak sabar.
Kini Martha menatap Hanny yang masih memandang kelas 2 IPA 2 dengan mata tak berkedip. Timbul rasa iseng didalam hatinya.
"Itu rahasia," kata Martha yang kemudian bangkit berdiri.
"Apa?!" Hanny melongo. Memandang Martha dengan kesal.
"Rahasia dong, biar jadi kejutan buat elo. Yang penting kan elo sekarang udah punya gambaran, salah satu dari cowok itu adalah Alfin," kata Martha.
"Ih, rese banget sih. Curang tau ga," kata Hanny.
Martha terkikik melihat ekspresi cemberut Hanny. "Jadi gimana? Udah berubah pikiran? Mau terima Alfin jadi pacar ga? Dua cowok disana tadi keren loh, anak IPA lagi. Kalau elo ga mau, buat gue aja deh, ya."
"Gih...sana buat elo...," Hanny lalu buru-buru masuk kedalam kelas dengan perasaan kesal. Punya sahabat kok nyebelin banget.
"Ih, kok ngambek sih," kata Martha yang lalu duduk disebelah Hanny. Mereka berdua memang duduk sebangku. Bahkan sejak kelas 1.
"Siapa juga yang ngambek," Hanny membuang muka dan pura-pura mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas.
"Elo lah. Kelihatan banget kok kalo elo lagi ngambek," sindir Martha membuat Hanny menatapnya dan mencubit tangannya dengan keras.
"Aduh...duh...duh. Sakit tau. Dikit-dikit nyubit, ih," kata Martha yang kini mengusap-usap tangannya yang kemerahan.
"Lagian elo rese, sih," kata Hanny ketus. Martha terkekeh.
"Kasian banget Alfin kalau jadian sama elo. Bisa di cubitin terus kalo elo ngambek," kata Martha.
"Tuh'kan mulai lagi. Mau gue cubit lagi?" ancam Hanny. Martha menggeleng sambil tertawa.
"Ampun deh, Han."
***
Hanny menggigit pulpennya, memandang papan tulis dengan pandangan menerawang. Telinganya mendadak tuli dari suara apapun, dan yang bisa kedengaran di telingannya adalah bunyi detak jantungnya sendiri yang mulai tidak karuan. Sebentar lagi bel istirahat berbunyi, dan itu artinya dia harus pergi ke halaman belakang sekolah untuk menemui Alfin.
"Gimana ini?" mendadak Hanny merasa mules, keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya.
Martha melirik Hanny yang duduk dengan gelisah. "Dia kenapa?" pikirnya. "Dia pucat banget."
"Lo ga apa-apa, Han?" tanya Martha khawatir melihat wajah Hanny yang tampak pucat dan mual.
Hanny menatap Martha dan menggeleng lemah. "Gue ga apa-apa."
Bisa jadi bahan bulan-bulanan Martha kalau cewek itu tahu bahwa Hanny gugup karena harus bertemu Alfin istirahat nanti.
"Mau di taruh dimana muka gue," Hanny menutup wajahnya ngeri membayangkan kalau itu sampai terjadi.
Hanny dikenal sebagai cewek tomboy di kalangan teman-temannya. Bersama Martha, dia juga merupakan salah satu anggota inti tim badminton putri di sekolah dan beberapa kali menjuarai kejuaraan antar sekolah. Karena tomboy itulah, tidak ada cowok yang mau mendekati Hanny. Wajar saja, Hanny dibesarkan di antara tiga orang kakak cowok, dan sejak kecil dia selalu diberikan mainan cowok ketimbang mainan cewek.
Kriinnnnggg....
Bel istirahat berbunyi panjang.
Siswa-siswa lain berhamburan keluar kelas, tinggallah Hanny dan Martha di kelas.
"Lo siap?" tanya Martha.
"Siap apa?"Hanny bertanya balik. Martha melongo lalu menghela napas.
"Lo udah putusin mau kasih jawaban apa?"
"Gu..gue... ga tau...," Hanny menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Boleh gue kasih saran? Sebaiknya elo terima aja dia. Elo juga jomblo. Sekali-kali coba deh pacaran. Mumpung ada yang mau," kata Martha kurang ajar.
"Apa gue segitu ga lakunya sampai harus terima semua cowok yang nembak gue?" Hanny meringis.
"Iya...," sahut Martha tanpa dosa.
Jleb.
"Dasar kurang ajar," batin Hanny.
"Lagipula, yang nembak elo baru cowok ini doang kan? Emang ada cowok lain yang nembak elo?" Martha mengerutkan keningnya.
"Ga ada sih," kata Hanny membuat Martha tertawa terbahak-bahak.
"Sial, kenapa gue punya sahabat macam dia?" bisik Hanny dalam hati.
"Udah ah, gue mau ke halaman belakang dulu. Nanti keburu bel masuk," Hanny melangkah keluar kelas diikuti Martha.
"Elo mau kemana?" tanyanya saat melihat Martha mengikutinya.
"Ikut elo. Emang ga mau ditemenin?"
Hanny melotot."Ga usah."
"Yakin nih bisa sendiri?" tanya Martha mengejek.
