Chereads / Hello, Ex! / Chapter 4 - You & I

Chapter 4 - You & I

Rina yang baru saja tiba di kantor, begitu terkejut mendapati Gita di sebelahnya lebih mirip zombie daripada manusia. Tatapan mata kosong, muka kusut, lingkaran hitam disekitar mata yang lebih besar daripada lingkaran hitam panda, serta rambut yang lebih mirip Medusa.

"Lu Gita apa setan? Cepat jawab!" Seru Rina dan membuat tanda silang dengan jari-jarinya. Gita menoleh dalam gerakan lambat, kemudian mengacungkan jari tengahnya. Tangannya kembali mengetik sesuatu dengan cepat. 15 menit lagi rajanya iblis akan datang, laporan yang dimintanya kemarin harus selesai pas jam 8. Dan Gita bahkan belum separuh jalan. Gila aja laporan trend sales dari 2013? Kenapa nggak sekalian dari tahun berdirinya jamu Nyonya Minir?

"Kenapa Gita?" Tanya Yuda yang juga baru saja tiba. Matanya bergerak naik turun memperhatikan keadaan Gita. Cukup memperihatinkan

"Enggak tahu. Gue juga baru datang dan udah liat dia mengenaskan seperti ini,"

"Mbak Gita kenapa?" Lagi-lagi ada yang bertanya ada apa dengan Gita. Kali ini giliran Dino. Yuda yang disebelah Dino hanya menggeleng kemudian sibuk dengan ponselnya.

Kini jam dinding di atas kepala Gita sudah menunjukkan pukul tujuh kurang 5 menit. Waktunya semakin tipis, dan Gita merasa napasnya berhenti saat pintu terbuka, muncul Kris dengan aura arogan nan maskulin.

"Selamat pagi Pak," ucap semua acara bersamaan saat Kris masuk. Pria itu hanya mengangguk kecil, kemudian berhenti di depan meja Gita. Perlahan namun kurang pasti, Gita mengangkat wajahnya dari layar laptop dan menatap wajah datar Kris.

"5 menit lagi masuk ke ruangan saya," ucapnya dengan nada rendah kemudian berlalu ke ruangannya. Gita menghembuskan napas yang sedari tadi ditahan saat Kris berbicara padanya. Vico, Putra, Yuda, Rina, Dino dan Angga saling berpandangan heran, kemudian bersamaan menatap Gita yang mengacak rambutnya gusar sambil terus berkata kalo sebentar lagi dia akan mati.

"Lo kenapa, sih? Lo buat masalah apa sama Pak Kris sampai dipanggil di ruangannya?" Bisik Rina dengan suara rendah seakan Kris bisa mendengarnya. Gita hanya menggeleng lemah dan menutup laptopnya.

"Ini hari pengadilan untuk gue," gumamnya lemah. "Nanti gue cerita. Gue masuk neraka dulu," lanjutnya dan berjalan dengan gontai ke ruangan Kris. Terlihat Yuda mengangkat tangannya seakan memberi semangat, sedangkan Vico menggambar garis di lehernya dengan jari telunjuk, seperti menyatakan jika riwayat Gita akan tamat sebentar lagi. Sementara Angga mengatupkan tangan tengah berdoa agar Gita bisa keluar dengan selamat. Sungguh, teman-teman tidak berguna, pikir Gita.

Gita sudah berada di depan pintu ruangan Kris. Dia menarik napas panjang, merapikan rambut yang berantakan dan mengetuk pintu. Dengan perlahan dia memutar kenop pintu. Terlihat Kris masih asik menekuri layar laptop tidak mengindahkan Gita yang sudah berdiri di depannya. Melihat Kris yang cuek, Gita memilih duduk di kursi yang berhadapan dengan Kris.

"Memangnya saya sudah suruh kamu duduk?" Sinis Kris tanpa melihat Gita. Bibirnya komat-kamit kesal namun akhirnya kembali berdiri.

