Author POV
Gita mengaduk nasi campurnya dengan tidak minat, seakan nasi tersebut menjadi pelampiasan kegalauan dan kerisauan hatinya setelah mendengar kabar buruk bahwa dia harus pergi bersama Kris ke Bali. Berduaan.
"Lo aduk sampe benyek, Lo tetap bakalan berangkat lusa," timpal Yuda yang membuat Gita melengos malas.
"Emang kenapa, sih? Seakan dunia bakalan kiamat kalo Lo berangkat lusa?" Celetuk Rina heran. Sungguh, ekspresi Gita saat ini sepeti orang yang akan digantung mati.
"Kan, ada Jingga dari cabang Banjarmasin, sohib se-batch Lo dulu waktu ICT*. Terus ada Lika dan Madhan juga, di cabang Denpasar. Lo nggak bakalan mati gaya deh," terang Putra setelah meneguk es tehnya.
"Iya, sih... Tapi kenapa bukan gue yang handle seminar Bidan itu dan Lo yang berangkat ke sana Put?" Gita masih terus saja mengeluh. "Padahal gue juga ada event besar. Tapi Rina yang disuruh handle,"
"Ini acara dokter dan Lo kan, lebih sering detailing dokter. Makanya Lo yang diajak," jelas Yuda. "Atau jangan-jangan Lo takut diajak ngamar sama Pak Kris?" Canda Yuda yang segera disambut delikan marah Gita, namun ditertawakan oleh yang lain.
"Iya, ya? Dia udah punya pacar belum sih? Ganteng gitu, jangan-jangan minatnya sesama batangan lagi," ujar Putra geli membayangkan.
"Cucokk meongg, eike mau sama dia," kelakar Dino dengan suara sengau ala-ala bences dan gerakan lemah gemulai para tulang lunak.
Gita jelas makin dongkol digoda teman-teman sekerjanya yang tertawa karena aksi konyol Dino. Tidak ada alasan kuat bagi Gita untuk membatalkan keberangkatan. Dia harus bersikap profesional, kan? Toh, mereka benar-benar pergi untuk urusan kerjaan.
***
Gita POV
Aku hendak memasukkan barang terakhir ke dalam koper-itu adalah catok kesayanganku, sebelum akhirnya bunyi bel di pintu depan menghentikan aktivitasku sesaat.
Aku berlari ke arah pintu dan membukanya, seperti biasa tanpa mengecek siapa yang datang. Karena aku tahu pasti siapa si tamu.
"Asyikk!" Teriakku senang. Adit yang tertawa mengacak rambutku gemas seraya mengangkat sebelah tangan yang sedang menenteng sebungkus martabak telor langganan ku. Aku menarik bungkusan martabak tersebut dan meninggalkan Adit di belakang sendirian, namun akhirnya mengekor hingga ke dapur.
"Besok pesawat jam berapa?" Tanya Adit dan mencomot sepotong martabak yang sudah aku pindahkan ke piring keramik berwarna biru muda.
"Sembilan pagi," jawabku dengan mulut penuh martabak.
"Aku nggak antar ya? Soalnya banyak kerjaan,"
"Iya nggak papa," aku tersenyum dan melahap martabak lagi. Adit tertular senyumku, lalu mengelus kepalaku pelan.
"Cepat pulang. Jangan sampai kepincut sama bule-bule di sana," pesannya setelah mengecup kepalaku singkat. Ngelawak si Adit. Melirik aku saja, sudah pasti para bule itu tidak berselera.
"Iyaaa, kamu juga jangan nakal disini! Awas kalo aku dengar jalan sama cewek lain," ujarku dan mengepalkan tangan tanda mengancam. Adit tertawa dan menangkup kedua pipiku, saling menggesek ujung hidung kami.
"It's you, only you, Gita Saraswati," bisiknya dan kini berusaha mendekati bibirku. Oh, tidak! Bagaimana ini? Dia akan menciumiku? Itu semua mengingatkanku pada Kris! Aku panik, sepanik-paniknya berusaha menghindar, tapi tidak membuat Adit tersinggung.
"Haattchim!" Aku pura-pura bersin tepat di depan wajah Adit. Gerakan wajahnya terhenti, seketika Adit membuka mata. Terlihat dia sangat kesal.
"Maaf," cicitku pelan dan menyeka wajahnya yang kotor karena muncratan martabak dari dalam mulutku.
***
"Likaaaaa," seruku saat melihat perempuan bertubuh tambun itu berada diantara para penunggu yang sedang berdiri di terminal kedatangan. Lika berteriak histeris dan kami berpelukan sangat erat, seperti sudah lama tidak bertemu. Padahal, baru bulan lalu aku bertemu dengannya saat dia datang ke Jakarta untuk training.
