Chereads / Hello, Ex! / Chapter 10 - Resign

Chapter 10 - Resign

Author POV

"Udahlah, jangan nangis lagi," hardik Yuda membawa Gita dalam pelukannya. Bukannya berhenti, tangis Gita semakin keras.

"Kenapa sih, cewek-cewek ini pada nangis? Susah kalau ganteng gini, fansnya banyak," Yuda tertawa melihat maskara Rina yang luntur dan mulai merembes ke mana-mana, membuatnya menjadi wanita gotik-nggak pake Zaskia- seketika. Sementara Vico, Dino, Putra dan Angga hanya tertunduk. Sedih.

"Bisa-bisanya Lo ketawa tanpa ada beban Mas," Isak Gita dan memukul lengan Yuda yang berisi lemak. Mendorong jauh-jauh pria itu hingga pelukan mereka terlepas.

"Lho kan, cuma keluar dari perusahan aja, nggak keluar dari planet Bumi," kilah Yuda santai, minta ditabok teman-temannya.

"Tapi kan, kita nggak bisa liat Lo di kantor lagi Mas," lirih Vico. "Siapa yang bakalan jadi kapten kita sekarang? Siapa yang ngajak kita buat nakal ngelawan bos-bos? Atau yang bantu kita kalo ada laporan yang nggak kita-kita mengerti?"

"Kan, ada Puput," ucap Yuda dan menepuk pundak Putra. Pria itu yang tadinya sedih, mulai mendelik tak terima namanya di'perkosa' begitu mudahnya. "He will be your captain from now,"

"Mas, nggak akan ada yang bisa gantikan Lo sebagai kapten kita," sergah Putra.

"Lagian, Mas Yuda kenapa harus kepancing sama omongan tutupan botol saos tomat bajakan kayak dia??" Gita meradang jika mengingat meeting yang selesai lima belas menit lalu, yang mengakibatkan Yuda memilih mengundurkan diri hari ini.

"Gue nggak terima Git, dia ngomong kayak gitu sama kita, khususnya Lo. Dia bilang kita nggak ngapa-ngapain, cuma makan gaji buta. Dia nggak lihat apa, kita pontang-panting kerja selama ini, sampai anak gue masuk UGD pun, gue nggak bisa ke sana secepatnya," keluh Yuda. "Gue nggak nantang dia, gue hanya pengen dia tahu, kalau gue fine-fine aja tanpa harus kerja di sini. Lagian gue juga udah muak sebenarnya sama Kris. Delapan tahun udah cukup buat gue di sini. Capek juga kerja malam terus, sampai waktu buat anak istri aja hampir nggak ada. Gue sebenarnya udah ada niatan resign. But, thanks to Kris, he make it faster than I thought,"

Mereka semua terdiam, termasuk Gita yang memutar kembali kejadian meeting mengerikan tadi.

Saat itu, mereka semua sudah berkumpul, termasuk Ibu Sherly dan Ibu Nani. Terakhir, Kris masuk dan duduk di kursi yang berada pada ujung meja. Wajahnya terlihat kesal, dengan tangan tergenggam erat di atas meja.

"Selamat siang," sapa Kris singkat ketika itu. "Saya mengadakan meeting mendadak karena ada hal penting yang harus dibahas. Ini mengenai FPE* kalian, khusunya under Gita,"

Si empunya nama mengangkat wajahnya, menatap Kris, yang juga sedang menatapnya tajam. FPE di bawah Gita? Nilawati?

"Ada apa Pak?" Tanya Gita bingung karena Nila sudah resign 2 hari yang lalu.

"Apa kamu pernah serah terima dengan Nila saat dia resign?" Tukas Kris terdengar menuntut.

"Iya Pak. Saya serah terima faktur yang belum lunas, seragam serta barang-barang kantor yang lain," jawab Gita tenang meski sebenarnya masih menanti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Apa kamu tahu? Dia membawa kabur uang tagihan bidan sebesar dua puluh lima juta?"

Gita merasa dirinya seperti disiram air dingin. Saking kagetnya, lidahnya terasa kelu sampai tak ada kata yang bisa diucapkannya.