"Duduk," ucap Kris tenang dan menatap dalam Gita yang menahan kesal. Jika bukan bosnya, mungkin sekarang Kris sudah kelilipan kursi yang Gita duduki sekarang.

"Pak, say minta maaf," sesal Gita dan memasang tampang sedih, sesedih-sedihnya.

"Untuk?" Tukas Kris dan menaikkan kaca mata yang melorot dengan jari tengahnya.

"Untuk perkataan saya yang kurang ajar kemarin. Dan... untuk laporan yang belum selesai," Gita mengatupkan kedua tangannya "Mohon beri saya waktu lagi,"

Kris menghela napas panjang "Kamu ngapain aja kemarin sampai laporannya belum selesai? Jangan terlalu manja dengan meminta waktu tambahan,"

Gita mengerjapkan matanya cepat. Ngapain aja? NGAPAIN AJA?! Kris tidak tahu bagaimana perjuangan Gita menyelesaikan tepat waktu semaksimal mungkin dan Kris mengatakannya manja?

"Bapak lagi balas dendam, ya?" Celetuk Gita dengan raut wajah mengeras.

"Balas dendam? Balas dendam untuk apa?"

Gita diam, namun sorot matanya menyiratkan kebencian. Sepertinya Kris sengaja menabuh genderang peperangan.

"Ooh," Kris menyeringai, mengerti maksud Gita. "Saya adalah orang yang profesional, tidak pernah mencampur-aduk personal dan pekerjaan. Jangan besar kepala. Lagi pula, saya menganggap tidak ada yang terjadi antara kita dulu. Saya harap kamu juga berpikiran seperti itu,"

Skakmat. Sekali lagi, Gita hanya diam. Percuma juga membantah, berargumen dengan orang seperti Kris hanya membuat asam uratnya naik.

"Saya kasih waktu 8 jam dari sekarang. Segera email begitu sudah selesai. Bukan berarti kamu bebas untuk tidak detailing hanya karena laporan ini. Mengerti? Sana, kamu harus segera keluar dari kantor dan pergi kunjungan," Kris menggerakkan tangannya mengusir Gita yang hanya bisa mengangguk kemudian keluar tanpa bersuara.

Sementara, diluar teman-temannya sudah menunggu dengan was-was. Melihat muka Gita yang semakin kusut, mereka seakan sudah mengerti apa yang terjadi.

***

"Gilaaaa!" Seru Vico nggak percaya. "Lo disuruh ngerjain trend sales dari 2013??? Kenapa nggak sekalian dari pertama kali perusahaan jualan?"

Mereka semua memutuskan keluar dari kantor bersamaan, dan memilih sarapan yang kesiangan di warung pecel langganan mereka berenam.

"Memangnya join visit sama Pak Kris ngapain aja sampai dia marah gitu?" Tanya Rina penasaran.

"Nggak tahuuu," kilah Gita berbohong. Tidak mungkin dia mengatakan kejadian yang sebenarnya. Tidak.boleh.ada.yang.tahu.kalo.mereka.adalah.mantan.kekasih.

"Masak, nggak ada angin, nggak ada petir dia suruh buat laporan gitu? Pasti ada sesuatu, karena yang dikasih tugas kayak gitu hanya Lo, dan kita-kita enggak," tambah Vico sambil mencomot tempe bacem Dino yang berhasil membuatnya mendelik marah.

"Betul," Angga membenarkan. "Pasti ada sesuatu mbak, antara kalian berdua. Setiap kali briefing pagi, pasti dia selalu menatap Mbak Gita lama-lama. Kalian perhatikan nggak, sih?" Angga memanaskan suasana.

"What? Beneran kayak gitu? Kok, gue nggak nyadar?" Putra menggosok dagunya heran.

"Makanya jangan terlambat!" Celetuk Rina. Putra memonyongkan bibir kesal.

"Jangan ngaco!" Gita berusaha menyangkal. Jangan sampai mereka semua curiga.

