Chereads / Hello, Ex! / Chapter 8 - Bali III

Chapter 8 - Bali III

Author POV

"Apa kabar?" Kata wanita tersebut saat pelukannya bersama Kris merenggang. Meski terlihat cuek dan sibuk dengan makanannya, tapi telinga Gita tetaplah siaga mendengar apa saja yang mereka bicarakan. Bisa buat bahan pergunjingan di grup kaum Sudra. Grup besutan Yuda.

"Baik. Apa kabar juga kamu? Ngapain di Bali?" Tanya Kris begitu ramah, bahkan tersenyum. Sesuatu yang langka menurut Gita.

"Aku juga baik. Baik banget. Lagi liburan aja. Kamu juga jalan-jalan di sini? Sama siapa?" Wanita itu melirik ke arah Gita yang terus makan tapi dag-dig-dug menunggu jawaban Kris tentang siapa Gita sebenarnya

"Aku ke sini kerja. Sama ajudan," jawab Kris diikuti tawa renyahnya. Sementara Gita mencoba menahan sabarnya.

"Cantik banget ajudan kamu," ucap si wanita juga ikut bercanda.

"Nggak, biasa aja," jawab Kris yang dihadihi tatapan tajam oleh Gita sesaat. Sayang, pria itu tidak melihatnya. "Habis ini mau ke mana?"

"Aku juga nggak tahu, aku sendirian ke Bali. Pengen keluar sebentar dari penatnya Jakarta,"

"Tunggu sebentar," Kris mengeluarkan beberapa lembar uang merah dan meletakkan di hadapan Gita yang menganga. Mengerti, ke mana arah selanjutnya. "Setelah makan, bayar dan langsung balik ke hotel. Besok pagi acara penting. Jangan terlambat," selanjutnya Kris menarik tangan wanita tersebut menjauh, meninggalkan Gita yang nelangsa tiba-tiba. Begitu mudahnya Kris meninggalkan dirinya demi wanita lain yang baru saja dijumpainya. Meski kenalan lama, paling tidak pria itu harus tahu sopan santun. Dia yang mengajak Gita keluar, seharusnya, dia mengembalikan Gita sendiri dengan tangannya kembali ke kamar wanita itu.

"Sialan, dia pikir, gue wanita panggilan? Udah ajak keluar, setelah ketemu yang lain, gue ditinggalin gitu aja!" Omel Gita pada dirinya sendiri. "Mana ditinggalin cuma dua ratus rebu! Dasar pelitttt!"

***

"Halo," suara serak khas bangun tidur keluar dari mulut Gita saat menjawab telpon tepat di jam lima subuh.

"Baru bangun? Seharian nggak ada kabar? Lupa punya pacar?" Mata Gita yang tertutup, sedikit terbuka kala mencoba mengintip siapa yang menelponnya di saat jam-jam ternyaman untuk tidur. Adit.

"Hai, sayang," gumam Gita."maaf aku sibuk banget buat persiapan hari ini,"

"Hmmm," tanda Adit sedang merajuk. Gita tahu, bagaimana meredam emosi pacarnya saat ini. Bibirnya diletakkan tepat di depan speaker hapenya. Selanjutnya, terdengar sebuah ciuman panjang yang dibuat-buat oleh Gita. Sukses membuat Adit tertawa.

"I miss you Gita Saraswati," ucap Adit begitu lembut. Moodnya sudah kembali baik, meski belum 100%.

"I miss you too Aditya Soma. Aku pulang lusa. Kamu mau oleh-oleh apa?"

"Aku mau kamu,"

Gita merasa kantuknya tiba-tiba hilang saat mendengar apa yang diinginkan Adit. Dirinya? Mungkin, Adit bercanda, tapi tetap saja Gita tidak pernah siap.

"Pai susu merek 'Kamu' ya? Oke, entar aku cariin," Gita mencoba mengalihkan pembicaraan. Terdengar kikikan geli dari Adit di ujung sana.

"Apa aja, yang penting kamu cepat pulang, aku udah pengen dusel-dusel muka kamu sampai berantakan,"

"Enak aja!" Pekik Gita diikuti tawa keduanya. "Besok jemput, ya? Aku sampai jam 3 sore,"

"Oke sayang. Kamu nggak jalan berduaan sama cowok di sana, kan?"

