Chereads / Hello, Ex! / Chapter 2 - After Long Time

Chapter 2 - After Long Time

Author POV

"Lo di mana?" Telpon Yuda saat jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, namun jidat Gita yang jenong belum muncul juga di kantor.

"Gue langsung kunjungan ke RS C bang!" Seru Gita sambil menyesap coklat panas di cafe berlogo putri duyung dekat rumahnya.

"Gue baru tahu RS C muter musik Ed Sheeran pagi-pagi," celetuk Yuda yang tahu jika sohib kentalnya ini sedang berbohong.

"Hei, mas Yuda ketahuan jarang kunjungan ke sini ya? Ini program terapi baru agar image rumah sakit tidak semenakutkan yang orang-orang pikirkan," Gita masih aja berusaha ngeles.

"Pokoknya cepat ke sini! Bos baru jam 10 udah sampai kantor. Sebelum jam tersebut lu udah harus disini titik!"

Klik!

Sambungan telpon terputus dan Gita hanya bisa mengurut dada yang nggak besar-besar amat. Usahanya untuk menghindari si mantan yang akan menjadi bosnya gagal. Gita memutar otak dan menemukan sebuah solusi. Gita cepat-cepat mengirimi Yuda pesan WhatsApp.

To: Mas Yudada

Mas, I'm feeling unwell. Kayaknya harus infus dulu di UGD

Tak lama balasan dari Yuda langsung diterima.

From: Mas Yudada

Sini gue infus, Lo langsung isi 😈

Jangan banyak cencong cepat datang

"Sepertinya nggak bisa dihindari lagi. Apapun yang terjadi gue harus tetap maju. Semoga dia pernah kecelakaan atau jatuh dari pohon dan lupa ingatan," Gita mengamini doanya dan bergegas menuju parkiran.

***

Gita POV

"Bos baru udah di parkiran!" Seru Angga heboh ketika masuk ke dalam kantor. Seharian kerjanya nongkrong di pos satpam agar menjadi orang pertama yang melihat wajah si bos baru secara live. Enggak ada kerjaan apa dia? Kalo kurang kerjaan mending dia kerjakan semua pekerjaanku yang nggak akan pernah habis kecuali, aku, tiba-tiba koma, tergeletak tak berdaya di rumah sakit.

"Mana? Mana?" Rina tak kalah penasaran dan berjalan ke jendela, mencoba melirik si bos baru di bawah sana. Aku sudah tidak berminat, pasrah, berdoa semoga wajahku yang mirip Kendall Jenner ini tidak dikenali oleh si blekok sialan itu. Tak lama, Mas Yuda, Dino, dan Putra ikut bergabung, berdempet-dempetan di jendela dan mulai ribut-ribut tak jelas.

"Nggak ikut liat bos baru kamu?" Tanya Angga sambil memperbaiki dasi noraknya. Necis banget dia hari ini.

"Enggak! Udah liat di foto kemarin," jawabku malas.

"Awas jatuh cinta lho! Ganteng banget. Coba aja aku cewek, udah aku sambar dia," Angga mengerjap-ngerjap mupeng. Aku bergidik ngeri dan segera menyingkir dari depannya menuju ke toilet. Aku kembali memperbaiki dandananku yang sudah perfecto. Tapi ngomong-ngomong, kenapa aku harus capek-capek dandan ya? Aku juga bingung. Aku segera mencuci tangan dan keluar dari toilet setelah mengeringkan tangan.

Saat aku membuka pintu, Bu Nani dan Bu Sherly-selaku wakil manager regional- tengah berdiri membelakangi ku sementara para kaum Sudra berdiri rapi di depan mereka bertiga. Ya, bertiga. Karena aku yakin itu si bos baru, yang berdiri di antara para wakil manager regional. Dia memakai celana panjang hitam, dengan kemeja putih slimfit, dengan rambut berkilau karena minyak rambut.

"Ah, ini dia pak. Gita Saraswati, Bussines Representative khusus produk bayi dan balita," ujar Bu Nani dan berbalik padaku diikuti si mantan yang tidak boleh disebut namanya.

Si mantan menatapku tajam, seakan penuh dendam dan kilatan amarah di matanya yang kurang tidur itu. Nggak mungkin dia mengenaliku. Iya, kan?

Kaki bergerak sendiri mendekati si bos baru dan mengulurkan tangan hendak berjabat, membuat situasi seperti baru bertemu untuk pertama kalinya.

