Chereads / Hello, Ex! / Chapter 9 - Confuse

Chapter 9 - Confuse

Author POV

"Minum dulu," ucap Kris dari pinggir ranjang dan menyodorkan sebotol air mineral lengkap dengan sedotan. Gita yang masih merasa pusing meraih botol tersebut dan meneguk beberapa kali. Setelah itu, dia kembalikan botol tersebut pada Kris. Gita bersandar lemah pada ranjang yang dinaikkan hingga setengahnya, hingga Gita bisa menyamankan dirinya. UGD Siloam malam ini tidak terlalu ramai. Dari 5 bed, hanya 2 yang terisi oleh Gita dan seorang bule yang tertusuk bulu babi.

"Udah baikan?" Gita mengangguk lemah. Dia barusan saja sadar.

"Kita di rumah sakit?" Tebak Gita.

"Iya," jawab Kris singkat.

"Saya kenapa pak?" Tanya Gita dan memegang kepalanya yang masih sakit.

"Kamu alergi seafood?" Kris tidak menjawab pertanyaannya.

"Seafood? Nggak kayaknya Pak. Selama ini saya makan, baik-baik saja,"

"Kata dokter kamu alergi seafood. Kamu makan apa aja tadi?"

Kening Gita berkerut, mencoba mengingat apa yang di makan di OMNIA.

"Nggak tahu pak. Banyak yang saya makan,"

"Jadi orang jangan terlalu maruk," sinis Kris yang membuat Gita cemberut. Dia memilih diam saja daripada berdebat karena sedang malas meladeni Kris. Masih sempat saja pria itu melontarkan nyinyiran disaat seperti ini. Tubuhnya masih lemas, dan tanpa permisi Gita kembali memejamkan matanya karena masih mengantuk. Dia tidak ingat kejadian sebelum sampai ke sini. Jika saja dia ingat apa yang dia lakukan dan ucapkan, mungkin Gita lebih memilih menggali kuburannya sendiri daripada bertemu Kris.

Sebelum benar-benar ke alam tidak sadarnya, Gita masih mendengar samar seseorang yang mengucapkan "Ternyata kamu belum bisa melupakan saya,"

***

Tepat pukul 2 siang, Gita dan Kris telah naik ke pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Jakarta. Keadaan Gita juga sudah membaik setelah di rawat di UGD semalaman. Dia kembali pulang ke hotel jam 5 pagi setelah dinyatakan stabil oleh dokter.

"Geser," ucap Kris lebih kepada perintah kepada Gita yang duduk di kursi tengah. Disebelah kirinya ada seorang pria.

"Tapi kursi saya di sini," Gita mengecek sekali lagi boarding pass miliknya yang tertera nomor 20B. Benar, kursinya ada di tengah.

"Gita jangan buat saya mengatakan dua kali," ucap Kris sedikit melotot. Meski kesal, Gita mengikut perintahnya. Dia bergeser dan duduk di kursi milik Kris, dekat jendela.

Setelah Kris duduk di kursinya, dia segera memasang seat belt dan menatap sesaat Gita yang juga baru saja selesai memasang seat beltnya sendiri.

Wajah wanita itu masih sedikit pucat, tapi masih lebih baik dari kemarin. Kris kembali teringat kelakuan Gita tadi malam.

"Ke-kenapa Pak?" Gita yang merasa diperhatikan jadi salah tingkah. Dia memegang wajahnya, mana tahu ada yang aneh. Misal, tumbuh tanduk tiba-tiba hingga membuat Kris terus menatapnya.

Pria itu menggeleng "Kalau saja kamu tahu apa yang sudah terjadi semalam,"

Kening Gita berlabirin, mencoba mengingat apa saja yang sudah dilakukannya semalam.

"Bukannya saya tidur semalaman di UGD ya?" Tanya Gita ragu. Kris tertawa mencemooh.

"More than that,"

Apaan, sih? Sok misterius! Emangnya gue mabuk terus joget-joget di pinggir jalan dan bikin dia malu???

Gita memilih diam sekali lagi. Perjalanan masih panjang, dia tidak mau sakit hipertensi hanya gara-gara pria di sebelahnya yang menyebalkan.

Tidak lama pesawat mulai bergetar seiring kecepatan yang meningkat. Lalu saat pesawat sedikit terangkat, terdengar mesin yang membuat ban tersembunyi di dalam pesawat. Pesawat masih miring, mencoba terbang ke atas, lalu bergerak datar saat sudah di atas.

Perjalanan akan ditempuh kurang lebih dua jam. Cuaca cukup cerah. Beruntung bagi Gita yang duduk di dekat jendela dan masih saja takjub melihat pulau Bali dari atas, meski bukan yang pertama kali. Dia bertekad akan kembali ke Bali suatu saat nanti untuk berlibur.

"Pak,"

"Hm,"

"Terima kasih,"

Kris menoleh cepat pada Gita. Wanita itu tersenyum kaku, merasa lidahnya gatal karena mengucapkan kalimat tadi pada Kris.

"Maaf merepotkan Bapak. Sekali lagi terima kasih,"

Kris menoleh ke arah lain. Terlalu silau menatap Gita karena memang wanita itu membelakangi cahaya matahari.

"Kamu memang selalu merepotkan. Dari dulu,"

Kalimat Kris sukses menghilangkan senyum dari wajah Gita.

"Tahu gitu gue nggak usah bilang terima kasih," gumamnya pelan namun masih bisa dengar Kris meski samar.

"Apa kamu bilang?" Tanya Kris tajam.

"Saya bilang lagi lapar. Mana makanannya kok, lama banget keluarnya?" Gita memanjangkan lehernya, pura-pura mencari para pramugari. Kris mengalihkan fokusnya, memilih mendengarkan lagu. Layar kecil di depannya telah menampilkan sebuah film yang Gita lihat sekilas, adalah film kesukaan Kris.