Mendadak Gita merasa perutnya melilit. Adit sepertinya berbakat jadi cenayang. "Ya-ya nggaklah, Dit! Aku jalan bareng-bareng sama yang lain. Itu juga pas selesai kegiatan, pas makan malam,"

"Yang benar?" Adit masih curiga.

"Beneran! Masak aku bohong?" Gita merasa menjadi pacar paling bersalah di dunia. Tapi, daripada jujur dan mereka bertengkar lagi?

"Ya udah, aku percaya. Kamu siap-siap gih, acaranya pasti mulai pagi banget,"

"Eh? I-iya aku siap-siap dulu,"

"I love you Gita," ucap Adit sebelum memutuskan telpon.

"Iya sayang,"

Gita memutuskan telpon, mendekap hape di dadanya. Sejuta rasa bersalah menderanya seketika. Pertama, karena berbohong pada Adit, karena sebenarnya dia pergi berdua dengan Kris yang pada akhirnya meninggalkannya bersama wanita lain. Ketiga, karena setelah setahun pacaran, dia juga belum mampu membalas kata cinta Adit.

"Maaf, Dit," gumam Gita dan tiba-tiba menangis.

***

Suasana NDCC pagi ini sudah ramai meski para peserta simposium belum hadir. Stand dari berbagai stand perusahaan farmasi telah terbangun rapi sejak kemarin. Dihias sedemikian rupa sehingga menarik minat para dokter untuk berkunjung, serta diberi prospek menjanjikan jika mau bekerja sama. Di salah satu stand, dengan nuansa merah kental seperti tengah berada dalam suasana Imlek, Gita berdiri seraya menghitung goodie bag yang akan dibagikan ke para dokter yang berkunjung.

"Ini jumlahnya seratus, kalau kurang tinggal kita ambil di gudang," ucap Gita ke Madhan. Mereka berdua menjadi PIC gimmick dan oleh-oleh.

"Mantap Mbak. Oleh-oleh paket A sampai C juga udah sesuai pesanan cabang lain untuk dokter mereka. List-nya juga udah aku simpan," ucap Madhan dan mengecek ponselnya.

"Sip. Daftar hadirnya di mana? Udah Lika siapin belum?" Tanya Gita dan melihat keberadaan Lika yang sedang berada di meja pendaftaran.

"Bentar Mbak, aku cek dulu," Madhan bergegas berjalan ke arah Lika.

"Hei, Gita," sebuah suara bersumber dari belakangnya membuat Gita menoleh. Bu Suci, atasan Lika dan Madhan. Di sampingnya, berdiri seseorang yang sudah meninggalkannya di warung ayam betutu semalam. Kris memakai setelan abu-abu bergaris dengan kemeja putih. Rambutnya klimis, disisir ke belakang, menampakkan wajah tampannya secara utuh. Lika saja hampir pingsan dibuatnya.

"Ibuuu," Gita segera merangkul Bu Suci dengan hangat. Dulu, Bu Suci adalah atasannya di Jakarta, sebelum pindah ke Bali dan naik jabatan seperti Kris sekarang.

"Apa kabar? Makin awet muda sejak pindah ke Bali,"

"Bisa aja kamu. Kapan sampai? Tambah cantik. Iya, kan Kris?" Bu Suci menoleh pada Kris. Meminta pendapatnya tentang pernyataan Bu Suci. Gita menatap Kris malas. Dia sudah tahu jawaban Kris apa. Jawabannya sudah pasti tidak jauh dengan yang dikatakannya semalam, saat bertemu wanita kenalannya.

"Iya," jawab Kris pendek. "Cantik," lanjutnya dan tersenyum pada Bu Suci.

Gita mematung seketika. Tidak menyangka, jika jawaban Kris kali ini tidak sesuai ekspektasinya. Kris memujinya cantik? Yang benar saja? Lalu, Gita yang sempat melayang, kembali tertampar oleh kenyataan jika Kris, menjawab cantik hanya untuk menghormati Bu Suci. Menampilkan jika dia adalah bos yang support anak buahnya. Meski begitu, selama beberapa detik, Gita bisa merasakan wajahnya tiba-tiba memanas, malu. Jika diibaratkan, Gita merasa seperti waktu SD yang suka pipis di celana. Tiba-tiba saja hangat sampai agak panas.

