Chereads / Hello, Ex! / Chapter 11 - Bad Day (But Not So Bad)

Chapter 11 - Bad Day (But Not So Bad)

Author POV

Setelah drama kejar-kejaran ala-ala film action di gang sempit, Gita berhasil menarik hoodie Nila, sebelum wania gemyk itu memasuki sebuah rumah. Sialnya, itu rumah Nila sendiri. Sialnya dobel, saat Gita tertangkap kering hampir menganiaya Nila di depan mata ibunya sendiri.

Disitulah, akting Gita sebagai artis yang naik daun kelor diuji. Dia berpura-pura memeluk Nila, dan mengaku sebagai teman satu kantor.

Si Ibu yang kelewat polos, hanya tersenyum, bahkan sampai menitikkan air mata ketika merasa anaknya begitu diperhatikan. Apalagi, ditambah kehadiran Putra, Dino dan Yuda yang ikut terseret sinetron ciptaan Gita. Mereka datang setelah Gita men-shareloc lokasinya.

Ironi. Itu yang mereka dapati. Ketika anaknya ingin dihakimi oleh Gita dan teman-teman, sang Ibu tulus menghidangkan makanan terbaik yang dia punya- yang dianggap orang, hanya makanan biasa. Mereka dijamu habis-habisan diantara kesederhanaan Nila dan Ibunya yang sangat baik hati. Beliau, kehilangan satu kakinya karena diabetes yang mengakibatkan harus diamputasi. Dan, thanks to Nila, dia berhasil mendapatkan uang yang mustahil bisa ada dalam waktu singkat, apalagi kalau bukan mengambil uang tagihan bidan.

Gita dan teman-temannya harus terus tersenyum ria di hadapan Ibunya, sementara Nila hanya bisa menunduk tak berani menatap mantan bosnya yang masih baik, menyelamatkan mukanya di depan sang Ibu. Menyelamatkan image Nila sebagai anak baik-baik, yang tidak mungkin membawa kabur uang orang.

Pada akhirnya, Gita meminta izin pada Ibunya, mengajak Nila keluar agar bisa bearbicara secara leluasa, dengan alasan jalan-jalan. Dan, disinilah mereka berakhir. Duduk di bale-bale bambu di depan empang kecil yang sepi.

"Lo tuh, ya!" Seru Putra seperti sebuah lirik lagu, menuding Nila tajam dengan kelingking imutnya. Sementara yang dituding, tertunduk dalam dengan air mata berurai.

"Ssstt," bisik Putra pada Dino di sampingnya "tahan gue!" Serunya sepelan mungkin, tapi masih bisa di dengar oleh semua yang disitu. Dino mengacungkan jempolnya mengerti.

"Jangan emosi, bang! Jangan!" Dino menghalangi Putra yang seakan-akan ingin melakukan kekerasan pada Nila. Ish.. Dino aktingnya jelek banget, decih Gita dalam hati.

"Nila," Mas Yuda membuka percakapan. "Walaupun uangnya kamu gunakan untuk pengobatan Ibu kamu, tetap aja caranya salah. Itu uang orang lain. Sama saja dengan mencuri. Apalagi, setelah itu kamu memilih kabur. Berarti, tidak ada niatan dari kamu untuk mengganti uang tersebut. Kamu bisa saja kami jebloskan ke penjara,"

"Ba-bapak jangan bawa saya ke kantor polisi! Saya mohon Pak, kasihan Ibu saya sendirian. Bapak saya sudah lama meninggal," Nila tergugu dalam tangisannya yang makin menjadi mendengar pernyataan Yuda. Dia bahkan sampai membungkuk, bersujud pada Yuda. Pria itu memegang bahu Nila agar gadis itu kembali duduk dengan tegap.

"Maafin saya Pak, Mbak Gita. Saya benar-benar khilaf. Saya bingung harus cari uang ke mana lagi sedangkan Ibu saya harus secepatnya diobati," ujar Nila menangis tersedu-sedu.

"Nila, kenapa Lo tega banget sama kami, khususnya gue," ucap Gita dengan nada sendu. Bagaimana pun, Gita atasan langsung Nila, bahkan Gita yang menerimanya bekerja.

Hanya maaf yang bisa keluar dari mulut Nila ditambah tangisan diantara penyesalan menyalah-gunakan kepercayaan para atasannya.

"Maafin saya, Mbak Gita. Maaf, saya nggak mau sebenarnya, tapi sudah nggak ada pilihan lain. Saya nggak bisa biarin Ibu kesakitan seperti itu,"

"Terus kenapa Lo nggak info dari awal dan tiba-tiba resign setelahnya?!" Suara Putra kembali meninggi. "Kita jadi punya pikiran buruk bahwa Lo benar-benar mau bawa lari uang itu?"