"Mungkin aja kalian pacaran di masa lalu?" Tebakan Yuda berhasil membuat Gita tersedak kemudian terbatuk hingga matanya berair. Rina segera memberinya minum.

"Gue baru pertama kali liat dia disini!" Bentak Gita emosi, salah tingkah.

"Bercanda kaleee! Kenapa juga harus emosi? Jangan-jangan beneran kalian punya masa lalu?" Yuda terus memojokkan Gita yang sekarang benar-benar tidak tahu harus mengeluarkan pembelaan apa lagi, sampai ponsel mereka semua bunyi pada saat hampir bersamaan. Sebuah pesan horor Kris di grup WhatsApp kantor berhasil membuat mereka kocar-kacir.

Krisna: Sudah siang tapi belum ada foto activity yang diupload di grup? Kalian kerja atau lagi nongkrong?

***

"Kamu kenapa lesu banget?" Tanya Adit sembari memotong steak dihadapannya. Dia sedang mengajak Gita makan malam. Lebih tepatnya, memaksa Gita untuk makan malam bersama karena wanita itu sebenarnya sudah sangat lelah akibat perbuatan Kris yang menyuruhnya kembali merevisi. Merevisi hampir seluruh laporan. Sama saja dengan membuat yang baru.

"Nggak ada. Lagi banyak kerjaan aja," jawab Gita dan mengaduk makanannya tanpa minat.

"Udah dari dulu aku bilang resign aja. Kerjaan kamu itu udah keterlaluan. Bahkan disaat semua orang tidur, kamu harus tetap kerja. Berapa sih, gaji kamu? Biar aku yang bayar," ucap Adit angkuh. Lagi-lagi ini yang dibahas Adit.

"Dit, kita udah sering bahas ini. Aku masih bisa bertahan. Ini kerjaan impian aku dari dulu. Aku suka promosi. Aku enjoy melakukan semuanya. Hanya memang kadang tuntutan kerjaan membuat aku kewalahan, tapi, aku bisa menyelesaikan dengan baik. Harusnya kamu kasih aku semangat, bukannya menyarankan aku resign dan menjadi pengecut karena melarikan diri,"

"Aku cuma nggak mau kamu menderita," kilah Adit.

"Dari perspektif mana kamu berpikir aku menderita? I'm still alright til this minute,"

Adit diam dan menatap tajam Gita. "Pokoknya, setelah kita menikah kamu nggak boleh kerja lagi," Adit memasukkan potongan steak yang terakhir dan meneguk red wine hingga habis.

"Kamu nggak bisa memutuskan sendirian seperti itu tanpa bertanya sama aku! Itu egois namanya!" Nada suara Gita ikut meninggi.

"Aku memberikan opsi terbaik untuk kamu. Toh, setelah menikah, uang aku akan menjadi uang kamu,"

"Dan ditindas kamu seenaknya karena terlalu bergantung sama kamu? Sorry to say," sinis Gita.

"Kodrat wanita itu ada di rumah! Ngurus suami dan anak. Yang mencari uang adalah pria," Adit semakin tak mau kalah.

"Kamu itu lahir dan besar di tahun perang dunia kedua ya? Masih aja berpikir kolot. Kalo kayak gini nggak usah nikah sekalian!"

Adit tertawa sumbang dan membanting serbet kasar ke atas piringnya. Adit mendorong kursi ke belakang dengan kasar agar bisa berdiri dan segera pergi sebelum meja dihadapannya terbalik karena emosi. Gita hanya tersenyum miris dan menghabiskan minumannya dalam beberapa kali teguk.