"Gita Pak," sialan, suaraku bergetar karena nervous. Si bos baru menatapku dari ujung kepala, hingga ujung jempol, dan kembali menatapku tanpa menyambut uluran tanganku yang sudah pegal. Si bos baru ini, akhirnya menyalamiku dengan setengah hati, hanya meremas pelan ujung-ujung jariku, seakan banyak kuman di sana.

"Selamat datang di cabang Jakarta Pak. Semoga betah dan memberikan kontribusi yang baik bagi cabang kami," ujar Bu Sherly, si penjilat kelas kakap.

"Oke, terima kasih. Perkenalkan nama saya Krisna Mahesa Wijaya. Panggil saja Kris. Salam kenal semua," ucapnya dengan arogan. "Mohon bantuan dari teman-teman semua. Semoga teman-teman semakin betah setelah saya memimpin di sini," sambungnya dengan songong. Para kaum Sudra riuh rendah menjawab si mantan. Betah? Yang ada pengen cepat-cepat keluar kunjungan setiap hari!

"Ayo Pak, saya kenalkan ke bagian distribusi di bawah," ajak Bu Nani diikuti Bu Sherly dan si bos baru. Duh, kenapa susah sekali mau menyebut namanya? Rasanya seperti najis jika menyebut namanya, harus dicuci pake tanah sampai tujuh kali.

Setelah mereka keluar entah kenapa atmosfir mencengangkan tadi kembali normal.

"Gilaaaa... Muka tuh bos belum pake pelembab? Kaku kayak kanebo kering. Kagak ada senyumnya!" Celetuk mas Yuda dengan ekspresi frustasi.

Semua ikut menimpali kecuali aku dan Vico yang sibuk bermain dengan ponselnya. Tuhan, bagaimana kehidupanku nanti ke depannya? Dia akan profesional, kan? Tidak akan membalas dendam lewat pekerjaan, kan? Kalo tahu dia bakalan jadi bos ku, aku nggak bakal mutusin dia sekejam dulu. Huh, jadi ingat masa lalu!

"Ckckck," decak Vico yang sedang duduk di sampingku. Aku mengintip ponselnya yang suka membuatnya menjadi autis. Tangannya bergerak men-scroll lowongan pekerjaan di sebuah situs pencarian kerja.

"Ngapain nyari lowongan kerja?" Tanyaku kemal alias kepo maksimal. "Mau resign?"

"Jaga-jaga. Feeling gue nggak enak soal bos baru ini," jawab Vico santai tanpa mengalihkan pandangan dari layar hape.

"Wah, wah... Warbiyasahh inisiatif anda. Cariin gue juga dong Piko," dia aja yang nggak ada hubungan masa lalu merasa ada yang nggak beres dengan si bos baru. Apalagi aku yang jelas-jelas sudah membuatnya dendam?

***

Ini sudah jam 4 sore dan kami semua-aku, Putra, Dino dan Bu Nani-baru makan siang! Siapa lagi kalo bukan karena kerjaan si Bos baru yang kerja keras bagai kuda. Bisa gue laporin dia ke Nakertrans, karena udah memaksa karyawan bekerja tanpa istirahat makan siang. Dia pikir kita-kita ini zombie yang nggak butuh makan siang? Kalo mau sakit, ya, sakit sendirian jangan ajak-ajak!

Kami bisa makan siang juga berkat jasa besar Bu Nani yang bercanda "Pak, Dino kayaknya kurusan karena belum makan siang," dan jadilah kami berakhir di sini.

Karena asik dengan pikiranku sendiri aku baru sadar jika, aku hanya berdua dengan si Bos? Yang lain ke mana? Kepanikan segera melanda. Aku bahkan hampir menjatuhkan air kobokan yang berisi irisan tipis jeruk nipis. Tenang Gita, rileks... Dia pasti tidak mengenailku. Ya, pasti. Karena aku sudah banyak-

"Long time no see ya?" Deg! Rasanya jantungku seperti di pukul. Aku yang sedari tadi pura-pura tertunduk perlahan mengangkat kepala dan mendapati dia telah tersenyum remeh, seperti tahu aku terintimidasi.

"Eh?" Aku pura-pura bego.

"Jangan pura-pura nggak kenal saya, Gita," sialan, ketahuan.

"Ya-ya, nggak mungkinlah saya nggak kenal bapak. Saya mau tegur tapi takutnya Bapak lupa sama saya," aku tersenyum lebar mencoba menyembunyikan kegugupanku.