Hanny mengacungkan bogem mentahnya. "Jangan coba-coba ngikutin gue."
"Hehe... iya deh. Selamat berjuang ya," kata Martha. Hanny tidak menjawab, hanya berlalu begitu saja menuju halaman belakang sekolah.
***
Jam istirahat sudah berbunyi 10 menit yang lalu, tapi Alfin masih tidak beranjak dari tempat duduknya. Dia harus menyiapkan hatinya menghadapi kemungkinan terburuk yaitu di tolak. Tapi semalam dia sudah berdoa, semoga saja hari ini dia beruntung.
"Lo mau sampai kapan disini?" tanya Ferdian yang keheranan melihat Alfin yang tampak uring-uringan.
"Lo mau bikin cewek itu nunggu?"Alfin menatap Ferdian, kata-kata temannya itu membuatnya menyadari sesuatu.
Hanny pasti sudah ke halaman belakang sekolah. Jangan sampai cewek itu menunggunya dan membuat kesan cewek itu buruk terhadapnya.
"Kalo gitu, gue ke halaman belakang sekolah dulu, ya," kata Alfin.
"Selamat berjuang ya. Moga sukses, Al," Ferdian menepuk pundak Alfin yang tampak semakin gugup. Alfin hanya bisa mengangguk pelan.
***
Hanny menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dia mengintip tembok belakang sekolah, tampak olehnya siluet cowok sedang berdiri sama gelisahnya dengannya.
Deg..., jantung Hanny berdetak 2 kali lebih cepat.
"Jadi cowok itu yang namanya Alfin. Dia memang salah satu dari 2 cowok yang di tunjuk oleh Martha tadi pagi. Kalau dilihat dari dekat begini, dia kelihatan keren," bisik Hanny dengan muka memerah. "Eh... gue mikir apaan sih." Hanny mengacak-acak rambutnya yang buru-buru dirapikannya kembali.
"Tapi, rasanya gue sering lihat dia, tapi dimana, ya?" Hanny memperhatikan Alfin lagi dengan seksama. Dia teringat sesuatu. "Ah, dia'kan...," sekelebat bayangan cowok berdiri di sisi luar lapangan badminton terlintas dibenaknya. Cowok yang selalu memperhatikan anak-anak yang sedang ekskul badminton.
'Aku sudah lama memperhatikanmu', Hanny menutup mulutnya, terkejut. "Dia cowok itu."
Alfin menatap sekitarnya, tidak tampak tanda-tanda kedatangan seseorang.
"Apa gue udah di tolak duluan?" Alfin meringis.
"Alfin, ya?" terdengar suara cewek menyapanya. Suaranya agak berbeda dari suara Hanny yang dia kenal, tapi mungkin saja itu memang dia'kan? Alfin berbalik dan menemukan Hanny yang sedang menatapnya dengan canggung.
Eh...
"Alfin'kan?" ulang Hanny. Setelah berhasil mengatasi keterkejutannya, dia bergegas menghampiri Alfin. Dia tidak ingin membiarkan cowok itu menunggu lebih lama.
Alfin mengangguk. "Kamu si...,"
"Kamu yang menaruh surat ini di lokerku'kan?" tanya Hanny sambil menunjukkan surat bersampul pink yang memang sengaja dibawanya untuk konfirmasi.
"Itu...," Alfin mengingat-ingat, memangnya dia menaruh surat itu diloker cewek ini, ya? Dia kan menaruhnya di loker Hanny.
"Ini surat kamu'kan?" tanya Hanny tak sabar.
"Ah... i...iya. Itu memang suratku," jawab Alfin gugup.
Alfin menatap Hanny yang tampak menghela napas lega. "Ah syukurlah. Aku kira aku salah orang. Ternyata memang kamu yang menaruh surat ini di lokerku."
"Lokermu?" tanya Alfin bingung. Hanny lebih bingung. Cowok dihadapannya ini bicara apa? Jelas-jelas dia sudah mengaku kalau itu memang surat dia.
"Aku memasukkannya ke dalam loker Hanny, bukan loker cewek ini...," Alfin berpikir keras.
Jangan-jangan...
"Kamu Hanny?"Alfin memegang pundak Hanny dengan wajah kaget.
"Iya, aku Hanny. Kok kaget begitu?"
"Ah... hahaha... tidak," Alfin berbalik dan tampak syok. Gue...gue salah masukin surat.
"Ngomong-ngomong soal suratmu...," Alfin menoleh. "Terima kasih sudah menyukaiku. Aku ini orangnya tidak peka, jadi aku tidak sadar bahwa kamu sudah menyukaiku begitu lama. Ini pertama kalinya ada cowok yang suka padaku."
Alfin bisa melihat bahwa wajah Hanny memerah dan tidak berani menatap wajahnya.
Gue harus jelasin masalahnya, batin Alfin. "Ah, soal itu, sebenarnya...,"
"A...aku tidak keberatan, kok kalau kamu mau mengenalku lebih jauh dan aku mau jadi pacar kamu," kata Hanny sambil menunduk.
Eh...
"Heeee....," Alfin melotot.