"Terus aja kabur. Dasar pengecut," umpat Gita dan juga memilih keluar setelah membayar makanan mereka berdua. Diluar, mobil Adit juga sudah tidak ada. Pria itu meninggalkannya begitu saja. Gita sudah biasa seperti ini. Ditinggalkan Adit jika sedang bertengkar. Mereka pernah bertengkar, dan Adit memaksa Gita untuk turun di tengah jalan tol. Dan Dino-lah yang menyelamatkannya setelah wanita itu menelponnya minta dijemput. Gita mengeluarkan ponselnya dan memesan taksi online dari aplikasi. Tadi Adit yang menjemputnya di kantor sehingga Gita tidak membawa motor kesayangannya.

Hampir sepuluh menit Gita menunggu, namun belum juga ada menerima orderannya. Memang dikawasan ini agak susah mendapatkan taksi, terutama malam hari. Gita tidak punya pilihan selain meminta bantuan teman-teman kaum sudra-nya. Tepat saat Gita akan menelpon Putra, sebuah Mercedez Benz C-Class hitam berhenti tepat di depannya. Gita hanya diam dan mundur selangkah karena mobil tersebut. Kemudian terdengar kaca mobil yang diturunkan.

"Naik," ucap si pengemudi mobil tersebut cukup singkat. Gita masih tertunduk sibuk dengan ponselnya tidak sadar jika perintah itu untuk dirinya. "Gita," panggil pria itu dan membuat Gita otomatis mengangkat wajahnya.

"K-Kris?" Ucapnya setengah kaget setengah tidak percaya ketika melihat siapa yang didepannya sampai lupa dengan embel-embel bapak.

"Saya bilang naik," ulang Kris lagi, namun Gita masih bergeming.

"Eh?" Seru Gita dan akhirnya mengerti maksud Kris. "Ng-nggak apa-apa Pak, saya lagi nunggu taksi,"

"Sampai lumutan kamu nggak akan dapat taksi disini. Naik atau kamu pulang jalan kaki," Kris tidak memberikannya pilihan sama sekali. Gita hanya menunduk dan mengalah, menekan jauh gengsinya. Hal pertama yang tercium saat berada di dalam mobil adalah aroma pengharum mobil, serta parfum Kris yang mendominasi aroma dalam mobil. Aroma parfum yang sudah tak asing.

Setelah memasang sabuk pengamannya, mobil melaju dengan kecepatan sedang ke jalanan.

Suasana begitu hening, tidak ada yang membuka percakapan. Hanya terdengar suara radio dari saluran favorit Kris. Gita tahu, karena dulu, saat pacaran, Kris sering mendengarkan radio di saluran ini di mobilnya.

"Bapak tadi makan di restoran juga ya?" Gita mencoba mencarikan gunung es diantara mereka.

"Iya," jawab Kris singkat dengan pandangan tetap pada jalanan. Gita memutar otak untuk pertanyaan selanjutnya.

"Sama siapa Pak?"

"Teman," lagi-lagi Kris menjawab singkat. Gita meremas seat belt, gemas dengan kelakuan Kris.

"Gimana Pak, seminggu di cabang udah betah?"

"Sudah," Gita rasanya ingin mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Dia akan diam sepanjang sisa perjalanan ini daripada makan hati dengan jawaban Kris.

Tak lama siaran radio memutar sebuah lagu. Lagu kesukaan Kris. Gita tentu tahu, karena ringtone ponsel Kris selalu lagu ini. Bahkan, Kris pernah menyanyikan lagu ini untuk Gita saat acara pentas seni.

Lagu Shania Twain berjudul You're Still The One mengalun indah dan memasuki intro setelah puisi singkat yang dibawakan Shania sendiri.

Meski menahan diri, Kris akhirnya kalah dan bersenandung sepelan mungkin agar Gita yang disampingnya tidak mendengar. Bahkan jarinya sesekali mengetuk kemudi dengan tempo mengikuti alunan musik. Gita memalingkan wajahnya, menyembunyikan senyumannya. Ternyata lagu ini masih menjadi favorit Kris setelah sekian lama.