"Saya minta bantuannya, ya, Gita. Kita sukseskan kegiatan kita hari ini," Bu Suci menjabat tangan Gita kemudian beralih ke anak buahnya.

"Kerja yang benar, jangan buat malu. Ikuti briefing kemarin. Saya nggak mau tiket dan akomodasi membawa kamu ke sini sia-sia," sinis Kris dan berlalu menuju Bu Suci.

"Kalau aja bisa, gue juga nggak mau ikut ke sini! Nggak perlu ingatin apa yang harus gue lakukan. Tanpa diminta pun, gue bakalan lakukan yang terbaik. Dasar muka dua! Pokemon air tawar!" Umpat Gita hingga terdengar oleh Madhan yang menghampirinya.

"Siapa pokemon air tawar mbak?" Tanyanya bingung.

"Elo!" Seru Gita kesal dan berjalan ke arah lain.

"Lah? Macam mana aku mirip pokemon air tawar?"

***

Acara dimulai tepat jam 8 pagi. Para dokter anak dari seluruh Indonesia mulai berdatangan. Beberapa memilih mengunjungi stand-stand yang ada, sekedar mengumpulkan gimmick lucu dan bagus untuk dibawa pulang. Termasuk stand Gita dan teman-teman. Apalagi, sekarang ditambah kedatangan Pak Puguh selaku promotion head nasional, juga datang bersama Bu Yaya, product manager. Tidak henti-hentinya mereka menerima kedatangan dokter anak yang berkunjung ke stand mereka. Beberapa diantaranya adalah dokter senior yang di cover Gita di Jakarta. Salah satunya adalah dokter Ramli.

"Dok!" Seru Gita dan menyalami punggung tangan dokter yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri.

"Lho, lho, Gita? Kamu disini juga?" Tanya dokter heran sambil duduk di bangku yang disediakan.

"Iya dok, saya bantu-bantu disini. Besok sudah balik," jawab Gita dan ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter.

"Sama siapa kamu?" Tanya dokter lagi.

"Sama atasan saya dok,"

"Yang mana?"

"Yang saya bawa waktu itu dok. Yang baru pindah," Gita mencoba mengingatkan.

"Ooo," bibir dokter Ramli berbentuk bulan ketika mengingat bos yang dimaksud Gita. "Saya ingat. Yang kamu bilang mirip jelangkung ya?"

Gita membelalakkan matanya, mencoba menutup mulut dokter sambil melihat sekitar. Sialnya, Kris sudah berada di belakangnya. Entah sejak kapan.

"Siapa yang mirip jelangkung, dok?" Tanya Kris sambil tersenyum sementara Gita kalang kabut.

"Nggak ada pak. Maksudnya dokter Ramli lagi cerita med-rep yang kayak jelangkung. Kalo lagi butuh muncul, kalo nggak hilang terus. Iya, kan dok?" Mata Gita mengerjap cepat berharap si dokter mengerti, jika dia sedang bersandiwara.

"Iya, saya kadang kesal sama orang-orang begitu. Saya pengen dia rajin kunjungan, bisa memperpanjang silaturahmi," dokter Ramli ikut terseret dalam drama ciptaan Gita.

"Tapi Gita rajin kunjungan ya dok?" Tanya Kris basa-basi.

"Rajin banget, kadang saya sampai bosan lihat dia. Hahahaha," ucap dokter Ramli diakhiri tawa panjang. Gita ikut tertawa. Tertawa lega lebih tepatnya.

Setelah selesai bercengkrama dan berfoto, dokter Ramli berkunjung ke stand lain setelah membawa gimmick tas menarik berisi produk dari perusahaan Gita.

Tidak terasa hari semakin sore, dan acara simposium juga telah berakhir. Semuanya berjalan lancar dan Gita bersyukur akan hal tersebut. Letihnya hilang tergantikan oleh wajah-wajah binar para peserta yang satu per satu meninggalkan venue.

Sebagai ucapan terima kasih karena sudah membant mensukseskan acara, Bu Suci mentraktir makan malam di OMNIA setelah mereka selesai briefing.

Mereka memakai 3 mobil menuju ke sana. Satu mobil berisi bos-bos besar dari pusat, mobil satunya Bu Susi bersama Kris dan Bu Yaya dan mobil terakhir sudah bisa ditebak, milik para kasta rendahan.