"Waaaaa," teriak Lika tak kalah kencang. Gue senang banget elo yang ke sini! Gue udah susun rencana petualangan kita nanti,"
"Gila! Gue ke sini kerja ya, bukan jalan-jalan," dengusku. Lika terkikik geli.
"Sok suci Lo! Tujuan utama Lo ke sini jalan-jalan. Sampingannya kerja,"
Kami terbahak bersama.
"Terbalik bego! Eh, di mana Madhan?" Aku melihat sekitar mencari keberadaan Madhan yang tidak terlihat di mana pun.
"Dia tunggu di mobil. Bos Lo yang baru mana? Katanya cakep ya kayak artis?" Lika yang penasaran terus memandang ke arah pintu kedatangan.
"Dia pesawat sore. Masih ada kerjaan di cabang. Udah, yuk! Gue udah lapar banget pengen nasi campur Bu Oki," aku melihat jam tangan yang melilit tangan kiri ku sudah menunjukkan pukul 12 siang.
"Ayo. Atau mau babi guling? Enak banget lho! Apalagi kulitnya yang crispy yet so tender inside make your mouth watering even just imagine that," Lika menjilat bibirnya sendiri, seperti membayangkannya, sedangkan aku bergidik ngeri.
"Kayaknya makan Lika guling lebih lezat," aku melirik sebal ke arahnya. Lika tertawa dan merangkul leherku, kemudian menyeretku ke parkiran. Di dalam mobil, aku mendapati Madhan sudah duduk di balik kemudi, memakai kaca mata hitam. Dia tersenyum padaku, dan kami berjabat tangan sambil bercanda dengan jokes-jokes receh.
Kota Denpasar siang ini cukup macet dan panas, ditambah beberapa ruas jalan yang sedang diperbaiki memperparah kemacet. Namun, semuanya tak berasa karena mereka bertiga lebih sibuk mengobrol dan tertawa hingga tidak lama mereka telah sampai ke rumah makan Bu Oki yang terkenal akan nasi campurnya.
"Kenapa makan sikit kali Lika?" Tanya Madhan dengan logat Melayu Aceh-nya takjub melihat porsi makan Lika yang lebih sedikit dari biasanya.
"Diet gue," jawabnya singkat dan melahap sate lilit.
"Diet? Sakit Lo?" Tangan Gita sudah terangkat hendak menyentuh kening Lika. Mengecek, siapa tahu omongannya melantur karena sedang sakit panas. Karena Gita tahu benar jika Lika adalah manusia pemakan segala macam rupa makanan, minus kotoran dan racun. Mendengar seorang Lika diet tentu itu sesuatu yang luar biasa.
"Aku kemarin dengar orang yang diet hari ini terus besoknya mati-lah" ucap Madhan yang segera dihadiahi pukulan bertubi-tubi Lika di lengannya, sementara aku bereaksi dengan tawa yang dibuat-buat.
Keasikan ngobrol, membuat kami sampai lupa waktu. Karena ketika aku melirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore sehingga kami memutuskan kembali ke hotel di daerah Nusa Dua yang dekat dengan tempat acara seminar dokter anak besok.
Sejam kemudian mobil berbelok ke Grand Hyatt, tempat kami akan menginap.
"Njir, tumben kita nginap di hotel bintang 5? Biasanya yang kelas melati," ucapku merasa bingung sekaligus senang disaat yang bersamaan.
"Iya, gue sama Madhan juga heboh waktu kita dikasih tahu bakal nginap disini. Lo tahu kenapa kita bisa nginap di Grand Hyatt?" Ucap Lika sambil menengok ke belakang, karena dia duduk di samping Madhan.
"Kenapa? Perusahan kita loyal sama kacung kayak kita?" Tebakku. Lika berdecak, menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan kiri dengan cepat, menunjukkan jika jawabanku salah alias ngawur.
"Karena Mbak Ayu orang pusat, salah booking jumlah kamar. Jadi ada 8 kamar kosong yang nggak akan terpakai sampai acara selesai. Kita sebagai anak soleh pun, kecipratan kamar gratis tersebut,"
"Gitu dah," sambung Madhan dengan aksen Bali yang dibuat-buat. Memang rejeki anak soleh nggak ke mana, ya. Nginap gratis di hotel yang per nett yang paling murah aja dua juta!
"Eh, kita turun di lobby," Lika mengingatkan saat mobil mendekati entrance menuju lobby.
