Aku yakin, beberapa dari kalian pasti pernah merasakan jatuh cinta. Aku pernah beberapa kali, sering malah. tapi nggak tahu deh itu benar-benar jatuh cinta atau hanya kagum saja. Pertama kali jatuh cinta aku rasakan waktu di kelas 3 SMA. terlambat memang, tapi begitu lah, aku memang tipikal yang agak sedikit sulit untuk jatuh cinta. Untuk nama-nama mereka yang pernah beruntung menjadi salah satu laki-laki yang bisa memikat hati aku, akan aku samarkan. Oh atau mungkin lebih baik nggak usah di sebutkan saja sekalian. Yang pasti, dia laki-laki baik-baik. Baik menurut pandangan seorang remaja cewek umur 16 tahun. Aku lupa, di mata ku apa yang membuat dia begitu baik.
Jatuh cinta ke dua ku pada seorang laki-laki di fakultas manajemen informatika. Lagi-lagi aku nggak bersedia menyebutkan namanya. Dia hanya tinggal kenangan. Tentang dia, bagaimana ya, dia salah satu yang paling sulit aku lupakan, yang paling butuh waktu lama. bahkan sampai detik ini aku masih sangat ingat setiap detik yang kami lalui. Dia baik, tapi iblis. Kalian sulit menafsirkan? bodo amat. Itu lah yang bisa aku gambar kan tentang dia. Penjelasan lebih lengkap, em.. Oke, Mungkin bisa di bilang dia laki-laki lugu yang tidak pernah pacaran. sama sepertiku,yang hanya berani jatuh cinta tapi tidak pernah berani untuk berkomitmen. Dia sangat sangat baik. Cukup lama kami berhubungan. Waktu itu belum ada zaman sosial media merajai ponsel, kami hanya berinteraksi lewat SMS. menelphone pun dia nggak mungkin berani. Untuk yang kali ini, aku sedikit lebih berani. Kami sering pergi berdua. makan, atau sekadar meminum es di jalan raya. Beralasan mengerjakan tugas di kampus hingga malam, padahal ya cuma ingin berduaan. Beberapa orang di kampus bahkan dosen pun menganggap kami serasi. Beberapa kali aku pulang di antar dia, Tapi yang paling berkesan adalah ketika malam hujan itu. Dia bilang, jas hujannya hanya satu. Dia menyuruhku memakai atasannya, sementara dia memakai celananya. Awalnya kau nggak setuju, aku meminta dia memakai kedua-duanya. Tapi dia menolak. Dia tepikan motornya, dia ambil jas hujan itu di dalam jok motornya dan menyerahkan atasannya padaku sementara dia memasang celana jas hujannya Sedikit tak enak hati aku pakai jas hujan itu, dengan kesal dia membantu memasangkannya menutup resletingnya, memasangkan tudungnya di kepalaku dan menyeretku kembali ke motor. Aku menurut saja sambil senyum-senyum tertahan di balik punggungnya. Nggak berselang lama setelah motornya melaju, setengah berteriak dia meminta bantuanku."pasangin resleting jaketku, Leah." Selama kami jalan berdua dan dia menggoncengku di atas motornya, selama itu aku nggak pernah memeluknya dari belakang. Hanya sekedar memegangi jaketnya saja. Dan malam itu, kali pertamanya, ketika aku melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya meski pun nggak nempel, hanya untuk sekadar memasangkan resletingnya, aku sudah sangat bahagia. Tapi, dia iblis. Ternyata selain denganku, dia juga dengan perempuan lain. Tapi bodohnya, semua itu seolah nggak berhasil merusak kebaikan-kebaikannya di mataku. Sampai detik ini, dia masih tetap laki-laki baik yang pernah dekat denganku.Kemudian? Nggak ada kemudian. Dia menjadi laki-laki terakhir yang bersamaku. Bukan berarti aku nggak pernah jatuh cinta lagi. Aku jatuh cinta pada beberapa laki-laki, tapi ya bagiku cukup sampai di situ saja. Cukup hanya aku saja yang tahu. Tentu saja bukan karena aku trauma dengan laki-laki. Hanya malas saja semakin bertambahnya usia. Jadi, ketika pada suatu siang usai makan siang jam istirahatku, ada seorang laki-laki menawarkan diri menjadi kekasihku, Aku hanya langsung mengiyakan saja ajakan gilanya. ya, ini pun karena ada alasannya."Oke, gue bantu temen loe, asalkan loe mau jadi pacar gue," Kata laki-laki itu ringan, sambil mencomot gorengan di depan kami. Namanya Rio. Rio Wicaksono. Namanya keren sih. Tapi orangnya biasa saja. Tingginya nggak jauh dariku yang hanya 155, mungkin dia 160 saja. Wajahnya standar, dadanya nggak bidang tapi nggak kurus-kurus juga. punggungnya nggak lebar, tapi juga nggak ramping. Dia punya proporsisi wajah yang minimalis. Kepalanya kecil, matanya kecil tapi tidak sipit, hidungnya kecil sedikit mancung dan bibirnya juga kecil tapi nggak kecil-kecil amat. Aku terjebak makan siang berdua dengan Rio hanya karena teman lamaku yang merengek minta bantuanku supaya bisa dipekerjakan di divisi tempat Rio. Di antara orang-orang marketing, hanya satu laki-laki ini lah yang aku kenal. Itu pun nggak kenal akrab, atas dasar nggak enak nggak bantu, aku menebalkan muka untuk mengajak Rio makan siang bersama. Wah, aku nggak menyangka di balik wajahnya yang selalu tersenyum tersimpan niat semulus itu."pacaran? kok?" Aku menggantung kalimatku karena jujur saja aku benar-benar nggak mengerti. Tapi si Rio ini cuma mengangguk santai tanpa beban. Wah.. Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Bahuku melesak ke sandaran kursi. Lalu, otak jernihku mulai mengambil keputusan, Oke, ini nggak benar. ku raih hand bagku dan segera beranjak dari tempatku. Berjalan mantap meninggalkan tempat makan kami dan Rio yang kuabaikan mengejar langkahku di belakang. Sialnya, kaki Rio yang panjangnya tak jauh dari panjang kakiku tetap saja berhasil menyamai langkahku. Ia menarik lenganku hingga memutar tubuhku. Apa-apaan ini? dia bahkan berani pegang-pegang. Aku tampik tangannya untuk melepaskan cengkramannya. Seketika Rio mengangkat kedua tangannya."Sorry. Gue cuma mau jelasin saja. Gue juga butuh bantuan loe." Jelasnya. Tapi buatku masih tetap tidak jelas. Lalu Rio melirik jam di pergelangan tangannya."masih ada 30 menit lagi." Ucapnya lebih kepada dirinya sendiri. Kemudian dia mengalihkan pandangannya, kembali menatap gue dengan mata yang sedikit di picingkan karena silai matahari. "gue janji penjelasan gue nggak akan mengganggu waktu kerja loe." Ujarnya dengan tersirat sedikit permohonan agar aku meu mendengar penjelasannya."kembali lagi?" Dia menunjuk tempat duduk kami yang tadi aku tinggalkan. ku lirik tempat itu sekilas, sebelum akhirnya ku hembuskan nafas dan mengangguk mengiyakan. Rio mempersilahkan aku jalan lebih dulu dan setelah kami benar-benar duduk kembali di tempat semula, Rio langsung buka suara."sorry sebelumnya, gue nggak maksud melecehkan loe. Gue cuma sedang memanfaatkan peluang saja.""to the point." ucap gue."Oke." Rio seolah mempersiapkan diri. Ia majukan duduknya hingga keujung kursi, dilipatnya kedua tangannya di atas meja, persis seperti anak SD yang berlomba-lomba duduk yang manis agar segera cepat pulang."Adik gue mau nikah. Sayangnya, dalam tradisi keluarga gue, dia nggak boleh menikah sebelum gue setidaknya, punya seorang perempuan yang bisa gue pamerkan ke keluarga gue sebagai seorang kekasih. Tapi sampai saat ini, parahnya, gue masih belum mau menjalin hubungan sama perempuan. Gue cuma sedang menikmati pekerjaan gue, menikmati posisi gue. Jadi, gue masih belum kepikiran sama sekali untuk kencan. Tapi disisi lain, gue nggak bisa egois menjadi penghalang niat baik adik gue. Jadi." Rio menggantungkan kalimatnya, ia mengubah posisi tangannya menjadi saling bertautan, sementara matanya, sejak awal memulai penjelasan nggak lepas sedikit pun dari mataku."gue mohon bantuan dari loe juga.""Singkat kata, loe mau gue bohong sama orang tua loe?""please loe jangan pandang itu sebagai sebuah niat jahat. Karena pada posisi ini, orang tua gue jelas salah. Ini sama saja menghalangi niat baik adik gue kan. Bagaimana kalau misalnya, mereka nekat. Kawin lari atau MBA?""hush." keluh ku, ngeri membayangkan apa yang di pikirkan Rio."maka dari itu, gue minta bantuan loe untuk menuntaskan masalah keluarga gue. Nggak lama. Cuma sampai adik gue menikah. Dan gue janji itu nggak akan lebih dari satu tahun.""Jadi maksud loe, gue harus jadi pacar loe kurang lebih satu tahun?"Rio mengangguk. "gue akan bantuin teman loe dan pastikan dia di terima di divisi gue. gimana?"Oh Pleas ! Gue nggak bisa mengabaikan niatan Rio untuk memnbantu gue karena saat ini yang butuh bantuan gue adalah Emi. Emi adalah seseorang yang nggak boleh terlewatkan dalam cerita ini. Nanti akan gue ceritakan siapa Emi sebenarnya."Kita harus bikin kontrak. Ada beberapa hal yang harus dan nggak boleh loe langgar selama kita menjalin hubungan pura-pura." putusku. Ya, mau nggak mau, aku harus menerima tawaran Rio, karena hanya Rio yang dapat membantuku. Membantu Emi. Dengan gerakkan refleks, Rio mengepalkan tangannya dan bergumam Yes."anytime. Loe yang atur kapan, loe yang atur dimana. Gue bersedia datang kapan pun itu. Tapi please, secepatnya."kuhembuskan nafasku dan mengangguk lemah. Oke, kamu bisa Leah. Kamu pasti kuat.