"Gila men, nggak sia-sia Lo jauh-jauh dari Jakarta. Kita ditraktir di OMNIA!" Seru Lika dan menepuk kuat-kuat pundak Madhan yang sedang menyetir dengan semangatnya. Gita yang disebelah Madhan juga ikut menepuk pundak pria itu, iseng.

"Adow!" Pekik Madhan merasa nyeri. "Sakit lah pundak aku," sungutnya merasa nyeri di bisepnya yang loyo karena belum fitnes lagi.

"Ihhh, ke OMNIA pake baju seragam kayak gini? Nggak gaul banget, tahu gitu gue bawa baju ganti," sungut Jingga, sambil menatap tidak suka seragam lengan panjang berwarna merah putih yang tebalnya minta ampun. Bikin keringat mirip biji jagung. Dia baru saja tiba dari Banjarmasin tadi subuh, juga ikut membantu.

"Udah pake bra sama CD ada biar keliatan kayak pake bikini," saran Madhan yang tidak masuk akal tapi kocak setengah mati.

"Pas dibuka tahu-tahu robek. Hahahaha," sambung Lika diikuti gelak tawa yang lain.

"Terus bra juga busanya udah hilang karena udah lama. Diperes terus pas waktu dicuci," Madhan semakin menjadi, hingga Jingga tidak tahan untuk menjitak kepalanya.

"Sakit, Jing!" Seru Madhan sambil mengusap kepalanya yang terasa 'pedas' setelah jitakan maut dari Jingga.

***

Gita POV

Sebenarnya perjalanan dari NDCC ke OMNIA lumayan jauh sekitar sejam perjalanan kalo lancar. Tapi, semobil bersama manusia-manusia absurd ini, rasanya terasa singkat. Tahu-tahu, mobil telah berhenti di tempat parkir OMNIA. Mobil kami terparkir tepat di samping mobil yang dikendarai Kris.

Saat aku keluar, tidak sengaja bertemu tatap dengannya yang juga baru keluar dari balik kemudi. Dia mengalihkan pandangan sementara aku malah tersenyum. Mencoba menjadi karyawan yang tidak kurang ajar. Tapi dia seperti terlihat sengaja tidak membalas senyumku. Sumpah ya, Kris. Pria yang membingungkan.

Beberapa hari yang lalu, dia berani menciumiku, kemudian menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Tadi malam, begitu peduli, lalu sekarang terasa sepeti asing. Apa sebenarnya yang ingin dia tunjukkan? Balas dendam? Atau dia sekarang penuh kuasa sehingga aku terlihat kecil? Atau apa? Sungguh, ingin aku menjedukkan kepala ke batu.

"Hei!" Seru Madhan membuatku sadar dari lamunan. "Hei, Tayo... Hei Tayo, dia bis kecil-uhuk-uhuk," nyanyian Madhan terjeda oleh mulutnya yang kusumpal dengan tisu bekas. Bikin emosi aja!

"Ayo, kita langsung antri ya," terdengar Bu Yaya mengarahkan kami ke bagian antrian. Kami berdiri di jalur reservasi.

Begitu masuk, kami harus membayar dua ratus ribu per orang. Bukan kami sih, lebih tepatnya Pak Puguh selaku bos besar. Setelahnya, kami menuruni tangga menuju pemandangan utama di OMNIA. Sebuah cube, yang menjadi fokus utama orang-orang. Kami duduk di bagian pool yang memiliki gazebo, dengan pemandangan laut lepas. Tidak terlalu jauh dari cube.

Kalau diperhatikan, pengunjungnya lebih banyak bule-bule, berbikini, atau yang bercelana pendek, berseliweran seperti lalat buah. Aku jadi sungkan, karena kami tengah berada bersama bos-bos besar, dimana umur mereka lebih tua. Bu Suci juga, ngapain minta ke sini sih? Suasananya jadi awkward parah. Apalagi Madhan, kepalanya tidak pernah berhenti bergerak, mengikut para wanita berbikini. Sesekali Lika yang disampingnya mencubit keras lengan pria itu, agar tetap waras.

"Suasananya enak," kata Pak Puguh "Pemandangannya indah, iya kan Kris?" Ujar Pak Puguh meminta pendapat Kris. Entah, pemandangan yang mana yang dimaksud Pak Puguh.

