"Lo yakin ini lokernya?" Alfin memandang Ferdian yang mengacungkan dua jempolnya sambil mengangguk-angguk bersemangat.
Alfin tampak sangsi. Biasanya Ferdian tidak bisa dipercaya karena dia sering sekali terkena sial karena percaya begitu saja pada ucapan Ferdian.
"Tunggu apalagi? Buruan masukin sebelum ada yang lihat," Ferdian mengerutkan keningnya.
"Gue ragu kalo ini beneran lokernya dia," kata Alfin.
"Aduh, beneran deh. Udah dua hari ini gue buntutin dia dan gue lihat dia buka loker ini, kok," kata Ferdian. Tangannya bersedekap. "Hanny kan? Ini lokernya dia."
Alfin menghela napas. "Oke, kali ini gue coba percaya pada elo."
Mata Alfin menatap loker dihadapannya dengan wajah gugup. Sebuah surat dengan amplop berwarna pink tampak dia genggam erat-erat.
"Oke...," Alfin berkata pada dirinya sendiri. Ferdian nampak tidak sabar.
"Ya ampun, masukin surat aja lama banget, sih. Buruan kek, nanti keburu anak-anak ekskul pada bubaran. Lo mau kepergok orang lagi masukin surat cinta ke loker cewek?" cerocos Ferdian membuat Alfin kesal.
"Elo bawel amat, sih. Iya nih, gue masukin," kata Alfin dongkol. Dan dia-pun memasukan surat itu kedalam lubang kecil di pintu loker.
"Yuk, buruan kita balik," ajak Alfin yang diiyakan oleh Ferdian. Mereka berdua kemudian keluar dari gedung sekolah yang sudah mulai sepi. Hanya ada anak-anak yang terlibat ekskul yang masih betah berada di sekolah sampai sore hari. Umumnya mereka yang ikut ekskul olahraga-lah yang pulang lebih sore dibanding yang lainnya, karena mereka berlatih untuk menghadapi pertandingan, entah pertandingan persahabatan ataupun pertandingan resmi.
Alfin memandang kearah loker itu lagi. Loker yang akan menjadi jembatan baginya untuk menyampaikan perasaan suka yang sudah dia pendam selama setahun belakangan ini.
"Mungkin sebaiknya nanti malam gue berdoa. Semoga perasaan gue terbalas," batin Alfin.
***
"Han, pulang bareng, yuk," ajak Martha yang sedang mengambil buku-buku pelajaran yang dia tinggalkan di lokernya selama dia ekskul.
Hanny mengangguk pelan sambil tangannya memasukkan kunci dengan gantungan berbentuk bebek kedalam lubang kunci lokernya.
"Latihan hari ini capek banget, yah," kata Martha.
"Hmmm…," balas Hanny mengiyakan.
Pluk…
Secarik surat jatuh dari dalam lokernya. Hanny menunduk dan menatap surat itu dengan keheranan. Seingatnya, dia tidak pernah menaruh surat apapun kedalam lokernya dan belum menerima surat satupun minggu ini, kalaupun ada, surat itu pasti dialamatkan kerumahnya.
Penasaran, Hanny memungut surat itu dan membolak-balik suratnya.
"Surat apaan, nih?" dia bergumam sendiri.
Martha yang lokernya berada beberapa pintu dari Hanny menoleh dan menatap Hanny yang tampak bingung memandang surat di tangannya.
"Apaan itu, Han? Surat?" dengan terburu-buru, Martha menjejalkan semua buku-bukunya kedalam tas dan mengunci lokernya lalu menghampiri Hanny.
"Dari siapa?" tanyanya lagi.
Hanny meliriknya lalu angkat bahu, "Ga tau. Ga ada nama pengirimnya."
"Heee… mungkin surat cinta buat elo," goda Martha dengan bersemangat.
"Ngaco," sahut Hanny.
"Kalau gitu buka aja suratnya. Siapa tahu memang surat cinta. Hihihi…," Martha terkikik.
"Sok tahu deh."
***
Martha duduk dengan kepala menjulur kearah surat yang kini sedang dibaca oleh Hanny. Mereka berdua duduk di bangku panjang di pinggir lapangan sepak bola yang terletak dihalaman belakang sekolah.
Dear Hanny…
"Eh, beneran nih surat buat elo," celetuk Martha yang langsung diam saat Hanny menatapnya dengan tajam.
Dear Hanny
Aku sudah lama memperhatikanmu
Kamu begitu cantik dan begitu baik
Kau benar-benar membuatku terpesona
Dan, aku rasa aku menyukaimu
Karena itu aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi
Maukah kamu menerimaku sebagai pacarmu?
Ku tunggu jawabanmu, besok di halaman belakang sekolah pada jam istirahat pertama
Alfin Dinata
Martha melongo menatap surat pendek berisi pernyataan cinta itu. Terlebih lagi Hanny yang tidak pernah menerima surat macam begitu seumur hidupnya.
Hanny saling berpandangan dengan Martha yang kemudian terpekik kegirangan.
"Elo…elo bakal datang kan besok?!" tanya Martha dengan mata berbinar-binar memandang Hanny yang tampak tidak mengerti.
"Datang kemana?"
"Aduh… elo bego atau polos sih. Tentu saja ke halaman belakang sekolah. Elo harus kasih jawaban'kan ke siapa tadi namanya… Alfin… iya Alfin…," kata Martha dengan bersemangat.
Dia tampak gembira sekali mengetahui bahwa ada cowok waras yang menyukai sahabatnya yang sedikit agak jantan ini. Bahkan cowok itu sudah lama menyukai Hanny. Wah, ini benar-benar berita hebat dan menggemparkan.
