Chereads / A Hello With No Goodbye / Chapter 2 - Her Name is Emi

Chapter 2 - Her Name is Emi

Emi. Dia adalah sosok yang berpengaruh dalam hidup aku. Emi adalah sahabatku sejak kecil. Kami bertetangga dan satu sekolah. Satu kelas bahkan teman duduk. Ayahnya adalah seorang pengacara. Ibunya owner sebuah hotel besar. Emi anak orang kaya yang biasa saja. Keluarganya mendidik dia untuk rendah hati.

Juli 2008, aku gak akan pernah lupa hari itu. Ketika tiba-tiba ayah dituduh menggelapkan uang perusahaan dan tiba-tiba saja dibekuk polisi. Rumah kami disita. Seluruh kekayaan kami ludes dalam sekejap hingga membuat kami harus pindah ke rumah kontrakan kecil. Aku sempat membenci ayah yang menurutku sudah menghancurkan keluarga kami. Aku bahkan tidak pernah menjenguk ayah di penjara sebelum sidangnya di laksanakan. Hingga malam itu sebuah kabar dari penjara menghampiri kami. Ayah yang sudah sakit-sakitan beberapa hari belakangan pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir sebelum semuanya benar-benar terungkap. Tiba-tiba saja aku menjadi orang yang paling menyesal di dunia. Aku menyesal gak berdiri di samping ayahku di saat terakhirnya. Aku menyesal menjadi orang yang gak percaya padanya. Malam sepeninggal ayah, om Daren -ayah Emi, datang ke rumah dan menyatakan siap mengungkap kasus yang menimpa ayah. Membersihkan nama baik ayah yang dirasanya sejak awal memang difitnah. Hingga pada akhirnya, Maret 2010, 2 tahun sepeninggal ayah, hakim memutuskan ayah tidak bersalah dan pelaku sesungguhnya benar-benar dihukum. Segala hak dan kepemilikan kami kembali diserahkan ke kami. Dan yang paling penting adalah nama ayah kembali bersih. Gak ada lagi berbisik2. Gak ada lagi yang memandang kami sebelah mata. Kami benar2 berhutang budi pada keluarga Emi.

Sayang, tak berapa lama setelah kabar gembira itu hakim memutuskan pelaku korupsi tidak bersalah dan dibebaskan dari tuntutan apa pun. Kami semua kesal. Ayah Emi bahkan sempat ingin naik banding. Tali sebelum itu terjadi, beliau meninggal. Menjadi korban salah tembak. Kejadiannya di rumah Emi sendiri. Tepat saat suatu malam, om Daren baru pulang dari kantornya. Dia di tembak di dalam mobilnya dari jarak 5m. Peluru tepat melukai tulang tengkoraknya. Aku benar-benar bergidik mendengar kabar itu. Lebih dari itu, aku shock, bahkan sempat menyalahkan diri. Untuk beberapa lama aku benar-benar gak sanggup kalau harus bertemh Emi. Aku abaikan semua panggilan tlpnya. Aku gak berniat untuk menjawab keinginannya untuk bertemu. Bahkan kumusuhi Emi. Kujauhi sejauh-jauhnya. Seperti kami gak pernah saling mengenal. Hingga bertahun-tahun kemudian, ibu mengabatkan keluarga emi jatuh bangkrut. Ibunya harus kena tipu hingga membuatnya harus menjual hotel miliknya. Mereka pindaj disebuah rumah sederhana dengan sebuah toko baju kecil milik ibunya. Kabar itu membuat hatiku melesak jauh ke tanah. Ku datangi rumah Emi berbekal informasi alamat dari ibu. Aku tak peduli lagi pada rasa bersalah dimasa lalu. Aku gak mau menyesal dua kali. Dan syukur lah, Emi langsung mau menerimaku. Hubungan kami kembali membaik. Saat SMA, aku kadang membantu menjaga toko baju ibu Emi. Hingga lepas masa sekolah kami, nasibku sedikit lebih beruntung dari Emi, aku lebih dulu mendapat pekerjaan menjadi seorang customer service di salah satu brand hand phone terkemuka. 2 tahun kemudian, karena bosan dan malu menganggur, Emi memohon agar aku mau membantunya untuk bicara dengan orang-orang di divisi marketing yang ku kenal agar dia bisa bekerja di sana.

Divisi marketing adalah divisi yang bekerja di lantai dua kantor kami. Aku gak banyak kenal dengan mereka. Hanya tahu beberapa. Itu pun karena mereka datang membawa servisan dan aku menghandel merereka. Beberapa di antara mereka yang sering aku handel dan menurutku sedikit lebih santai dan enak diajak bicara dibandingkan yang lain adalah si Rio Wicaksono ini. Yang ternyata membuat aku harus terjebak dalam sebuah hubungan yang rumit