"Kalian buat aku macam sopir kalian aja," sungut Madhan namun tetap berhenti depan entrance.
Kami tertawa kemudian turun dan segera masuk ke dalam lobby. Untuk sampai ke lobby, kami harus melewati lorong panjang yang kiri dan kanannya dihiasi pilar-pilar putih yang kuat. Mengingatkanku pada keraton Jogja. Lalu, kami sampai di semacam aula dengan ornamen-ornamen khas Bali, dan bau dupa yang menambah kesan nyaman dan rileks, hal yang paling aku sukai jika berada di Bali.
Namun, suasana menyenangkan ini segera hancur dalam sedetik saat melihat sosok Kris sedang berdiri di depan resepsionis. Kenapa harus ketemu di sini? Harusnya kami pulang lebih telat, sehingga aku tidak perlu bertemu dengannya.
Aku ingin menghindar, namun dia terlanjur melihatku. Mau tidak mau, aku harus menyapa Kris. Aku tidak ingin menjadi karyawan yang kurang ajar, meski aku sering memakinya dalam hati.
"Bapak udah sampai?" Tanya ku berbasa-basi setelah menghampirinya. Hmmm, ini pertama kalinya aku melihatnya dalam balutan busana yang kasual.
Bahkan, rambutnya yang biasa klimis dibiarkan berantakan, menutupi keningnya yang selalu terekspos. Duh, jadi nostalgia, kan?
"Iya," jawabnya singkat dan mengeluarkan KTP untuk proses check-in. Lika menyikut pinggangku, seolah bertanya siapakah gerangan makhluk antik yang hampir punah di depan ku ini.
"Oh ya, Pak kenalkan ini Lika, representative cabang Denpasar," aku memperkenalkan Lika pada Kris yang menatapnya datar. Lika sudah mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Sementara perasaanku deg-degan, menunggu apakah si cowok congkak ini akan menjabat tangan Lika juga.
"Krisna," jawabnya singkat dan juga menyambut uluran tangan Lika.
"Li-Lika Pak," jawab Lika dengan wajah merah. Kenapa dia?
"Bu Susi udah datang?" Tanya Kris pada Lika. Weleh, ternyata dia bisa bersosialisasi juga? Ngomong-ngomong, Bu Susi adalah head manager Bali-Nusra. Jabatannya sama dengan Kris. Namun wilayah Kris adalah cabang Jakarta II.
"Sudah Pak. Beliau sudah datang dari kemarin,"
Kris mengangguk dan melanjutkan proses check-in. Kami memutuskan segera pamit dan menaiki lift ke lantai 2 karena sudah cukup basa-basi nggak penting tapi sangat berpengaruh dalam masa depan karirku.
"Gilaaaa! Cakep banget! Itu bos baru Lo? Apalagi waktu dia ngucapin namanya. Lakik banget suaranya," seru Lika dengan nada mengagumi. Cakep dari Hongkong?
"B aja," komenku singkat.
"B aja??? Nggak salah? Hidup Lo harusnya lebih berwarna dong dengan bos se-cakep Pak Kris," Cih, berwarna dari Hongkong? Rasanya aku seperti berada dalam zaman penjajahan Jepang. Kerja keras bagai Romusha.
"Dia udah nikah belom?" Lika masih saja kepo. Aku menjawab belum dengan malas-malasan dan berhasil membuatnya melonjak senang dalam lift.
"Kalo pacar?" Tanya lagi dengan antusias.
"Nggak tahu. Cari tahu sendiri! Gue nggak tahu apa-apa tentang dia kecuali dia suka buat kita para representatifnya kelimpungan dengan sikap perfeksionisnya,"
"Widiww! Sewot amat buk??? Dendam kesumat banget sama Bos sendiri? Nggak baik lho, entar malah jatuh cinta kalo terlalu benci," Lika mengingatkan dengan ekspresi serius.
"Nggak bakalan!" Teriakku tepat di depan wajahnya.
***
Author POV
Gita mendesah kesal, menjejalkan ponsel dalam tas kecilnya tatkala Lika dan Madhan tidak bisa menemaninya melihat sunset di BTDC karena mereka masih sibuk prepare untuk acara besok. Gita tak punya pilihan lain, selain pergi ke pantai sambil menikmati matahari terbenam sendirian. Tidak mungkin dia membatalkan-sekalipun Madhan dan Lika tak ikut-karena dia sudah berdandan necis. Terusan kembang-kembang selutut dan bertali satu, dibalut rajutan sebatas perut yang kebesaran, serta topi jerami yang menambah kesan imut.