Ketika lagu memasuki reff, Gita merasa seperti sedang bernostalgia. Dia masih ingat betul, sosok Kris yang begitu mempesona saat membawakan lagu ini diiring sebuah gitar yang dia mainkan sendiri. Gita bahkan masih ingat kata per kata yang Kris ucapkan sebelum mulai bernyanyi, yang berhasil memberikan sensasi aneh di perutnya, meski belum ada rasa pada Kris saat itu.

Setelah menit-menit mencekam, Gita bisa menghaturkan puja-puji syukur kepada Yang Maha Esa karena telah memasuki kompleks perumahannya, artinya dia bisa segera keluar dari situasi tidak mengenakkan.

Gita memberi arahan pada Kris untuk berbelok, dan kurang dari 2 menit dia telah sampai di depan rumah mungilnya yang masih 10 tahun lagi cicilannya akan lunas.

Gita melepaskan seat belt perlahan dan berbalik memandang Kris yang juga sedang menatapnya.

"Terima kasih Pak untuk tumpangannya," ucap Gita dan tersenyum. Bagaimanapun, pria ini telah menolongnya.

"Sama-sama. Jangan lupa revisi kamu besok pagi,"

Senyum Gita menghilang dan wajahnya menekuk kesal, namun tetap menjawab.

"Baik Pak. Mau mampir dulu?" Tawar Gita basa-basi karena dia yakin Kris pasti akan menjawab...

"Oke," tebakan Gita salah besar. Wajahnya kelihatan jelas sangat kaget. Gita mencoba menyembunyikan kagetnya dengan tertawa yang dibuat-buat.

"Hahaha, Bapak bercandanya lucu," Gita menyengir kuda, namun Kris tetap memasang wajah datarnya sampai Gita berhenti tertawa secara bertahap, hingga terdiam sama sekali.

"Saya tidak sedang bercanda," ucap Kris dan melepaskan seat beltnya, kemudian membuka pintu. Gita memejamkan mata, merutuk dirinya sendiri, namun akhirnya ikut keluar. Kris sudah berdiri di depan pagar sambil mengecek ponselnya, menunggu dibukakan. Gita mengacak rambutnya sendiri dengan gusar, namun cepat-cepat membuka pintu pagar.

"Bapak nggak sibuk? Mungkin masih ada kerjaan yang harus diselesaikan?" Gita mencoba mengurungkan niat Kris yang ingin ke rumahnya.

"Sudah selesai semua," jawab Kris tanpa mengangkat wajah dari ponselnya.

"Tapi Pak, ini sudah jam 9 malam. Ibu-ibu disini mulutnya tukang nyinyir. Pasti nanti saya digosipin yang tidak-tidak kalo mereka lihat Bapak masuk ke rumah saya. Soalnya saya single dan tinggal sendirian. Ini akan menimbulkan fitnah. Kalo saya sih, nggak masalah. Tapi nama Bapak bisa tercemar," Gita masih terus berusaha.

"It's okay," jawab Kris dan langsung masuk ke pekarangan ketika gembok pagar terbuka. Dia melihat sekeliling, pekarangan Gita dipenuhi dengan bunga-bunga serta rumput yang hijau. Ada jalan setapak yang terbuat dari bebatuan yang disusun rapi menuju terasnya dan membelah pekarangannya menjadi 2 bagian.

It's okay pala lu pe'a, batin Gita jengkel dan mengekor Kris. Mereka sampai di depan pintu, dan Gita belum membuka pintunya.

"Hmmm, Pak rumah saya agak berantakan," entahlah, Gita sudah kehabisan akal.

"Nggak papa. Sudah saya duga," Gita memandang Kris sebal dan membuka kunci pintunya dengan kasar. Setelah sampai di dalam, Gita menyalakan seluruh lampunya hingga terang karena dia memang belum pulang seharian ini. Gita masuk terlebih dahulu dan langsung menuju dapur, sementara Kris masih tertahan di ruang tamu minimalis milik Gita.

