Chereads / Hello, Ex! / Chapter 7 - Bali II

Chapter 7 - Bali II

Gita POV

Kalau suasana romantis seperti ini, enaknya berdua sama pacar ya, bukan sama Hell Boy kayak dia didepanku ini! Huh! Kalau bukan bos sendiri, sudah aku tinggal waktu dia minta ditemani makan malam.

Belum lama kami duduk, waitress dengan sigap menyodorkan menu dan menunggu sambil Kris memilih apa yang ingin dia makan.

"Bapak ajak saya makan, ini bayar sendiri-sendiri atau ditraktir?" Tukas ku untuk memastikan sebelum aku memesan makanan. Aku berjaga-jaga saja, mana tahu nggak ditraktir terus pesan yang mahal kan, berabe!

"Memang kamu punya uang makan disini?"

Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan lagi. Orang ini minta ditenggelamkan, ya?

"Punya, lah! Memangnya cuma Bapak yang bisa makan di sini?" Aku jadi emosi. "Saya yang traktir!" Ucapku penuh emosi. "Bli, pesan yang paling mahal 2 porsi! Pokoknya keluarin semua menu!" Biar bangkrut sekalian yang penting harga diriku nggak jatuh.

Aku melihat Kris tersenyum sinis dan menggeleng. Dia membatalkan semua pesanan ku secara sepihak, lalu memesan sesuai keinginannya. Waitress pergi, dan aku kembali protes.

"Bapak kenapa, sih? Bapak yang ngajak makan, tapi Bapak juga yang buat saya kesal! Ini mau balas dendam atau apa?" Bahuku naik-turun menahan emosi. Entah kenapa mudah sekali terpancing amarahku jika bersama dia.

"Saya suka kalau kamu marah, saya seperti berkuasa di atas kamu. Ah, memang saya di atas kamu saat ini," Kris tersenyum. Senyum mengejek. Lebih baik aku diam saja, mengalihkan ke samping. Sialan, ada bule lagi ciuman. Aku berpaling ke arah lain. Cih. Bule lain, lagi makan dengan rakusnya, sampai bikin mual. Aku kembali menatap Kris, dia juga sedang menatapku.

"Apa lihat-lihat?" Sengitku saat dia menatapku tanpa berkedip. Aku, kan, jadi...

"Nothing. Just like you, nothing,"

Aku memejamkan mata sesaat. Sungguh, ini ujian luar biasa dari Tuhan. Mendatangkan pria super nyinyir dan menyebalkan seperti dia ke dalam hidupku.

"Saya mau pulang saja!" Ucapku dan berdiri. Lebih baik segera pergi daripada mati muda karena menahan kesal.

"Kalau kamu pulang, kamu kalah dalam perang ini. Such a loser,"

"Perang??? Perang apa? Saya tidak pernah mengibarkan bendera perang. Saya ingin damai, tapi Bapak yang selalu menyulut emosi saya,"

"Ya, ya. Terserah, kalau kamu pergi dari sini, kamu mengaku kalah, Gita Saraswati,"

Aku mematung saat mendengar Kris mengucapkan namaku dengan lengkap. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun dan kembali bertemu, dia kembali mengucapkan namaku.

"Kalah? Dari Bapak? Tentu saja tidak!" Seruku dan kembali duduk. Enak saja, aku kalah.

"Baguslah," gumamnya kemudian hening karena kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Meski begitu, kepalaku tidak berhenti berpikir maksud dan tujuan Kris memintaku untuk menemaninya makan.

Tiga puluh menit dan pesanan Kris sudah dihidangkan di atas meja. Ikan bakar, kepiting asam manis, udang goreng tepung, kerang bumbu, dan lainnya segera berdatangan ke meja kami. Tanpa menunggu izinnya, aku meraup kepala ikan dan memakannya dengan emosi. Tapi enak banget. Tidak ketinggalan kepiting yang langsung aku patahkan cangkangnya tanpa alat bantu. Pakai tangan kosong!