"Saya ada niatan buat kembalikan uang itu kalau sudah dapat kerjaan baru. Setelah itu baru saya akan info Mbak Gita,"

"Alah, alasan aja Lo!" Tuduh Putra lagi. Memang Lo udah niat mau maling uang itu. Mana ada pencuri yang kembaliin hasil curiannya? Cuma di negeri dongeng!" Tambah Dino nggak kalah panas.

"Udah," suara Yudi menengahi, sebagai yang paling tua dan dituakan. "Sekarang, semuanya tergantung kamu, Nila. Mau kembaliin uang itu atau nggak? Kalo mau kembaliin, kapan waktunya dan kalo nggak mau, terpaksa kita bawa kasus ini ke jalur hukum,"

"Saya pasti ganti Pak! Begitu dapat kerjaan saya pasti langsung ganti, tapi mungkin tidak langsung utuh. Akan saya angsur perlahan. Tapi tolong, jangan bawa saya ke kantor polisi. Tidak ada yang Ibu saya miliki, kecuali saya anak satu-satunya. Tolong jangan bawa saya ke kantor polisi," Isak Nila dan kembali memohon di kaki Yuda. Sementara Dino, Putra dan Gita saling melihat satu sama lain, terlalu bingung dengan situasi rumit saat ini.

***

Gita POV

Gita duduk lesu diantara para karyawan di kantin, yang sedang mengisi perut di waktu siang. Walau tubuhnya terasa letih setelah drama tadi pagi, dia harus tetap kembali ke kantor karena ini akhir bulan dan mereka akan closing penjualan di bulan ini. Sedangkan Yuda, Dino dan Putra memilih makan siang di luar.

Pada akhirnya, pertemuan dengan Nila tidak membuahkan hasil yang memuaskan karena pada akhirnya wanita itu tidak bisa melunasi hutangnya sesuai dengan tenggang waktu yang diberikan Kris, yaitu tiga hari. Sisa dua hari. Tidak mungkin wanita itu bisa mendapatkan uang sebanyak itu-untuk ukuran Nilai-kecuali, mencuri, menjual tubuhnya, atau bahkan menjadi babi jadi-jadian.

Kepala Gita rasanya pusing. Satu-satunya jalan adalah dengan membayarkan hutang tersebut dengan uang pribadi mereka terlebih dahulu. Mereka sepakat, akan membayarkan uang tersebut, kemudian akan dicicil Nila perlahan. Putra yang menolak keras ide tersebut, tentu tidak mau mengeluarkan uangnya sepeser pun. Pada akhirnya, hanya Gita, Yuda dan Dino yang mau membantu Nila. Itu pun, lebih dari setengahnya akan ditanggung Gita. Sisanya, lima juta dibagi dua oleh Yuda dan Dino.

"Halo, Prita? Apa kabar?" Gita sedang berbicara melalui hapenya dengan teman akrabnya saat SD. "Iya, gue juga baik. Di mana sekarang? Hilang-hilang aja," lanjut Gita hingga berbasa-basi beberapa saat. Sampai waktunya dia mengemukakan maksud meminjam uang, sambungan telpon terputus.

"Sialan," umpatnya ketika ditelpon balik, panggilannya terus saja ditolak. "Jangan susah Lo, ya! Nggak bakalan gue bantu,"

Gita kembali menelusuri kontak di hapenya, mencari siapa lagi yang bisa meminjaminya uang. Saat-saat seperti ini lah, akan terlihat secara alami, mana kawan, mana lawan.

Gita bukanlah orang yang pelit, dia selalu berusaha menolong teman-temannya, atau yang membutuhkan bantuannya. Tentu saja, paling banyak dalam hal keuangan, meski kadang uangnya tidak pernah kembali. Gita tidak pernah menghitung, pun, mengambil pusing uang yang tidak dikembalikan. Karena menurutnya, uang yang hilang akan digantikan Tuhan dalam rejeki lain.

Tapi, sudah kontak kelima, tidak ada yang mau membantunya meminjamkan uang sepuluh juta, untuk membantu Nila melunasi hutangnya.

Pilihan terakhir. Pacarnya. Adit. Sekalipun, Gita tidak pernah meminjam uang pria itu karena menurutnya dia tidak membutuhkan uang. Namun saat ini, sepertinya Adit satu-satunya orang yang bisa dimintai tolong.

"Halo, Git?" Tidak butuh waktu lama untuk Adit menjawab telponnya.