"Nggak mungkin saya lupa sama orang yang sudah mempermainkan saya. It's my time to play, Gita..."

"Maksudnya?" Aku kembali pura-pura bego jilid dua. Dari bahasanya aku sudah yakin dia akan membalas dendam. Dengan kekuasaan dan jabatannya kini, tentu saja. Sunding!

"We will see," seketika rasanya badanku gemetaran melihat matanya. Oh, ternyata hapeku yang bergetar. Tak lama, Bu Nani, Dino dan Putra kembali ke meja makan. Padahal mereka pergi mencuci tangan tapi tidak mengajakku. Wajah si bapak sudah kembali datar, tidak semenakutkan tadi. Cocok jadi aktor harusnya si bapak ini. Aku segera mengecek hapeku, ada pesan dari Aditya, pacarku setahun belakangan ini.

From: Aditya

Sayang aku jemput ya?

To: Aditya

Besok aja ya sayang. Hari ini aku temani bos baru visit jadi agak riweuh. Mungkin aku pulangnya malam

From: Aditya

Pulang malam? Memangnya jam berapa? Bos kamu cowok apa cewek?

Oh, Adit dan posesifnya. Entah apa yang membuatku bisa bertahan hingga setahun dengannya. Meski kadang berlebihan dan menyebalkan, Adit termasuk pria yang penyayang dan sangat memperhatikanku. Mungkin itu yang membuatku bertahan. Cinta? Apa aku cinta? Even I don't know what is love...

"Gita kamu dengar saya tidak?" Sebuah suara bass yang tidak ingin ku dengar mengajakku bicara.

"Ada apa Pak?" Si bos menatapku tajam karena aku tidak mendengar apa yang dia jelaskan karena sibuk membalas pesan Adit yang semakin panjang dan malah membahas masalah yang sudah berlalu.

"Simpan hape kamu, saya sedang membahas penemuan-penemuan di outlet tadi banyak yang tidak sesuai. Tolong disimak dengan baik karena saya tidak mengulang dua kali," semua mata tertuju padaku hingga membuatku jengah, terutama tatapan si bos yang jika keluar sinar seperti Cyclops, sudah pasti kepalaku sudah berlubang hingga tembus ke belakang.

"Maaf Pak. Siap Pak," cicitku dan mencoba tetap tersenyum. Ah, indahnya hari-hari bekerjaku sudah terhenti dari sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di cabangku.

***

Author POV

Gita sudah mengganti heels lima senti miliknya dengan sandal jepit yang sangat-sangat nyaman karena waktunya untuk pulang ke rumah. Dia dan rekan-rekannya yang lain bisa pulang karena Kris baru saja pulang 5 menit yang lalu. Itu pun karena dia ada janji. Cih, janji apa di jam 11 malam seperti ini? Janji sama Kunti? Mereka beramai-ramai berjalan gontai ke arah pintu karena kelelahan setelah berkunjung dari pagi hingga jam 8. Setelahnya membahas penemuan mereka dan harus segera dicarikan solusinya. Gita merasa kepalanya akan meledak karena diminta berpikir diluar kapasitas kemampuan otaknya yang sudah lelah.

Setelah di parkiran, satu per satu mulai berpisah melaju ke jalanan menuju rumah agar segera berisitirahat. Tak terkecuali Gita bersama Pak Junet, motor kesayangannya dari jaman kuliah. Sebuah motor matic super jadul yang boros bensin namun tetap menjadi cinta sejatinya.

"Gue duluan Mbak Git," pamit Dino dan segera menggas motornya setelah Gita hanya membalas dengan gestur tangan agar mempersilahkannya duluan. Tubuhnya sudah terlalu lelah hanya untuk berbicara. Setelah Dino pergi, tinggallah Gita sendirian di tempat parkir yang minim cahaya dan sepi, karena parkiran motor terletak di belakang kantor dan jauh dari gerbang depan.

Selesai memasang jaketnya, Gita hendak menstater motornya, sampai sebuah tangan membekap mulutnya dari belakang.

TBC

***

Hai hai...

Setelah prolog ternyata lama juga ya baru bisa up part pertama. Semoga cerita aku bisa diterima meski banyak kekurangan sana-sini. Yang mau kasih pendapat dan masukan Monggo, tapi bahasanya tetap dijaga yaaa

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah voment. Keep voment yaa

❤️❤️❤️