Gita POV
Gita: Dear all, hari ini saya izin sakit karena kurang enak badan. Mohon pemaklukannya. Terima kasih
Aku mengklik icon pesawat terbang dan pesanku barusan segera terkirim ke grup operasional kantor. Aku juga sudah mengirim pesan ke Bu Sherly sebagai atasan langsung dariku.
Sebenarnya... aku sehat, sih. Hanya karena kejadian semalam--yang aku pikir mimpi, membuatku tidak bisa ke kantor. Karena aku tidak mau bertemu Kris! Bagaimana aku bisa menunjukkan muka dihadapannya setelah kejadian kemarin?! Tapi yang harusnya malu kan, dia bukan aku! Dia yang menyerangku. Seharusnya aku menendang selangkangannya, hingga dia dinyatakan mandul. Anehnya aku hanya diam, dan diam.... dan berpikir... dan tetap diam... dan... Aarrggh! Rasanya mau meledak memikirkan kejadian itu.
Bunyi ponsel membuyarkan pikiranku. Ada balasan dari para kaum Sudra di grup operasional dan para atasanku yang mengharapkan aku cepat sembuh. Selanjutnya mereka segera berpindah ke grup julit milik kami.
Yuda: P
Yuda: P
Yuda: P
Rina: Apaan seehhh ribut amat bang
Yuda: Mana si Gita? Sakit beneran apa sakit-sakitan?
Dino: Sakit malarindu tropikangen
Vico: Basi banget candaan lu Din
Dino: Namanya usaha bang 😥
Putra: Perlu dijenguk nggak?
Yuda: Wah, ide bagus tuh! Sekalian kasih kita makan juga dong
Gita: Hei, hei... Kerja-kerja-kerja! Jangan pade ngerumpi. Entar dicari Hell Boy
Vico: Nah, nongol dia. Siapin makanan. Lapar banget cuy
Gita: Ya Tuhan, gue sakittt beneran ini
Putra: Gue tau Lo cuma pura-pura. Kok, sakitnya strategis banget di Jumat. Jadi libur 3 hari kan?
Hadeuhh... Anak-anak ini memang mengenalku dengan baik sepertinya. Sulit sekali berbohong. Ckckck... Aku terus sibuk membalas chattingan para kaum Sudra yang mulai ngalor and ngidul, sampai sebuah pesan digrup operasional kantor muncul dan membuat moodku terjun bebas ke dasar jurang!
Krisna: Sakit kamu separah apa sampai tidak bisa masuk kerja? Mana surat sakitnya?
Damn! Lo nggak tahu gue jadi 'sakit' kayak gini gara-gara siapa???
***
Author POV
Seharian ini, kerja Gita hanya tidur-tiduran sampai tidur benaran, kemudian bangun hanya untuk makan, kemudian nonton, tidur lagi dan kembali bangun saat seseorang membunyikan bel rumahnya tepat jam 4 sore. Dengan muka kusut dan rambut semrawut, Gita membuka pintu.
Damn, makinya dalam hati. Kebiasaan buruk Gita yang selalu membuka pintu tanpa mengecek siapa yang datang.
"Aku iseng lewat dan motor kamu ada di depan. Ajaib banget jam segini kamu ada di rumah..." Adit menahan kalimatnya dan memperhatikan pacarnya itu dari atas ke bawah "dan baru bangun tidur?"
Gita mencibir sebal dan ikut menilai penampilan Adit yang masih lengkap dengan seragam kerjanya di salah satu perusahaan BUMN di Jakarta.
"Kalau jauh-jauh ke sini cuma buat nyinyir, sorry, aku sibuk," sindir Gita tanpa merasa tidak enak pada Adit yang kini malah tertawa. Dia meraih cepat belakang kepala Gita dan mengecup lama kening Gita. Wanita itu diam, dan ikut memejamkan mata.
"Aku ke sini karena kangen kamu. Masih marah? Aku minta maaf," ucap Adit dan menyeka pelan bekas ciumannya. Dia mengacungkan sebuket mawar merah yang disambut Gita dengan sukacita dalam hati, namun cemberut masih menghiasi wajah manisnya.
"Jangan cemberut lagi, dong!" Adit menarik pipi Gita hingga dia meringis, dan memukul kuat tangan Adit hingga terlepas. "Aku nggak disuruh masuk?" Basa-basi Adit namun tetap melangkah masuk sebelum si empunya rumah mengizinkan. Gita mendengus kesal dan mengikuti Adit dari belakang.
Tanpa diminta, Gita membuatkan secangkir kopi hitam yang selalu dia suguhkan jika pria itu datang ke rumahnya. Kopi hitam? Lagi-lagi mengingatkan Gita pada Kris. Jika mengingat Kris, tentu berujung pada ciuman spontan oleh bibir kurang diajar Kris. Seketika wajahnya memerah karena malu.