Kris mendelik ke samping, pandangan mereka bertemu dan Gita memilih melihat keluar jendela.

Kris sekali lagi fokus ke filmnya. Tidak ada suara, karena Kris menggunakan headset.

"Gue juga punya tivi!" Gita mendengus bebas. Toh, Kris juga tidak mendengarnya. Dia mencoba menyalakan tivi. Entah kenapa tv itu tidak mau menyala. Gita menekan tombol bergambar orang yang berada tepat di atas kepalanya, tanda untuk memanggil salah satu pramugari.

"Ada yang bisa dibantu mbak?" Tanya pramugari ramah. Kris hanya menoleh sesaat. Dia tidak mengerti karena tidak bisa mendengar apa-apa kecuali suara film. Dia juga tidak peduli apa yang mereka lakukan.

"Mbak, kok tivi saya nggak nyala?" Gita menunjuk-nunjuk tivi kecil di depannya.

"Iya mbak maaf atas ketidak nyamanannya. Memang tivi tersebut rusak. Kami mohon maaf,"

" Ya sudah, nggak papa mbak," Gita tersenyum dan pramugari berlalu. Dia melirik sekali lagi ke arah Kris, lalu ikut larut dalam film tersebut. Untung saja ada terjemahan sehingga tidak diperlukan suara. Saking seriusnya, Gita tidak sadar jika sedang diperhatikan Kris.

Lalu, tiba-tiba terdengar suara film di telinga kanan Gita. Kris memasangkan sebelah headset ke telinganya. Wanita itu tertegun sesaat dan menatap menatap Kris yang sedang menyaksikan film dengan serius, seakan bukan dia yang memberikan headset tersebut.

Sebenarnya sikap kamu selalu berhasil membuatku bingung, Kris. Disatu sisi, kamu seakan begitu peduli, dan bersikap manis. Di sisi lain, kamu terlihat arogan, sering membuatku kesal. Jangan buat aku bingung, apalagi sampai ge-er

Gita menghela napas pelan, ikut larut menonton film tanpa mau berpikir tentang sikap Kris yang sering berubah-rubah seperti bunglon.

***

Gita POV

Baru saja memasuki kantor, aku sudah disambut riuh rendah ejekan dari para kaum Sudra yang langsung berkumpul di mejaku saat baru saja mendudukkan pantatku.

"Di Kuta Bali, kau genggam erat tanganku. Di Kuta Bali cinta kitaaaa... Bersemi dan tetap mewangi," suara sumbang Mas Yudi yang mejanya berada di sebelahku membuat telingaku bisa berdarah sebentar lagi.

"Mana oleh-oleh?" Tagih Rina sambil menengadahkan tangan ke arahku. Aku memberikan kertas bekas yang segera di lemparkan ke arahku. "Pelit!"

"Nggak ada waktu buat cari oleh-oleh," kilahku. Sebenarnya nggak ada uang lebih tepatnya. Ya kali gajian masih Minggu depan.

"Huh! Bilang aja nggak ada uang," sungut Rina.

"Eh, katanya Lo pingsan pas lagi di OMNIA? Why, Gita, why harus pingsan di sana?" Celetuk Vico dibuat-buat, hingga aku langsung mengumpat pada Madhan. Sudah pasti pria bermulut ember itu yang mengatakannya.

"What?! Kenapa mbak Lo bisa pingsan di sana? Gue jadi Lo, gue nggak akan menginjakkan kaki di sana seumur hidup," tambah si Dinosaurus mendramatisir.

"Iya ih, mungkin perutnya yang biasa nampung makan-makanan Nusantara nggak bisa menghadapi invasi makanan barat alias kaget perutnya diisi makanan mahal," Hmmm sepertinya Putra perlu diberi es kopi Vietnam ala Jesika Kumala Wongso.

Aku hanya menghela napas dan lebih memilih diam. Energiku masih belum terkumpul sebelum aku meneguk kopi hitam. Lihat saja, setelah aku mendapatkan energiku mereka semua akan ku libas.

"Jangan ganggu Gita dong. Kasian dia pasti masih capek," Aku menatap Angga dengan ekspresi pura-pura menangis haru. " Capek jadi kacungnya  bos Kris di sana," sambung Angga yang disambut tawa oleh yang lain. Aku sudah berdiri dan hendak melemparkan Staples pada Angga, sampai pintu terbuka dan muncul Kris.

"Pagi Pak," sapa kami secara serentak.  Dilihat dari wajahnya, aura Kris sungguh tidak enak. Sesuatu yang tidak baik akan terjadi menurut feeling-ku.

"Semuanya, kita meeting 10 menit lagi," ucap Kris dengan napas memburu. Kami hanya saling melihat satu sama lain, sama-sama bingung kenapa dia meminta meeting mendadak.

"I smell something bad. Really bad," bisik Dino khawatir.

Aku pun merasakan hal yang tidak jauh berbeda. Sesuatu yang buruk akan terjadi.

TBC

🌸🌸🌸

Halooo I'm bekkk.. terharu euy udah ada yg komen dan ngasih power stonenya setelah berminggu-minggu reward diri sendiri dengan power stone punya sendiri *Halah

entah perasaanku aja atau emang disini votenya lebih lambat ya dsripads aplikasi orens?

cerita ini udah aku upload pertama kali di aplikasi orens. jadi kalo sama persis bukan plagiat ya, tapi memang itu aku yang nulis di sana dengan user name sama persis.

ayo dong lebih semangat komen dan bagiin powerstoenya, jangan pelit" kali lah 🤣🤣