"Iya Pak," jawab Kris singkat sepeti berhati-hati.

"Pemandangan yang mana nih, Pak?" Tukas Bu Yaya jenaka.

"Ya pemandangan laut," jawab Pak Puguh sambil tertawa, tapi ekor matanya mengikut seorang bule yang baru saja lewat dengan ukuran dada dan bokong yang abnormal. Hmmm, dasar. Nggak tua, nggak muda, sama saja!

Aku sengaja melirik Kris, apa dia juga jelalatan sepeti pria-pria ini. Tapi sepertinya dia lebih sibuk dengan hapenya. Bahkan, ketika pesanan kami datang, dia makan sambil mengecek hapenya. Dia baru mengangkat mukanya jika diajak mengobrol. Nggak sopan banget sama atasannya!

"Duh, enak banget sushi-nya," desah Jingga ketika menelan sushi ke sekian.

"Pizza-nya juga. Maknyus," komen Madhan dengan gaya ala-ala chef yang sering muncul di program acara makan-makan sambil jalan-jalan.

"Eh, habis ini kita foto-foto ya?" Bisik Lika kepada kami, yang berjiwa muda, haus akan pemandangan bagus yang bisa mengisi feed Instagram dengan ciamik.

"Iya, biarin aja orang-orang tua ini di sini, ngomongin kerjaan. Malas banget gue harus dengar. Nggak penat apa, orang-orang ini? Lagi senang-senang juga," bisik jingga serendah mungkin, agar tak terdengar di meja seberang.

"Iya, habis ini kita cabut foto-foto. Lo yang ngomong ya, Madhan," ucapku dan memberi kode padaku.

"Kok, aku mbak? Kamu aja-lah, Gita," elaknya. "Nggak enak aku sama Bu Suci dan Pak Puguh,"

"Kalo gue yang minta izin dan Lo foto-foto paling banyak, gue buang Lo ke laut benaran biar di makan Hiu," ancamku sambil melotot, membuatnya bergidik, pura-pura takut.

"Udah, gue yang minta izin," seru Lika. "Gitu aja takut. Cemen,"

"Sok," sengit Jingga dan mencomot sushi terakhir. Tanpa komando, kami menghabiskan makanan secepat mungkin agar bisa berfoto. Memang udah gelap sih, tapi paling nggak ada kenang-kenangan. Kapan lagi ke sini gratis? Kalo bayar sendiri mah, ogah!

Kemudian, ketika merasa lauknya kurang, Madhan mengambil piring berisi kerang, memindahkan beberapa ke piringnya sendiri. Aku yang jarang makan kerang, jadi ikut tergiur. Kelihatannya enak.

"Minta," ujarku diikut Ramadan yang mengangsur piring berisi kerang padaku. Cih, ini sih, besar di kerang, isinya sedikit sekali. Tapi, rasanya enak saat aku mencomot daging putihnya. Membuatku tak bisa berhenti, hingga tanpa sadar menghabiskan satu piring sendirian.

"Eh, udah yuk? Kita foto-foto," Lika menyeka bibirnya yang berminyak menggunakan tisu. Aku mengangguk dan mengabiskan minum ku. Madhan juga cepat-cepat menelan nasinya.

"Bapak, Ibu, kami izin sebentar mau foto-foto. Biasa, buat feed Instagram," Duh, Lika ini polosnya kebangetan.

"Iya sudah, sana. Dasar kaum milnenial ya, nggak bisa lihat tempat bagus dikit," komen Pak Mario. Ibu Suci juga mengizinkan kami, sementara Kris hanya diam sambil memandangku, sampai aku jengah sendiri dan cepat-cepat memutus kontak mata kami. Ngapain juga harus melihatku segitunya? Malu mungkin, punya anak buah norak sepertiku. Aku sih, bomat aja, kalo kata Yuda. Bodo amat!

"Hayuk, foto, yuk!" Jingga sudah berdiri, bersamaan Madhan dan Lika juga ikut bangkit dari kursinya. Giliran aku akan berdiri, entah kenapa, tiba-tiba rasanya kepalaku pusing, hingga aku sedikit oleng dan kembali terduduk.