"Kamu lagi di mana?" Tanya Gita sambil mengigit bibirnya, kebiasaan jika dirinya gugup. Padahal, dia tidak bertemu langsung dengan Adit. Tapi uang adalah hal sensitif.

"Aku lagi di jalan mau makan siang. Udah makan? Mau makan bareng?"

"Nggak papa. Aku juga lagi makan di kantin kantor. Masih ada kerjaan nanti. Mau makan di mana?"

"Dekat kantor aja,"

Kemudian hening. Gita masih maju mundur untuk mengungkapkan maksudnya menelpon.

"Git?" Adit memanggil mengira jika sambungan telpon terputus.

"Iya," jawab Gita setengah gugup. "Hmmm... Adit, aku... Boleh pinjam uang nggak?" Gita memejamkan matanya erat, dag-dig-dug menunggu jawaban Adit.

"Untuk apa?" Tanya Adit. Tidak pernah pacarnya meminjam uang. Jika sampai seperti ini, tentu dia sangat membutuhkan. Sedangkan Adit tahu berapa gaji Gita.

Dan, Gita menceritakan kronologi maksudnya meminjam uang secara lengkap, hingga kejadian tadi pagi.

Hening kembali. Hingga terdengar suara tawa yang mengejek dari seberang sana.

"Ngapain sih, kamu harus susah-susah pinjam uang hanya untuk anak buah kamu yang udah terbukti salah? Gimana kalau dia akhirnya bawa kabur uang kamu juga Gita? Bodoh banget, sih, kamu mau aja dibohongi lagi? Cerdas dikitlah, Git. Logika kamu ke mana?"

"Adit, kamu nggak perlu sampai bilang aku bodoh. Aku murni hanya mau bantu dia. Kalau nggak mau pinjamin, nggak perlu merendahkan aku seperti itu," suara Gita bergetar menahan tangis. Adit sungguh keterlaluan, pikir Gita

"Jangan mau dimanfaatin. Biarin aja dia di penjara. Aku nggak mau pinjamin uangku kalau buat tolongin dia,"

Gita memutuskan sambungan telpon, muak jika harus mendengarkan perkataan Adit lagi. Dirinya tidak menyangka orang paling dekat dengannya bisa mengeluarkan kata-kata setajam golok.

Gita menggengam erat hapenya, mencoba menyalurkan amarahnya. Dia hanya meminjam uang, tapi bukan berarti Adit boleh merendahkan harga dirinya. Apa salah, jika dia memiliki jiwa sosial tinggi yang selalu diajarkan bapak-ibunya?

Rasanya Gita ingin menangis, tapi ini kantin dan sedang ramai. Dan, dia tidak boleh terlalu sering mengeluarkan air mata untuk pria bangsat seperti pacarnya.

"Nggak boleh nangis. Pasti ada cara lain. Pasti bisa Gita. Semangat! Semangat! Semangat!" Gita bermonolog menyemangati dirinya. Dia bangkit dari kursinya, berjalan cepat ke ruangannya.

Belum juga kekesalannya hilang, kini, berganti dengan rasa was-was. Kris menelponnya.

"Halo Pak?" Jawab Gita tanpa harus menunggu beberapa detik. Karena ini telpon penting. Hidupnya bergantung pada seberapa cepat dia menjawab telpon Kris.

"Di mana?" Tanya Kris singkat.

"Saya lagi jalan ke ruangan. Ada apa Pak?"

"Kamu sudah dengar kabar, OM* subdis* Maju Bersama membatalkan PO* senilai sepuluh milyar yang dibuat kemarin?"

Jedarrrr! Jedarrrr! Mungkin kalau ada petir menyambar Gita, seperti itu bunyinya. Tiba-tiba saja rasanya badan Gita tersengat arus listrik berkekuatan tinggi.

"Me-membatalkan PO?! Di detik-detik terakhir closing Pak?"

"Dari cara kaget kamu, pasti kamu juga baru dengar,"

Gita meringis pelan "Tapi Pak, BE saya sudah sesuai dengan orderan itu," lirih Gita. Jika orderan itu dibatalkan, BE Gita meleset hingga dua puluh persen, sehingga salesnya mungkin hanya closing di angka delapan puluh persen. Terus, bulan depan dia harus 'puasa'???

"Cepat ke ruangan saya sekarang. Kita buat back-up data stok yang DOI*-nya kurang dari tiga puluh delapan hari,"

Belum sempat Gita menjawab, Kris menutup telepon terlebih dahulu. Secepat yang dia bisa, Gita berlari menuju ruangannya.

Sial, sungguh, sial. Bos besar-atasan langsung Kris, malah sampai lebih dulu. Sedang mencak-mencak dalam ruangan Kris karena telah mendengar kabar tersebut.