Dia memperhatikan banyak foto terpasang ditembok, atau di lemari sudut. Foto-foto Gita dari dia kecil, wisuda, sampai foto-foto bersama orang tua dan teman-temannya. Kemudian dia masuk lebih dalam, yang juga bercat biru seperti di ruang tamu. Ada ruang TV yang langsung menyambung dengan dapur dan ruang makan.

"Bapak mau minum apa?" Gita berharap dengan memberi minum Kris cepat angkat kaki dari sini. Dia sempat berpikir untuk mencampur sianida atau potas bahkan racun tikus. Tapi itu sangat tidak manusiawi.

"Kopi hitam," jawabnya dan tanpa permisi duduk di meja makan Gita, menyamankan dirinya seperti sudah sering berada di sini. Gita hanya menggeleng, masih tidak percaya dengan kelakuan Kris. Rasanya baru tadi pagi Kris sepeti akan menelannya bulat-bulat, namun sekarang pria ini sudah ada di rumahnya. Dan sedang duduk manis menunggu kopinya dibuatkan, seakan Gita adalah Inem si pemilik warkop. Sementara Gita sibuk membuat minum, mata Kris masih sibuk menjelajahi seluruh ruangan dan berhenti pada sosok Gita. Menatap punggung Gita dan segera memalingkan wajah tepat saat Gita bergerak menghadap padanya.

Kris juga masih tidak percaya jika dia sedang berduaan di rumah Gita. Ketika Gita menawarkan untuk mampir, Kris sudah berpikir untuk menolak, namun mulutnya berkhianat dengan mengatakan oke. Kris sebenarnya malu, namun kepalang tanggung, sekalian saja dia memainkan perannya dengan totalitas tinggi.

Gita meletakkan cangkir kopi dengan hati-hati di depan Kris, dan memilih kursi yang bersebrangan dengan Kris dan mulai menikmati coklat panasnya dengan hati-hati.

Mereka minum dalam diam. Gita terus saja berdoa agar Kris menghabiskan kopinya dan segera pulang karena Gita sudah tak tahan terperangkap dalam situasi super awkward ini.

"Diminum kopinya, Pak," ucap Gita bukan mempersilahkan, tapi ingin mempercepat kepergian Kris. Karena pria itu masih sibuk dengan ponselnya dan belum menyentuh kopinya sama sekali.

"Ini bukan air yang bisa langsung diminum. Saya harus menunggu agak dingin,"

Gita mencibir pelan dan juga ikut mengecek ponselnya. Banyak pesan dari grup kantor, dan juga grup kaum Sudra. Gita bisa membayangkan betapa hebohnya teman-teman kupretnya ketika tahu bahwa Kris ada di rumahnya saat ini, di malam hari. Tapi tentu saja Gita takkan memberitahukannya. Diantara pesan itu juga, ada pesan Adit yang berisi permintaan maaf. Basi, pikir Gita. Adit sudah sering begini. Gita juga tidak ambil pusing. Rasanya hubungan mereka semakin hari, makin hambar, namun belum ada niatan Gita untuk mengakhiri. Entah karena apa.

"Kamu tinggal sendirian?" Suara Kris mengangetkan Gita hingga cangkir ditangannya hampir lepas.

"I-iya Pak. Saya tinggal sendirian," jawab Gita sedikit gugup karena pertama kalinya Kris membuka percakapan.

"Kopi kamu nggak enak. Terlalu manis," komentar Kris namun tetap meminumnya. Gita hanya menipiskan bibirnya kesal. Tahu begitu dia masukkan saja sianida di kopi Kris tadi. Memang pria ini tidak bisa mengerem mulutnya.

"Maaf Pak. Saya buatkan yang baru," Gita yang sudah berdiri kembali duduk saat Kris melarangnya.

"Nggak usah," ucapnya dan kembali menyeruput kopinya. Suasana kembali hening. Gita terus mendesah serta gelisah, menebak kapan Kris akan pergi dari sini.

"Lucu ya?" Celetuk Kris yang membuat kening Gita berlabirin.