"Kenapa Lo?" Bisik Lika yang sempat melihatku oleng. Aku tersenyum dan menggeleng, menghilangkan ke-khawatiran Lika. Aku mencoba berdiri sekali lagi. Berhasil, aku bisa berdiri, meski masih pusing. Mengesampingkan sakit kepalaku, aku berjalan mengikut yang lain mencari spot foto terbaik.

Mungkin sepuluh menit pertama, aku masih meyakini diri baik-baik saja. Mengikuti mereka bertiga ke mana saja, mengambil foto, bercerita, tertawa, menatap roti sobek beberapa pria lokal dan interlokal, hingga aku merasa baik-baik saja. Tapi, semakin lama, kepalaku semakin sakit, bahkan perutku sepeti ditikam. Apa aku salah makan?

"Lo kenapa? Kayak ayam kehujanan. Diemmm aja. Padahal tadi yang paling semangat foto," suara cempreng Jingga semakin membuat kepalaku berdenyut. Madhan dan Lika asik berfoto, saling bergantian mengambil gambar.

"Nggak tahu, tiba-tiba kepala gue sakit," keluhku sambil mengusap peluh yang membanjiri wajahku.

"Lo pucat, tahu! Lo sakit?" Suara Jingga berubah panik.

"Nggak apa-apa, gue kayaknya capek aja," kataku sepeti baik-baik saja, padahal perutku semakin menjadi sakitnya.

"Pulang aja, ya? Gue kasih tahu bos-bos," Jingga berteriak pada Madhan dan Lika diujung sana, meminta mereka untuk menjagaku sementara dia memberitahu para bos kalau aku sakit. Dia tidak mendengar lagi permintaanku agar tidak memberitahu para bos karena suaraku yang tertelan keributan disekitar. Semoga aku tidak mengacaukan acara ini.

***

Aku sedikit tersadar saat mendengar mesin meraung. Aku tertidur ya? Yang aku ingat, terakhir, aku terduduk di sofa, bersandar sepenuhnya hingga terlihat aku seperti sedang berbaring. Lalu, Kris datang, dan selanjutnya aku merasa tubuhku seperti ringan, melayang. Aku bisa melihat wajah Kris dari bawah kala itu, aku bahkan bisa menghirup aroma tubuhnya sangat tajam, saking dekatnya jarak kami. Aku juga ingat, Kris yang membantuku masuk ke mobil, meletakkanku dengan pelan ke kursi penumpang, menurunkan sandaran kursi, dan memasang seat belt. Setelah itu, semuanya gelap.

Tapi sekarang aku merasa lebih baik dari sebelumnya, meski perut dan kepalaku masih terasa sakit. Namun, badanku terasa ringan, bahkan, aku mendadak begitu bahagia luar biasa.

Aku menoleh ke samping, mendapati Kris tengah menyetir. Begitu serius, hingga mukanya berkerut. Sangat lucu. Satu tangannya berada di kemudi. Sementara tangan lainnya berada di perseneling. Begitu gagah, manly. Dia begitu tampan. Aku kaget saat pertama kali bertemu dengannya lagi. Dia sungguh berbeda, tidak sepeti dulu. Tapi, sifat dingin dan kurang ajarnya membuatku sempat kecewa.

Diluar kendali, tanganku bergerak, menangkup tangan besarnya di atas perseneling. Ini gila, dari mana datangnya keberanian ini. Tapi, aku suka menyentuh tangannya. Tangan yang sama, yang sepuluh tahun lalu selalu menggenggamku

"Kamu sudah sadar?" Dia keliatan kaget sesaat, namun ekspresinya kembali terkontrol.

"Sadar? Aku cuma tidur," jawabku pelan. Tanganku masih berada dengan aman di atas tangannya. Kris menatap tangan kami, lalu menatapku. Hanya sedetik, karena dia harus memperhatikan jalan di depan.

"Tangan kamu, masih sama seperti yang dulu. Hangat," ucapku dan tersenyum lembut.

"Kamu kenapa Gita?" Kris menggeleng. Mungkin bingung. Ya, karena beberapa jam ke belakang kami sepeti Tom dan Jerry. Sekarang, aku bersikap begitu lembut padanya. Sudah sepantasnya dia bingung. Apalagi aku. Rasanya, ini bukan diriku.

Tiba-tiba, rasa mual menderaku.