"Kerja anak buah kamu ngapain aja sampai PO sebanyak itu harus dibatalkan disaat terakhir closing?! Sudah saya bilang, Gita itu harus mengawal PO itu dari pagi! Dia hanya perlu duduk manis di bawah, memantau PO itu diinput sampai menjadi faktur. Saya cek dia di bawah nggak ada! Karena dia, kan, PO itu harus dibatalkan!" Teriak Bos Besar yang lebih senang dipanggil dengan nama bekennya, Pak Choi, daripada nama lengkapnya, Pak Choirul.

"Gita," panggil Rina yang merasa nyawanya sudah melayang saat mendengar teriakan Pak Choi. Gita yang masih berada di ambang pintu juga ikut-ikutan lemas, rasanya kakinya sudah tak bisa menopang tubuhnya saat namanya terus saja disebut oleh Bos Besar. Bu Sherly atasan langsungnya pun, mendekati Gita mencoba memberikan kekuatan meski tidak bermanfaat.

"Pak," ucap Kris tenang, tidak gentar sedikit pun oleh kemurkaan Pak Choi "Kalau Gita nongkrong di bawah dari pagi, apa PO itu tidak dibatalkan seperti ini? Lagi pula, alasan Pak Ridwan membatalkan PO karena stok yang tinggi. Daripada berteriak tidak jelas, lebih baik kita sharing dengan beliau, stok mana yang tinggi, dan mana yang rendah sehingga kita bukakan PO. Sudah pasti nilainya tidak akan sama, tapi paling tidak, kita tidak kehilangan semuanya,"

"Itu karena anak buah kamu nggak becus! Kalo nggak ada guna pecat aja semuanya. Daripada makan gaji buta di sini kalau PO itu tidak jadi faktur hari ini,"

Gita memejamkan matanya erat, merasakan sakit di dadanya saat mendengar Pak Choi meragukan kredibilitasnya dalam bekerja selama ini. Hanya karena, setitik kesalahan, seluruh kebaikannya dalam pekerjaan hilang begitu saja. Apa dia bilang? Gaji buta? Lalu, detailing, menunggu dokter hingga jam 2 pagi disaat orang terlelap, apa namanya kalau bukan dedikasi untuk perusahaan tercinta?

"Bapak tidak bisa menilai kinerja tim saya rendah hanya karena PO yang sebenarnya belum tentu kita gagal dapat hari ini. Namanya sales, banyak faktor yang berpengaruh dan tidak pasti. Salah satunya seperti hari ini. Apa sepadan, membandingkan kinerja bertahun-tahun mereka dibandingkan hanya sehari?"

"Kamu tidak akan berhasil mendapatkan PO itu, Kris! Saya jamin," ucap Pak Choi sambil berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan Kris. Gita cepat-cepat menyingkir dari depan pintu, menunduk dalam, begitu takut jika harus melihat ekspresi Pak Choi yang mengerikan.

"Jabatan saya taruhannya," Pak Choi terkejut sesaat di depan pintu ruangan divisi Kris. Semua mata seketika tertuju padanya, tidak terkecuali Gita yang mengangkat wajahnya. Kris menatapnya sekilas, sebelum mengalihkan pandangan pada Pak Choi yang berbalik padanya. Kris berdiri di ambang pintu ruangannya, menatap tajam Pak Choi yang juga ikut menantangnya.

"Apa maksud kamu?!" Seru Pak Choi tidak terima. "Untuk apa mempertahankan jabatan yang baru kamu tempati???"

"Jika PO itu tidak jadi faktur sebelum jam 4 sore nanti, saya mundur dari jabatan ini," ucap Kris tenang, mengalihkan pandangan kembali pada Gita dengan mata yang merah menahan tangis.

"Jangan berlebihan dengan mempertaruhkan jabatan kamu. Ingat, banyak orang yang saling mengorbankan orang lain untuk jabatan kamu sekarang ini,"

"Saya tidak peduli. Bapak meremehkan kemampuan saya dan tim saya. Akan saya buktikan kalau PO itu akan menjadi sales sebelum closing,"

Tidak perlu banyak kata, Pak Choi meninggalkan ruangan dengan suasana hati yang belum membaik sedikit pun. Semua yang disana bisa bernapas lega sesaat, namun kembali risau saat mendengar janji Kris yang mempertaruhkan jabatannya.

"Bapak, kok, harus sampai taruhan jabatan? Bagaimana kalau gagal?" Gumam Bu Sherly ketakutan.

"Ibu juga meragukan kemampuan saya?" Tanya Kris sepeti tidak terima.