"Lucu apanya Pak?"

"Lucu saja. Kita kembali bertemu setelah 10 tahun berpisah. Saat kembali bertemu, kamu jadi anak buah saya," Gita memutar bola mata jengah mendengar Kris yang merasa di atas angin.

"Takdir kali Pak," jawab Gita sekenanya.

"Takdir? Memang sudah jalannya seperti ini. Kamu berada di bawah saya,"

"Lalu, apa yang ingin Bapak tunjukkan pada saya? Bapak ingin membuat saya merasa menyesal karena memutuskan Bapak dulu setelah melihat Bapak sukses seperti ini? Asal Bapak tahu, ya, saya tidak merasa menyesal sekalipun Bapak muncul sebagai Presiden di hadapan saya. Jadi tolong jangan terlalu narsis," bahu Gita naik turun menahan emosi, sekaligus ketakutannya karena melawan bosnya sendiri. Mungkin Kris akan menyiksanya besok tapi Gita sudah tidak peduli karena pria ini semakin menjadi dan sulit ditebak. Kris hanya tersenyum dan berdiri dari kursinya setelah merasa menang.

"Saya suka melihat kamu marah seperti ini. Artinya, apa yang saya katakan semuanya benar," dia melirik Rolex yang melingkar di tangan kanannya. "Sudah malam, saya pulang," Kris keluar tanpa menunggu Gita. Meski marah dan kesal, Gita tetap mengantar Kris hingga ke depan gerbang. Tak repot harus menunggu mobil Kris menghilang, Gita segera berbalik masuk ke rumahnya saat pria itu menutup pintu mobilnya.

Baru saja tangannya memegang kenop pintu, gerakannya terhenti saat mendengar pintu mobil yang terbanting. Saat Gita menoleh ke belakang, Kris sudah berada di luar mobilnya, menatap lurus ke arahnya. Perlahan, Kris berjalan ke arahnya, melewati pagar dan jalan setapak, kini dia sudah kembali berada di hadapan Gita.

"A-ada yang ketinggalan?" Tanya Gita gugup tanpa memutus kontak mata mereka. Pikirannya bertanya-tanya apa yang menyebabkan Kris belum juga pergi.

"Iya, ada yang ketinggalan,"

"Apa?"

Selanjutnya, Kris menangkup kedua pipi Gita, menempelkan bibirnya yang berasa kopi ke bibir Gita yang lembut. Di bibir Gita, Kris merasakan manisnya coklat yang masih bersisa. Sementara, Gita merasa waktu seperti berhenti sesaat. Kris menciumnya, tapi matanya terbuka dengan lebar, hingga dia bisa melihat Kris yang masih memejamkan matanya.

Lima detik mereka berciuman, hingga saat Kris menjauhkan wajahnya dan memutus ciuman mereka, Gita masih mengerjap tak percaya. Jantungnya berdetak sangat cepat diluar normal, hingga rasanya seperti gemuruh.

"Ini yang ketinggalan," jawab Kris pelan dan langsung meninggalkan Gita yang masih mematung di tempatnya, masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Demi Dewa, Kris menciumnya! Dengan jari gemetar, Gita menyentuh bibirnya yang dicium Kris masih bersisa rasa hangat dari bibir pria itu. Matanya terus mengikuti gerakan Kris yang kini sudah melewati pagarnya sekali lagi. Samar-samar, Gita mendengar ringtone dari ponsel Kris. Ternyata, pria itu masih menggunakan lagu Shania Twain.

You're still the one I run to

The one that I belong to

You're still the one I want for life

You're still the one that I love

The only one I dream of

You're still the one I kiss good night

TBC

***

Hellaauuu ~

Masih adakah yang mengikuti cerita ini?? Wkwkwk

Apakah part ini berhasil buat kamu baper dan tanpa sadar ngevote? Aku harap sepeti itu.. hhaahhaha

But, menurut kamu, Kris masih cinta nggak sama Gita?