Gita memilih meminjam sepeda dayung milik hotel yang memiliki keranjang di depannya serta bel disebelah kiri.
"Berasa pemeran utama di drama Korea," gumamnya dan tertawa kecil sambil mendayung sepedanya. Sesekali membunyikan bel ketika beberapa pejalan kaki berada di jalurnya, yang sepertinya juga berpikiran sama dengan Gita. Menikmati matahari yang sebentar lagi akan kembali ke peraduan.
Begitu sampai di pinggir pantai, Gita segera memarkir sepedanya dan tak lupa merantai ban sepeda agar aman. Setelah itu, dia turun ke lantai dan berjalan-jalan sebentar sambil foto-foto dan melihat pemandangan sekitar. Entah pemandangan laut, bule-bule berbikini, sampai cowok-cowok dengan roti sobeknya.
"Surga dunia," gumam Gita dengan perasaan yang sangat excited setelah 2 orang pria bule yang tinggi menjulang dengan mata birunya melewati Gita. "Ya ampun, sadar Gita. Jangan khilaf. Lo udah punya Adit," Gita seakan menguatkan dirinya akan pesan Adit, agar tak terpincut bule di sana. Tak lama, lamunannya pecah saat seorang anak bule-sekitar berumur 5 tahun-terjatuh di depannya. Rambutnya keriting, pirang dan bermata hijau zamrud. Sangat menggemaskan, pikir Gita. Tanpa menunggu, Gita segera menghampiri anak perempuan tersebut dan membantunya berdiri.
"Are you okay sweetheart?" Tanya Gita dan membersihkan pasir yang menempel di bajunya.
"I'm okay. Thank you," ucapnya dengan aksen Inggris. Kemudian dari kejauhan orang tuanya memanggil, hingga dia hanya melambaikan tangan pada Gita dan berlari kecil menuju kedua orang tuanya yang sudah menunggu di sana.
"Enak kali ya, nikah sama bule. Gue bakalan punya anak yang lucu kayak Barbie. Kalo nikah sama Adit, anak gue kemungkinan 2 jenis. Kulit putih tapi pesek, atau kulit hitam tapi mancung," Gita tertawa sambil menggoyangkan kepala mengusir segala pikiran yang masih sangat jauh menurut Gita. Jauh, karena sampai sekarang Adit belum juga melamarnya, meski mereka kadang membahas. Gita juga pikir, belum terlalu yakin menghabiskan masa tuanya bersama Adit. Ada sesuatu yang mengganjal, namun Gita belum bisa memastikan hal apa itu.
"Kalo sama Kris, anak gue udah pasti putih, karena dia dan gue sama-sama putih. Hidung mancung? Jangan ditanya. Cantik dan ganteng? Udah pasti. Haduh! Nggak-nggak! Ngapain mikir sampai ke sana?" Gita bermonolog dengan dirinya, lalu kembali ke sepeda, mengambil alas duduk serta minuman dan makanan ringan, sebelum akhirnya memilih duduk di pantai, menikmati matahari dan langit yang berwarna jingga.
***
Langit BTDC mulai menggelap setelah matahari benar-benar bersembunyi dibalik garis laut di kejauhan sana. Gita memilih menggulung alas duduknya, dan membuang sampahnya di tempat sampah yang tersedia, lalu menuju sepedanya untuk segera kembali ke hotel.
Hanya 5 menit mengayuh sepedanya, Gita telah sampai di hotel. Setelah memarkir sepedanya, Gita berjalan ke kamarnya, hendak berisitirahat karena tubuhnya lumayan pegal.
Saat hendak membuka pintu kamar, kamar di sebelah terbuka pintunya. Muncul orang yang paling tidak ingin dilihat Gita.
"Lho, Pak? Ternyata kamar kita sebelahan," ucap Gita sambil menyeringai aneh, karena bingung.
"Lalu?" Tukas Kris singkat dengan wajah sengak yang mengundang ingin dicocol.
"Ya, nggak papa. Kaget aja. Saya masuk dulu," Gita memasang tampang kesalnya saat pintu kamarnya menghalangi wajahnya terlihat oleh Kris.
"Tunggu," ujar Kris sehingga Gita harus menutup setengah pintunya agar bisa melihat Kris.
"Ada apa Pak?" Kening Gita berkerut bingung.
"Temani saya makan malam,"
Dan, Gita mendadak perutnya mules-mules.
TBC
***
Hellowww.. udah lama ya nggak up. Apa ada yang menunggu kehadiran saya sodara2? 🤣🤣🤣
Belum ada konflik berarti yaa semoga masih seru ceritanya menurut kaliann