"Bukan begitu Pak, tapi-"

"Ibu tenang saja," ujar Kris memotong kalimat Bu Sherly. "Saya ke subdis sekarang," Kris kembali masuk ke dalam ruangannya, lalu kembali lengkap dengan tasnya yang berisi laptop dan barang-barang lain.

"Gita?" Seru Kris ketika berada di ambang pintu, Gita tetap saja diam.

"I-iya Pak," jawab Gita yang terkesiap, terkejut dari lamunan ciptaannya.

"Ikut saya," lanjut Kris.

***

Gita POV

Entah dosa berat apa yang ku lakukan, hingga Tuhan menghukum ku sedemikian rupa. Mulai dari resign-nya Mas Yuda, Nila, direndahkan Adit, hingga dianggap tidak becus oleh Pak Choi. Rasanya aku ingin menenggak cairan pemutih yang dicampur dengan pembersih lantai, ditambah soda api.

"Sudah baikan?" Suara berat Kris membuatku kembali sadar. Aku mengangguk pelan, dan menyeka kembali air mataku.

Yah, meski nilainya tidak sebanyak PO awal, tapi paling tidak kami berhasil mendapatkan tujuh puluh lima persen dari total nilai awal. Terima kasih kepada kemampuan negoisasi Kris yang luar biasa sehingga kami berhasil mendapatkan PO dan membantah pesimistis Pak Choi.

Sekeluarnya dari gedung subdis Maju Bersama, aku malah menangis sejadi-jadinya. Karena lega, kami bisa mendapatkan PO itu sehingga Kris tidak jadi dipecat dan begitu pun aku, tidak jadi kehilangan pekerjaan. Atau, karena memang puncak dari segala kekalutan ku sehingga aku butuh menangis sebagai pelampiasan. Kris sampai kelimpungan, menarik ku masuk secepatnya ke mobil sebelum kami menjadi tontonan orang, karena ini bukan acara termehek-mehek atau sejenisnya.

"Sudah," jawabku dengan suara serak khas orang menangis. "Terima kasih Pak sudah menyelamatkan saya," kata ku dengan tulus.

"Menyelamatkan kamu?" Sinis Kris kembali ke mode nyinyir. "Saya hanya melaksanakan tugas sebagai atasan, bukan menyelamatkan kamu,"

Jika dalam kondisi biasa, aku akan merasa kesal, namun tidak kali ini. Kris, lebih mirip anak kecil yang menyangkal habis-habisan ketika dituduh mengompol di kasur. Aku mengangguk dan tersenyum geli.

"Ya, Bapak sudah melaksanakan tugas sebagai bos dengan baik. Melindungi bawahannya,"

"Tentu saja. Pak Choi harus minta maaf karena sudah meremehkan saya,"

Aku tidak bisa menahan tawaku saat mendengar kalimat Kris. Dia menatapku tajam, membuatku berhenti tertawa saat itu juga.

"Tapi, terima kasih, ya, Pak untuk hari ini," untuk pertama kalinya, aku tersenyum tulus padanya, setelah sepuluh tahun terlewati.

"Kenapa kamu harus tersenyum seperti itu?" Protes Kris dan sepenuhnya memutar tubuhnya menghadap padaku.

"Ke-kenapa Pak?" Kris selalu berhasil membuat jantungku bertalu jika ditatap tepat dimanik mataku, seperti ini. Seolah, aku bisa terhisap dalam dirinya.

"Make me wanna kiss you again,"

Belum sempat aku terkejut, bibir Kris telah berada di atas bibirku. Lagi. Hanya menempel. Tidak ada lumatan sama seperti sebelumnya.

"Kita kembali ke kantor untuk closing,"

Benar-benar biadab. Dia menganggap, seperti tidak terjadi apa-apa setelah kembali mencuri ciuman dariku?

"Oke Pak," laknatnya lagi, aku mengikut permainannya. Ada apa dengan diriku?

TBC

💃💃💃

HELLOWWW MASIH ADAKAH YANG MENUNGGU CERITA INI??? GUE LAGI NGEGAS MAKANYA SEMUANYA HURUF BESAR. CAPSLOCK GUE JEBOL KARENA KEJENGKELAN GUE SAMA KRIS YANG KURANG AJAR DAN GITA YANG MURAHAN. PADAHAL CERITA INI GUE KETIK SENDIRI, TAPI GUE JUGA YANG EMOSI SENDIR. ANEHH KANN?? UDAHLAH BACA AJA TEMAN2

Jangan lupa voment tapi ya 😘

1. PO: Purchase order

2. OM: operational manager

3. Subdis: sub distributor