"Kamu nggak bisa makan lebih sopan? Seperti manusia bar-bar," komen Kris yang tentu saja aku acuhkan. Bomat, alias bodo amat! "Kamu bisa-"

Keselek! Uhuk-uhuk! Aku keselek tulang ikan. Aku menggerakkan tanganku, meminta bantuan Kris. Pria itu berdiri dari kursinya dan dengan sigap membuka tutup botol air mineral, langsung menyodorkan ke mulutku. Sambil tangannya menepuk punggungku pelan, tangan yang lain menahan botol air yang sedang ku minum.

Untunglah, tulang ikan tersebut berhasil aku telan. Aku baru akan menyeka ingus yang keluar hasil karena keselek tadi dengan lengan bajuku. Tapi, Kris menahan tanganku, menyodorkan tisu. Aku meraih tisu dengan malu dan menyeka ingus sambil tertunduk.

"Sudah baikan?" Tanyanya, diikuti aku mengangguk. Duh, maluuuu. Kris kembali duduk di kursinya dan melanjutkan makan.

"Sudah saya bilang pelan-pelan makannya," Cih, kapan dia bilang seperti itu.

"Saya cuma pengen cepat-cepat pergi dari sini," kataku dengan suara serak.

"Apa saya membuat kamu tidak nyaman?"

Ya, iyalah! Nggak usah ditanya lagi. Kalau bisa tiba-tiba ada gempa besar, terus terjadi likuifaksi dan Kris juga ikut tenggelam ke dalam bumi. Ah, tapi terlalu tragis. Jangan berpikiran seperti itu.

"Biasa aja," jawabku sekenanya dan kembali melahap lobster bakar keju.

"Kenapa kamu masih bisa sesantai ini?" Tanyanya lagi absurd.

"Maksud Bapak?" Aku mengernyit tak mengerti. Kris menggeleng, membuatku semakin bingung. Apa-apaan laki-laki ini. Tiba-tiba Kris membanting sendok dan garpunya di atas piring, membuat kegaduhan hingga aku berjengkit kaget.

"Nafsu makan saya udah hilang," ucapnya dan berdiri, lalu berjalan meninggalkan aku yang masih menikmati kaki kepiting. Suka-suka dialah, yang penting aku habiskan makanan ini. Toh, aku bisa pulang pulang sendiri. Cuma Bali ini. Mubasir juga nggak dihabisin. Mana masih banyak. Aha! Telpon Madhan dan Lika aja biar mereka makan disini. Bill juga bisa dishare.

Aku baru akan menelpon mereka ketika sebuah bentakan membuatku kembali terperangah "Kenapa masih disini?!" Kris berdiri menjulang di sampingku. Aku baru akan menjawab, tapi Kris sudah menarik tanganku, menyeretku tanpa membiarkan aku menghabiskan satu lobster yang masih tersisa.

"Pak! Makanannya nggak dibungkus? Sayanggg," aku meratap melihat makanan teronggok begitu saja di atas meja. Kris berkata tidak usah, lalu berhenti di depan wastafel, menyuruhku mencuci tangan. Dengan kesal, aku mencuci tangan dan dengan sengaja memercikkan air ke wajahnya.

"Oopss, sorry," ucapku masa bodo dan berlalu, sementara dia hanya menahan jengkel lalu membayar makanan yang dipesan tadi sembari menyeka wajahnya dengan sapu tangan. Syukurlah, dompetku aman. Tapi, nggak tahu deh, nasibku dikantor bakalan aman atau tidak.

Dalam perjalanan pulang, kami hanya diam, Kris sibuk menatap ke depan, sementara aku terus menatap keluar jendela. Sialan, mana macet parah. Jalan cuma sejengkal-sejengkal. Rasanya aneh sekali, pengen rasanya keluar dan memilih naik ojol.

"Pak, saya masih lapar," ucapku memecah keheningan, sambil memegang perut yang masih terasa perih.

"Makan sebanyak itu dan masih lapar? Lambung kamu dari karet?" Sinisnya.