"Dari ekspresi kamu saya yakin, kamu pasti tidak pernah kontrol bawahan kamu sampai dia berani membawa kabur uang tagihan. Kerja kamu apa saja sampai bisa kecolongan? Kalau sudah begini siapa yang akan membayar? Sekarang bidan-bidan itu mau membuka orderan susu terkendala piutang padahal mereka merasa sudah membayar lunas,"

Vico, Putra, Yudi, Dino serta Rina hanya saling melihat, mereka juga sama terkejutnya. Yang mereka tahu Nila anak yang rajin, cekatan dan jujur selama ini, meski baru 6 bulan bekerja. Jika sampai bisa membawa kabur uang tagihan sebesar itu, entah apa motifnya. Gita menghela napas, mulutnya mendadak kering karena gugup. Kalau dia diwajibkan mengganti uang tersebut, ke mana dia harus mencari?

"Gita, siapa yang rekrut Nila dulu?" Tanya Bu Sherly sepeti ikut memojokkan Gita. Rasanya dia ingin segera menghilang.

"Saya Bu," jawab Gita lesu.

"Seharusnya kamu lebih berhati-hati dalam memilih orang. Segera kamu hubungi dia, dari sampai dapat. Minta dia ganti rugi. Kalau nggak mau, kita terpaksa melewati jalur hukum," sambung Bu Sherly.

"Kamu pasti tidak pernah join visit sama dia sampai tidak mengetahui kejadian seperti ini. Saya yakin, sudah lama dia bermain dengan uang tagihan. Kamu dibayar untuk mengawasi, mengerjakan semua yang menjadi kewajiban kamu. Jangan hanya makan gaji buta," tuduh Kris yang terdengar menyakitkan di telinga Gita. Dia sudah tidak bisa membela diri, hanya diam dan tertunduk menatap jari-jarinya yang saling terpilih karena gugup.

"Bapak maaf," Yuda yang sedari tadi diam ikut bersuara. "Memang Nila under Gita tapi dia tetap dalam pengawasan saya. Saya pernah join visit sekali bersama dia dan tidak ada masalah. Jika sekarang dia membawa lari tagihan, pasti dia punya alasan dan tidak semuanya salah Gita atau pun kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin diantara kerjaan kami yang tidak pernah ada habisnya mengontrol semua tim yang berjumlah hampir ratusan di bawah kami, meski hanya berenam. Jika kami kecolongan seperti ini, berikan kami solusi. Bukan memvonis kami bersalah, bahkan sampai mengatakan kami makan gaji buta," bahu Yuda terlihat naik-turun dengan cepat menahan emosinya.

"Kalau saja kontrol kalian lebih bagus dan tidak lemah, tentu kejadian tidak penting seperti ini tidak perlu terjadi. Kalian terlalu santai saya lihat selama ini. Apalagi kamu, Gita. Growth data kamu minus dibandingkan yang lain. Bahkan outlet medis banyak yang hilang dibandingkan tahun lalu dan tahun ini. Omset kamu juga tidak terlalu menggembirakan. Biasa saja,"

Gita merasa dirinya menciut setelah lebih dipermalukan Kris. Mungkin ini salah satu aksi balas dendam Kris. Dan Gita ingin menangis sekencang-kencangnya saat ini juga.

"Lho Pak?" Yuda kembali bersuara ketika Gita kembali dipojokkan. "Kita sedang membahas Nila, kenapa harus melebar ke data dan sales? Apa tidak bisa kita bahas satu per satu? Jika Bapak ingin membahas kinerja Gita, tolong dicouching dan counseling bersama dia. Tidak perlu diforum terbuka seperti ini,"

"Kamu siapa berani perintah saya?" Kris mulai tersulut emosinya.

Bu Nani sebagai atasan langsung Yuda mencoba menengahi "Yuda, sudah. Biarkan Bapak berbicara dulu,"

"Tidak bisa Bu. Saya rasa Bapak tidak bisa menempatkan dirinya dengan baik," sindir Yuda yang direspon Kris dengan senyuman sinis.