"Kasih jawaban apa? Gue aja ga kenal siapa dia," Hanny angkat bahu. Dia tidak mau repot-repot menemui seseorang yang bahkan tidak berani menyampaikan surat itu secara langsung.
"Yah elo kan bisa kenalan besok sama dia. Pokoknya elo harus datang dan kalau bisa elo jawab iya aja," kata Martha agak memaksa.
"Heee…. Kok gitu. Gue ga mau pacaran sama orang yang ga gue kenal!" kata Hanny.
"Ish… Jadian aja dulu, baru perkenalan. Kalo emang ga cocok kan elo bisa putusin," celoteh Martha membuat Hanny jengah.
"Ogah. Emangnya gue kayak elo yang selalu terima pernyataan cinta cowok, tapi baru seminggu pacaran, orang malah di putusin," tandas Hanny.
"Yee, itu kan salah cowoknya, ga bisa membuat gue bahagia," kata Martha membela diri."Eh… kok malah jadi bahas gue sih. Kita'kan lagi bahas tentang elo."
Hanny mengangkat bahu.
"Jadi besok, elo harus datang ya," kata Martha.
"Hmmm… liat besok ya," kata Hanny malas.
"Elo jahat banget sih. Kalo besok dia nungguin elo gimana. Kan kasian. Minimal kasih jawabanlah ke dia, kasih kepastian," kata Martha kesal.
"Aduh…iya…iya…bawel," Hanny menutup kedua telinganya mendengar ocehan Martha.
"Nah gitu dong. Inget ya, terima aja," kata Martha membuat Hanny mencubitnya.
Martha meringis, "Kenapa gue di cubit?"
"Pikir sendiri," sahut Hanny lalu memasukkan surat itu kedalam tasnya dan meninggalkan Martha yang segera mengikutinya, bersama-sama meninggalkan sekolah yang sudah mulai sepi.
***
Hanny membaca surat itu sekali lagi dan agak tidak percaya bahwa memang ada yang menyukai dirinya. "Nih orang ga waras kali yah. Bisa-bisanya suka sama gue."
"Alfin Dinata? Anak kelas berapa ya? Apa dia kakak kelas? Atau jangan-jangan adik kelas gue lagi…," Hanny membatin. Dia mengigit pulpennya dan berandai-andai.
"Jangan-jangan dia ini jomblo ngenes yang udah ngebet kepengen punya pacar? Bisa jadi dia jelek? Atau mungkin badannya bau?" Hanny mulai membayangkan yang tidak-tidak tentang sosok Alfin.
"Wah, betapa ga beruntungnya gue kalau memang si Alfin ini beneran jelek dan bau. Eh tapi kan gue bisa tolak dia," Hanny melipat tangannya dan berpikir.
Jauh di dasar hatinya, ada perasaan senang yang menggelegak saat mengetahui bahwa ada cowok yang menyukai cewek seperti dia, yang tidak cantik dan tidak seksi. Meskipun ada beberapa orang yang bilang bahwa dia punya wajah yang manis, yah walaupun orang-orang itu adalah papa dan ketiga kakak laki-lakinya sendiri. Baru kali inilah ada cowok lain yang mengatakan kalau dia cantik.
"Jadi ini rasanya di 'tembak'? Rasanya senang juga sih. Pantas aja Martha selalu girang kalau ada cowok yang 'nembak' dia," Hanny menopang kepalanya dengan tangan dan menatap langit-langit kamar.
Dia mulai tidak bisa berkonsentrasi dengan peer sejarah dihadapannya.
"Hmmm… gue akan liat dulu dia orangnya seperti apa. Gue ga bisa maen terima si Alfin ini jadi cowok gue. Apalagi ini adalah pacar pertama," gumam Hanny.
"Woi, Han… ada Liga Inggris nih, Liverpool lawan Manchester City. Elo mau nonton ga?!" teriak Kak Harry dari depan kamarnya.
Hah? Liga Inggris? Liverpool? Hanny tersentak dari lamunannya saat mendengar kakak ketiganya itu menyebut-nyebut nama salah satu klub sepak bola favoritnya.
"Mau…mau…," buru-buru dia keluar kamar dan melupakan Alfin, surat dan bahkan lupa peer sejarahnya.
***
Sementara itu dirumah Alfin.
"Sayang, kamu belum tidur?" mama masuk sambil membawa nampan berisi cemilan kue kering dan segelas susu hangat.
"Belum, ma. Aku sedang belajar untuk ulangan fisika besok," kata Alfin.
"Baiklah. Jangan tidur larut malam ya, sayang. Besok'kan kamu masih harus sekolah," kata mama mengingatkan.
Alfin mengangguk dan memandang mamanya yang menghilang dibalik pintu kamarnya yang kini sudah tertutup kembali.
Sejujurnya, dia tidak bisa tidur malam itu. Dia begitu gelisah dan merasa gugup. Dia cemas membayangkan jawaban apa yang akan diterimanya dari Hanny, dan apa pendapat cewek itu tentang suratnya.
"Dia pasti berpikir gue ga jantan, nembak pake surat," Alfin mengacak-acak rambutnya. "Tapi, gue malu kalau harus bicara langsung. Ngebayanginnya aja bikin mules."
Alfin menatap buku fisikanya. Rumus-rumus fisika itu menari-nari didepan matanya.
"Duh, gimana ulangan besok, nih. Gue ga bisa konsentrasi sama sekali," Alfin menelungkupkan kepalanya diatas buku. Alfin memejamkan matanya dan mulai berdoa.
"Semoga Hanny menerima pernyataan cinta gue besok," bisiknya lirih.