"Saya masih mau makan tadi tapi Bapak udah maksa pulang. Padahal saya bisa pulang sendiri," aku melipat tangan di depan dada, mencoba mengingatkan dirinya siapa yang membuatku masih kelaparan.

"Saya nggak mungkin tinggalin kamu sendiri. Kamu, kan buta arah,"

Aku sudah membuka mulut untuk membantah, namun tidak jadi karena apa yang dia katakan... benar, hiks! Aku masih ingat saat kami memutuskan liburan ke Bandung. Aku menangis seharian karena tersesat, hapeku mati dan tidak bisa menghubungi Kris. Aku memutuskan berjalan ke kantor polisi dan menelponnya dari sana. Aku masih ingat, betapa bahagianya bertemu dengannya lagi. Seperti adegan-adegan pertemuan di sinetron, aku menangis dalam pelukannya, berpikir akan menghilang selamanya. Tapi sekarang, rasanya menyebalkan bertemu dia lagi.

"Tapi masih lapar," rengekku pelan.

***

Sepanjang perjalanan menuju hotel aku lebih banyak diam. Pertama, karena aku lapar dan sedang tidak mood. Kedua, aku lapar, dan sudah mendapatkan makanan enak tapi harus ditinggalkan begitu saja. Ketiga, aku kesal pada Kris. Ke-empat, memang tidak ada yang bisa dibicarakan dengan batu asah di sebelahku ini.

"Lapar euy," cicitku pelan diantara alunan musik yang diputar di radio. Tidak ada reaksi berarti dari Kris saat meliriknya dengan ekor mataku. Dia tetap saja terpaku dengan jalanan di depannya. Aku doakan semoga kau budeg beneran wahai Kris empu Gandring!

Sampai radio memutar lagu Sadis dari Afgan, aku sengaja merubah liriknya! Biar dia tahu seberapa greget laparku.

"Terlalu sadis caramu..." senandungku agak keras. Siapa tahu dia beneran budeg! "menjadikan diriku, kelaparan setengah mati, agar kau bahagia melihatku, tanpa peduli sakit perutku..."

Hadeh, sudah habis lagu Afgan, Kris tetap saja tidak mengindahkan aku. Ya Tuhan, terima kasih karena dulu kami putus. Ternyata dia semakin tidak peka sekarang ini. Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidur dan akan bangun begitu sampai di hotel.

Baru Lima menit rasanya aku menutup mata, tiba-tiba mobil berhenti. Deru mesin tidak terdengar lagi. Oke, kita sudah sampai hotel.

"Terima kasih Pak," seruku kesal tanpa mau menatapnya. Kalau tahu akhirnya seperti ini, aku lebih baik menolak dengan tegas saat dia mengajak makan malam. Setelah melepaskan sabuk pengaman, aku membuka pintu dan membanting dengan kasar.

Heol! Ini, bukan hotel? Aku di mana? Aku berbalik menatap Kris yang sudah berada di luar mobil. Menuntut penjelasan.

Aku menatap papan besar yang berada di atas seng yang sepertinya memberi jawaban atas tanyaku.

"Ayam betutu khas Gilimanuk?" Gumamku berusaha mengeja yang tertera di papan tersebut karena minus di mataku yang membuat semuanya kabur. Sialnya, kaca mataku ketinggalan di keranjang sepeda. Masih diantara keadaan bingung dan ling-lung, aku melihat Kris masuk ke dalam tanpa beban. Meninggalkan aku sendirian di luar

"Bapak tungguuuuu ~" tanpa sadar aku merengek, dan menjadi jijik dengan diriku sendiri. Mengeluarkan suara manja ala-ala tikus kegencet.

"Kok, kita ke sini pak? Ngapain?" Tanyaku begitu duduk di depan Kris yang sibuk mengecek ponselnya.

"Mau mandi," ucapnya datar. Aku memilih diam dan merapalkan berbagai makian yang aku kuasai kosa katanya.