"Kamu berbicara sepeti sudah bekerja dengan baik saja. Kamu sudah bekerja delapan tahun tapi apa kontribusi kamu untuk cabang? Nol besar. Pantas saja kamu tidak pernah naik jabatan setelah sekian lama,"

Yuda tertawa mencemooh, tidak terima perkataan Kris tentang dirinya "Berarti peran saya sudah tidak penting disini ya, Pak, karena tidak memberikan kontribusi sama sekali? Sebaiknya saya resign saja, daripada perusahaan harus keluar uang membayar gaji karyawan tidak berguna seperti saya," celetuk Yuda, benar-benar tidak peduli lagi. Semuanya menatap kaget pada Yuda, sementara pria itu hanya menatap satu per satu peserta meeting dengan senyuman dan santai.

"Oke," jawab Kris dengan senyum sinis. "Bu Nani, tolong segera diproses surat resign Yuda. Meeting cukup sekian hari ini. Saya tidak mau tahu, dalam waktu 3 hari uang bidan tersebut sudah harus dibayarkan. Selamat siang," Kris berdiri, berjalan dengan aura arogansi, keluar dari ruangan, meninggalkan bawahannya yang masih belum percaya dengan kejadian resign Yuda yang begitu mudah terjadi.

***

Gita POV

Pukul sembilan pagi, aku, Mas Yuda, Putra dan Dino bertekad mencari Nila ke rumahnya. Berbekal data dari CV dan keterangan para SPG yang dekat dengan Nila, kami berusaha menemukan dia, apa pun yang terjadi.

"Mas, gue masih belum percaya Lo bakalan nggak akan ada lagi per bulan depan," Putra yang duduk di samping Yuda, sang driver hari ini, membuka percakapan setelah hanya suara Via Vallen yang mendominasi.

"Percaya aja, orang tadi gue udah tanda tangan surat resign pas di panggil masuk ke ruangan Kris," jawab Yuda dengan mata fokus ke jalanan.

"Terus, Lu udah lamar ke mana Mas?" Dino yang duduk di belakang Putra juga ikut penasaran. Padahal aku tadi mau bertanya itu!

"Gue udah apply ke Suka Roti,"

"Tambah bulat lo Mas makan roti tiap hari," celetuk Gita.

"Hmmm. Jabatannya lebih tinggi. HOA*,"

"Wah, orang distribusi dong," celetuk Putra.

"Yoi. Pengen coba diluar principals. Udah kenyang di dunia per-susuan," kekeh Yuda.

"Enak, cuma fokus sales aja. Gak merangkap kerja serabutan kayak kita sekarang," sambung Dino.

"Yeee, curhat!" Sindir ku. "Tapi Mas, cecunguk itu seenaknya terima resign Mas Yuda. Kenapa dia nggak pertahanin dulu. Apa dia bilang? Nggak memberi kontribusi? Dia kira sales kita bisa growth sendiri? Terus, bidan dan dokter memangnya siapa yang nge-deal? Setan?" Sabar Gita... Jangan emosi karena lemper basi seperti Kris.

"Jiahh.. bahasa lu Git. Cecunguk? Masih terlalu sopan," sambar Putra diikuti tawa kami.

"Eh, tapi sumpah sebenarnya di Kris itu kenapa ya? Bawaannya nggak enak liat mukanya yang nggak ada ekspresi. Bikin mules. Herannya bisa kerja di dunia marketing, itu kalo lagi nego sama outlet gimana ya? Apa tanpa ekspresi juga?" Seperti biasa, Dino dan pertanyaan nggak pentingnya. Tapi tetap saja Mas Yuda memberi feedback.

"Iya, biar gitu dia udah jadi bos di umur semuda ini. Berarti termasuk hebat, kan? Penasaran juga, ngapain aja dia sama ceweknya. Bisa tahan dengan cowok robot rusak kayak gitu. Jangan-jangan, mau makan aja, dianalisa dulu target sales per bulan berapa, ROFO* bahan-bahan jualan 3 bulan depan gimana, berapa BE* dia setiap bulan, average 3 bulan berapa, udah growth apa belum, tools apa aja yang digunakan untuk mengontrol promonya, akhirnya mereka mati kelaparan. Hahaha," tawa sekali lagi menggema dalam mobil. Kecuali aku yang lebih memilih diam. Tiba-tiba ingat selama kami pacaran... Ngapain aja ya? Kok, aku jadi pikun gini.