"Muka kamu kok, merah? Sakit?" Adit mengarahkan telapak tangannya pada kening Gita, telapak tangan yang lain di keningnya sendiri. "Nggak panas," sambungnya. Gita menyingkirkan tangan Adit dari keningnya.
"Ngapain kamu ke sini?" Gita masih saja ketus.
"Nengokin pacar aku lah, yang seharian ini nggak ada kabar sama sekali. Mau ngecek apa dia masih hidup? Telpon nggak diangkat, SMS nggak dibalas,"
"Suka-suka aku!" Seru Gita dan melipat tangan di depan dada, bersifat defensif. Adit menghela napas pelan, meredam emosinya agar perundingan maaf ini tidak berjalan alot.
"Aku minta maaf. Aku memang salah semalam ninggalin kamu begitu saja. Tapi kamu perlu tahu, setelah itu aku balik untuk jemput kamu,"
Gita hampir saja tersedak oleh teh yang diminumnya. Jadi Adit kembali ke restoran untuk menjemputnya???
"Tapi..." Adit menggantung kalimatnya, dengan tatapan tajam. Gita setengah mati meneguk ludahnya sendiri menunggu lanjutan kalimat Adit. "Kamu udah nggak ada di sana," dan Gita bisa bersorak-sorai dalam hati. Ternyata Adit tidak melihatnya pergi bersama Kris.
"Iyalah, aku naik taksi! Siapa juga mau lama-lama disana. Mana aku yang bayar lagi! Siapa yang ngajak makan, siapa yang bayar," Gita memanyunkan bibir emosi. Adit kembali tertawa dibuatnya, membuat Gita semakin jengkel.
"Kenapa sih, ketawa? Apa yang lucu?"
"Kamu. Kamu yang lucu. Kalo manyun gitu kayak bebek Peking tempat kita biasa makan itu," Gita menjerit kesal, bangun dari tempatnya dan memukul Adit. Bukannya kesakitan, tawa Adit malah semakin kencang sambil sibuk melindungi kepalanya. Capek, Gita berhenti dan menangis, puncak dari marahnya. Pria ini tidak serius untuk meminta maaf, pikirnya. Melihat Gita menangis sambil menutupi wajahnya, Adit merasa bersalah. Dia berdiri dan menarik pelan Gita dalam pelukannya.
"Jangan nangis, aku minta maaf ya? Aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi," ucapnya tulus, namun terdengar begitu bullshit di telinga Gita. Karena dia tahu, Adit akan mengulanginya, kemudian mengingkari janji, dan pada akhirnya Gita akan selalu memaafkannya.
Adit terus menghujani puncak kepala Gita dengan ciuman-ciuman kecil, sementara dia masih terisak pelan di dada Adit.
"Ka-kamu nggak tahu apa aku ketakutan semalam ditinggal sendirian?" Isak Gita dan memeluk pinggang Adit erat.
"Takut orang jahat?" Tebak Adit.
"Takut uang aku nggak cukup bayar makanan semalam. Entar aku nggak bisa pulang, disuruh cuci piring,"
Dan terngakaklah Adit, yang langsung dihadiahi cubitan besar di perutnya.
"Aku minta maaf ya? Kamu maafin aku, kan?" Tanya Adit setelah tawanya mereda. Gita mengangguk lemah, bukan karena ingin memaafkan. Agar semuanya cepat selesai. Adit tersenyum, begitu pun Gita. Dia menangkup satu pipi Gita, dan mendekatkan wajahnya dengan mata sudah tertutup. Kebalikan dari Adit, mata Gita melotot hingga rasanya bola matanya akan keluar. Dan lagi-lagi, dia akan dicium? Yang benar saja! Belum 24 jam dia akan dicium oleh 2 orang pria berbeda sekaligus?
Sebelum bibir Adit mendarat, Gita memalingkan wajah ke samping, hingga bibir Adit hanya mengenai sudut bibir Gita. Meski agak kecewa, Adit coba mengerti jika Gita masih belum terlalu memaafkannya. Dia tersenyum, dan mengecup cepat pipi Gita.
"Ayo mandi. Aku ajak makan sop kaki kambing langganan kamu,"
"Eh? Beneran?! Kamu, kan nggak suka bau kambing?" Tanya Gita takjub. Sungguh, selama mereka pacaran Adit paling anti jika diajak makan sesuatu yang berbau kambing. Konon katanya, dulu trauma karena pernah diseruduk kambing peliharaan kakeknya Adit di kampung.