"Berhenti!" Aku memukul tangan Kris, membuat pria itu berhenti seketika. Aku hampir terantuk dashboard jika saja tidak memakai sabuk pengaman.

"Kamu hampir membuat kita celaka!" Suara Kris terdengar meninggi. Untung, kami berada di jalan yang lumayan sepi. Tidak ada kendaraan di belakang kami.

Aku tidak mengindahkan amarah Kris, memilih keluar dan memuntahkan semua isi perutku. Aku berlutut, sambil terus mengeluarkan semua yang ku makan.

Sebuah pijatan lembut di leherku, membuatku sedikit nyaman, dan muntah yang terakhir kali. Ketika Kris menyodorkan sapu tangannya, aku meraih untuk menyeka mulutku.

"Kamu nggak apa-apa? Udah enakan?" Kali ini nada Kris lebih lembut dari yang tadi saat dia marah. Aku mengangguk pelan, dan berusaha berdiri, dibantu Kris.

"Kris," gumamku. "Maaf," ucapku.

"Sudah, tidak usah minta maaf. Kamu lagi sakit, saya tidak mungkin hanya diam,"

Aku menggeleng "Bukan. Aku minta maaf untuk sepuluh tahun yang lalu. Semua salahku," Aku berjalan menjauh dari Kris, berdiri di bawah lampu jalan.

"Gita," panggil Kris yang menyusulku. "Kembali ke mobil. Kita pulang sekarang,"

Aku menggeleng sekali lagi dan memeluk tiang lampu jalan.

"Kamu kenapa? Ada apa? Kenapa bersikap aneh seperti ini? Bahkan, kamu berani memanggil nama saya tanpa embel-embel Pak. Ingat, saya atasan kamu," rahang Kris terlihat mengetat. Mungkin, dia emosi. Tapi tetap terlihat tampan.

"Kamu ingat? Waktu itu hujan, kita berteduh di bawah halte," aku kembali bernostalgia. Berterima kasih, pada rintik saat ini, yang memutar kembali kenangan itu.

"Saya tidak ingat. Gita, sudah mulai hujan sekarang, kita harus kembali ke mobil,"

"Kita baru saja keluar dari Mal, habis nonton di bioskop. Kita berteduh cukup lama, sampai aku bosan dan melakukan hal gila," ucapku dan tersenyum seperti orang bodoh. Tapi tidak lebih bodoh dari apa yang aku lakukan sekarang. Berputar-putar, menari seperti orang gila.

"Gita saya bilang kembali ke mobil sekarang," Kris terdengar marah. Tapi aku tidak peduli. Aku sangat bahagia, perasaanku ringan seperti kapas.

"Kita berdansa di bawah hujan," aku berputar di sekitar Kris. Dia hanya melihatku dengan kesal tanpa bisa berbuat banyak. "Dibawah sinar lampu jalan. Romantis. Salah satu kenangan yang nggak bisa aku lupa sampai sekarang,"

Aku terus menari, mengingat bagaimana kami berdansa saat itu. Aku rindu kami yang dulu. Sampai, sebuah sentakan membuatku sadar, lalu menabrak tubuh atletis Kris.

Aku mendongak, mencoba menatapnya. Dia memegang kedua tanganku, menggerakkan tubuh kami perlahan, ke kiri dan ke kanan dengan berirama, seolah ada musik klasik khayalan, yang tengah dimainkan seseorang dengan piano.

"Seperti ini maksudnya?" Bisik Kris di telingaku. Aku tersenyum malu, mengangguk.

"Kamu masih ingat," ucapku dan semakin merapatkan tubuhku padanya karena sebagian bajuku mulai basah oleh rintik hujan. "Untuk apa, kamu kembali muncul dalam hidupku?"

Tidak ada jawaban. Pria itu diam, masih menatapku dalam. Anehnya, aku tidak merasa risih seperti biasanya. Seolah-olah, kami sering bertatap se-intens ini.

"Kris..." Panggilku dengan suara bergetar. "Jika ini mimpi, aku tidak mau bangun," lanjutku. Dan, selanjutnya semua terasa gelap.

TBC

***

Ngoahahaha. Udah pada tidur ye?? 🤣🤣🤣

Jangan lupa bagi" power stone dan komennya uncchh ~

♥️♥️♥️