"Silahkan, menunya," seorang Ibu dengan kebaya khas serta selendang yang diikat melilit disekitar pinggangnya datang membawa menu makanan. Aku menatap Kris dan buku menu dengan penuh curiga. Mau apalagi dia kali ini? Sungguh, hanya Kris dan Tuhan yang tahu apa yang dipikirkannya kali ini. Jangan-jangan, baru menghirup asap makanannya, dia sudah mengajakku pulang. Jadi, aku diam saja. Membiarkan Kris memesan sesuka hatinya.

"Kenapa diam?" Tanya Kris saat ibu itu sudah pergi sembari membawa pesanan kami-baca:Kris.

"Nggak ada. Saya bingung aja sama bapak. Diluar sana, orang bisa saling membunuh hanya untuk makanan, tapi bapak dengan mudahnya meninggalkan makanan yang banyak begitu saja, lalu memesan lagi,"

"Jangan cerewet," ucapnya dingin. Aku memilih diam, daripada menusuk wajahnya dengan tusuk gigi yang ada di atas meja. Menyebalkan sekali. Aku pura-pura sibuk dengan hapeku yang sudah tewas dari 20 menit yang lalu, kehabisan baterei.

Sekitar 15 menit pesanan kami sudah dihidangkan di atas meja. Jika diibaratkan kartun, air liurku bisa menetes tanpa terputus hingga ke atas meja.

Ayam kampung utuh 2 ekor, berenang dalam bumbu yang kaya akan rempah-rempah berwarna kuning. Harumnya membuat cacing-cacing berdisko, berteriak meminta dicicipi ayam betutu. Dengan pelengkap kacang tanah goreng, sambal matah dan pelecing. Tidak lupa, 2 piring nasi panas.

Ah, aku jadi terharu. Jadi Kris masih benar-benar menghiraukanku? Aku jadi merasa bersalah sudah menceramahi, bahkan memakinya.

Tanpa aba-aba, aku menarik paha ayam yang terlepas dengan mudah, dan mencampurnya dengan nasi, lalu memasukkan ke dalam mulut menggunakan tanganku yang bersih setelah mencuci tangan terlebih dahulu.

Ya Tuhan, nikmat mana yang aku dustakan?

Aku melirik Kris yang juga makan dengan lahap. Menggunakan sendok seperti manusia peradaban disini. Tidak heran, dia kan, suka ayam. Jenis makanan apapun, selama ada ayam di dalamnya, akan menjadi makanan favoritnya.

Begitu Kris mengangkat wajahnya dan menangkap basah aku yang sedang menatapnya, aku segera tertunduk, pura-pura tidak melihatnya. Ugh, nanti dia besar kepala lagi. Mengira jika aku masih menyukainya. Cih, sori ya, aku sudah punya pacar. Entah dengan dirinya. Mungkin masih sendirian. Siapa juga yang tahan dengan sifat keras kepala, tukang atur, menyebalkan dan sengaknya itu. Tapi anehnya, aku bisa bertahan hampir 6 bulan dengannya. Sungguh aneh. Mungkin hanya aku wanita terakhir yang bisa beradaptasi dengan makhluk di depan ini.

"Kris?" Sebuah suara cempreng berasal dari samping meja, membuat kami menoleh bersamaan ke arahnya.

"Beneran ini kamu Krisna?" Seorang wanita. Lumayan tinggi. Kakinya kurus seperti galah bambu. Wajahnya runcing, segitiga seperti Lucinta Luna. Matanya biru, wajahnya putih, lehernya coklat.

Hah, oke, aku bohong. Wanita ini sempurna. Sebelas tiga belas dengan Chelsea Olivia. Apalah dibandingkan denganku yang hanya butiran debu. But, who the hell this woman?

Kris tersenyum, berdiri dan memeluk wanita tersebut dengan erat. Lalu aku merasa tiba-tiba berkeringat.

TBC

***

Masih ada yang membaca cerita ini? Jangan lupa support aku dengan power stone dan comment yaaa