"Beneran. Hari ini pengecualian. Kamu siap-siap dulu gih, aku tunggu," ucap Adit dan tersenyum. Gita berlari cepat ke arah kamar. Kemudian kembali berbalik ke Adit yang menatapnya bingung.
"Kenapa balik-" kalimat Adit terhenti tepat setelah Gita mencium cepat pipinya.
"Terima kasih," bisik Gita riang dan kembali berlari ke kamar.
***
Gita bersiul rendah saat memasuki kantor pagi ini. Begitu riang, begitu senang, seakan kemana pun dia melangkah, ada bunga berguguran disekitarnya, sepeti menambah kesan bahagianya.
Entah kenapa kemarin Adit begitu baik. Sangat baik malah, hingga Gita sempat curiga jika Adit akan meminta putus setelah membuatnya bahagia. Pria itu benar-benar menemaninya pergi makan sop kaki kambing favorit Gita, kemudian mengajaknya makan gelato, sampai ngobrol di taman sambil duduk selonjoran di atas rumput yang sedikit basah karena embun.
Semuanya begitu menyenangkan sampai Kris memanggil Gita ke dalam ruangannya. Wajahnya kembali tertekuk, sekaligus jantungnya yang sudah normal, kembali kembang kempis.
"Sudah sehat?" Tanya Kris dengan gaya sengak.
"Sudah Pak," jawab Gita hati-hati.
"Sakit apa?" Tanya Kris lagi namun sibuk dengan laptopnya.
"Maag saya kambuh Pak," ucap Gita tentu saja berbohong.
"Sakit kok, nggak elit," sindir Kris tajam.
"Maksudnya Pak?"
"Iya. Sakit maag itu penyebabnya karena kurang makan,"
Gita rasanya ingin menenggelamkan Kris ke samudra paling dalam.
"Jadi tujuan Bapak panggil saya ke sini cuma mau tanya saya sakit apa?" Gita to the point.
"Tentu saja tidak. Saya tidak seintim itu dengan kamu,"
TERUS CIUMAN KEMARIN ITU APA YA??? KARENA KHILAF???
"Lusa kita berangkat ke Denpasar. Ada acara *PIT IDAI di NDCC*," Kris menyerahkan sebuah amplop. Gita mengambil dengan tangan bergetar. Melongo sebentar ke dalam melihat isinya. Sebuah tiket pesawat ke Bali dan voucher hotel.
"Ki-kita berdua pak?" Tanya Gita tak percaya.
"Iya," jawab Kris singkat yang kini menautkan kedua tangan di depan dagu seraya menatap Gita intens. "Any problem?"
"Nggak, sih, tapi mendadak banget Pak. Ada pertemuan penting bersama direktur RS mengenai kerja sama selanjutnya,"
"Nanti Rina yang urus,"
Gita merasa kalah telak. Persediaan alasannya menipis.
"Putra nggak ikut pak?" Gita meringis, membayangkan betapa membosankan bersama Kris seharian penuh.
"Nggak. Dia handle event seminar Bidan selama 3 hari. Lusa kita berangkat,"
"Tapi Pak-"
"Sudah. Sekarang kamu kerjakan laporan pemetaan terbaru rayonisasi dan dalam kota. Sebelum jam 12 sudah di email ke saya,"
Gita mendesah pelan dan akhirnya menyerah "Baik Pak," Gita bangkit dari kursinya dan berjalan gontai ke arah pintu. Namun, dia berbalik ke arah Kris. Merasa pria itu belum melakukan suatu hal yang terus mengganjal hatinya.
"Bapak belum minta maaf ke saya," ucap Gita tegas dan penuh penekanan.
"Untuk?" Kris menatap Gita dengan satu alis terangkat.
"Un-untuk telah..." Gita mengigit bibir bawahnya seperti ragu. "Maaf untuk menci-"
"Permisi gue mau masuk Mbak Wati," Gita segera menyingkir kemudian mundur keluar dari dalam ruangan Kris saat Dino yang berbadan tambun memaksa masuk sampai Gita belum selesai mengutarakan maksudnya. Setelah pintu tertutup, Gita kembali berjalan dengan lemah menuju mejanya sambil merutuk dirinya yang terlihat rendahan. Bahkan, kini mereka harus berduaan di Bali. Gita merasa, Kris seperti menciptakan neraka untuk dirinya.
Tbc
***
Hell-ooooww apa kabar.. masih menunggu ceritaku kah? 🤣
Senang ya makin banyak yang baca dan vote. Aku harap kalian nggak bosan sama cerita ini..
Menurut kalian makin greget nggak sih mereka berdua??
1. PIT: Pertemuan Ilmiah Tahunan
2. IDAI: Ikatan Dokter Anak Indonesia
3. NDCC: Nusa Dua Convention Center