"Emang ada cewek yang mau sama dia? Kaku gitu. Terlalu banyak analisa malah ditinggalin cewek-cewek. Menang tampang doang," Sambung Putra sadis. "Git, daripada pacaran nggak jelas sama si cebong Adit, mending mau aja lah sama si Bos. Siapa tahu dia berubah karena sentuhan wanita, jadi lebih berwarna hidupnya. Nggak bakalan ngirimin email kerjaan tengah malam atau hari Minggu,"

Ini aku disuruh terperosok di got yang sama atau gimana nih?

"Enak aja! Nggak mau, lah, dapat cowok kayak si Severus Snap gitu. Amit-amit!" Seandainya saja mereka tahu aku salah satu wanita tidak beruntung itu. Bisa dibully seumur hidup. Mereka tertawa senang, sangat senang karena berhasil membuat moodku terjun bebas ke dasar.

Kami akhirnya sampai di depan sebuah gang, kalau menurut maps, kami harus berjalan kaki dari sini karena harus melalui gang sempit yang tidak mungkin dilewati mobil.

"Beneran disini?" Tanyaku memastikan Dino yang sibuk melihat maps di hapenya.

"Iya," jawabnya singkat tanpa melihatku. "Depan belok kiri,"

"Kalo udah ketemu Nila, gue pites dia kayak telor kutu! Gara-gara dia kita kena masalah, sampai Mas Yuda harus resign," ucap Putra dengan gemas.

"Hei, kita tanya dulu lah," saran Mas Yuda. "Kalau dia masih bisa diajak ngomong baik-baik dan mau ganti uangnya, udah, nggak usah diperpanjang lagi,"

"Enak banget, dong! 25 jeti men.. gue bisa beli motor baru cash," sungut Putra tak terima solusi Yuda yang seperti tidak akan membuat efek jera. "Kita sebarkan aja kejelekan dia ke semua perusahan, biar nggak bisa kerja selamanya!"

"Gue setuju sama Mas Yuda, Put," sergahku. "Kita ajak diskusi dulu. Kalau buntu, terpaksa kita harus mengancam lapor polisi,"

"Ya Mbak Wati benar. Kita cari tahu dulu mas, motif dia bawa lari uang," aku mendelik kesal saat Dino mempelesetkan namaku.

"Oke, gue ikut saran kalian. Tapi kalau motifnya jahat gue bakalan seret dia langsung ke kantor polisi,"

"Oke. Gue setuju," sahut Mas Yuda, aku juga ikut mengangguk. Bagaimana pun, Nila harus menerima konsekuensi dari perbuatannya.

Pada akhirnya kami berempat turun dari mobil dan berjalan ke lorong sempit yang hanya muat dua orang berjejer, sehingga saat motor lewat kami harus berbaris ke belakang.

"Beneran nih, lewat sini?" Tukasku lagi karena kami harus berjalan di lorong sempit yang bisa aku bilang kurang sehat karena becek, lembab, dengan bau yang berasal dari mana aku tidak tahu. Perumahan disini juga saling dempet, seperti kawasan pinggiran kota yang kumuh. Maaf, tapi kenyataannya seperti itu. Aku tiba-tiba merasa sangat bersyukur karena bisa memiliki pekerjaan yang sangat baik, gaji lebih dari cukup, dan sebuah rumah milik sendiri meski tidak terlalu besar, namun sangat nyaman untukku. Perasaanku, jadi tidak enak jika melihat keadaan lingkungan rumah Nila.

Keasyikan melamun, aku sampai tidak sadar berada di mana karena Putra, Dino dan Mas Yuda sudah tidak terlihat di depanku!

"Mas?" Panggilku dan menengok sekitar. Tidak ada orang, kecuali penghuni sekitar sini yang tengah bersantai di teras super mini mereka. Aku berbalik, mencoba mengintip ke gang sebelah. Siapa tahu mereka ada di sana.

Tidak ada juga. Ke mana sih? Cepet banget hilangnya kayak mantan. Aku segera mengambil hape dan menekan nomor Putra.

Belum sempat aku menekan tombol hijau menelpon Putra, bahuku disenggol dari belakang hingga aku hampir terjatuh. Untung saja aku masih sigap dan kembali berdiri. Aku mendelik marah, dan menatap tajam orang yang menabrakku.

"Nila?! Woi tunggu!!" Aku berteriak seperti orang gila saat mendapati si buronan yang aku cari berada tepat di mataku. Mungkin karena sudah firasatnya jika aku ke sini untuk menuntut penjelasan tentang uang yang dia bawa kabur, Nila langsung mengambil langkah seribu.

"Gue bilang tunggu!" Jeritku diantara napasku yang tersengal karena masih saja terus berlari dengan heels tujuh Senti, sementara Nila yang memakai sandal jepit merek Selow mulai melebarkan jarak yang sempat menipis. Kesal, aku membuang sepatuku dan berlari dengan kaki telanjang, mengesampingkan rasa sakit karena sempat menginjak batu. Aku tidak peduli. Yang terpenting, Nila tertangkap dan aku bisa mengorek keterangan tentang ke mana uang yang dia bawa lari.

"Berhenti Lo kutu kupret! Kembalikan uang yang Lo bawa kabur!" Teriakku lagi sambil berlari seperti kesetanan. Nila hanya sesekali berbalik ke belakang dengan takut, memastikan aku tertinggal. Namun aku masih setia mengekor di belakang meski napasku tersisa satu-satu. Tidak akan aku biarkan dia kabur! Harus bisa tertangkap!

"Kena Lo!" Seruku gemas saat berhasil meraih tudung hoodie-nya, tepat saat dia akan memasuki sebuah rumah. Aku mengambil napas cepat karena rasanya sesak setelah berlarian.

"Ampun Mbak Gita," isaknya dengan air mata buaya yang mengalir deras. Kedua tangannya terkatup memohon ampun. "Saya nggak maksud ambil uang itu Mbak. Saya terpaksa,"

"Nggak bisa! Lo harus kembalikan uang itu sekarang! Gara-gara Lo, kita semua kena masalah. Kembalikan uang itu atau Lo, gue seret ke kantor polisi!" Ancamku dengan ekspresi mengerikan tentu saja karena aku lagi marah! Beraninya dia mengkhianati kepercayaan yang aku berikan.

"Ampun Mbak, jangan bawa saya ke kantor polisi! Saya janji bakalan bayar sampai lunas. Maafin saya Mbak," tangis Nila semakin menjadi. Aku berusaha menulikan pendengaranku, meski aku mulai kasihan padanya.

"Lo nggak tahu diuntung, ya! Udah syukur gue terima Lo kerja, berani-beraninya Lo lakuin ini ke gue, Nila! Nyusahin gue dan teman-teman representatif," ucapku penuh emosiku yang semakin memuncak, namun, masih bisa ku redam. Kalau aja kotak orang nggak dosa, tentu kepalanya sudah benjol bertingkat tiga.

"Lho, ada apa ini?" Sebuah suara lembut dari pintu membuat kami berdua menoleh serentak. Seorang wanita, dengan sebagian besar rambut berwarna putih-berdiri dibantu sebuah kruk-memandang heran pada kami berdua.

TBC

💃💃💃

Hellowww.. Maaf ya ternyata kemarin aku malah upload part yang sudah pernah diupload. Wkwkwkw. Aku jg baru di web novel ini. Gimana caranya ya balas komen? Pengen balas malah gak paham. Hahaha.. Jangan lupa stone power dan komennya. Jangan pelit" lah

Oh ya, ini beberapa istilah yang mungkin kalian kurang paham:

1. FPE (Field Promotion Excecutive): semacam SPG lapangan kali ya, yang promosi langsung ke end user. Misal promosi susu ke sekolah, instansi, dll dengan tujuan creating demand

2. BE (Best Estimated): estimasi sales kita mau closing berapa persen yang didapat dari average penjualan

3. HOA (Head Of Area): suatu jabatan dibagian distribusi yang bertanggung jawab atas pendistribusian produk suatu wilayah

4. ROFO (Rolling Forecast): kalo menurut aku seperti ramalan atau estimasi barang yang akan kita jual dalam 3 bulan ke depan agar stok aman, tidak terlalu tinggi atau sampai OOS (Out Of Stock)

Sekian ~