"Aku bantu bu." Ucapku ketika melihat ibunya Rio masih berkutat di dapur untuk membuatkan kopi anak-anak laki-lakinya dan untuk suaminya tentu saja. Sementara saat ini Nanda sudah masuk ke kamarnya untuk belajar. Katanya besok dia ada quis. Ibunya Rio sedikit terkejut mendapati aku berada di dapur karena beberapa saat lalu aku ditinggalkannya bersama jagoan-jagoannya di balkon rumah.
"Eh ngapain ke sini. Gak apa-apa tunggu saja di sana."
"Gak apa-apa bu. Pembicaraan cowok, gak seru. Enakan ngerumpi sama ibu." Godaku. Beliau tersenyum dan merangkulku.
"Ya udah bantu ibu motongin puding ya. Pudingnya ada di kulkas."
Aku memutar tubuhku mencari kulkas dan menghampiri lemari pendingin yang berada di dekat pintu dapur itu. Kukeluarkan puding coklat dari dalamnya, kuambil pisau dan piring kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian.
"Aku potong setengah saja ya bu. Nanti gak abis. Kan sudah pada makan."
"Iya setengah aja." Ibu menyetujui saranku.
"Gimana menurut kamu si Rio?" Tanya ibu tiba-tiba menjadi serius. Aku menoleh menatapnya yang masih memunggungiku. Meracik kopi di tiga cangkir.
"Rio baik." Jawabku seadanya. Seperti biasa,kalau ditanya bagaimana pendapatku tentang Rio, aku gak bingung. Kenal sama Rio saja baru beberapa hari. Ibu memutar tubuhnya menghadapku dan menatapku dengan mata menyipit.
"Ck ah, itu jawaban yang sudah biasa. Menurut kamu pribadi gimana dia?"
Aku berfikir sejenak. Bahkan sampai menghentikan aktivitasku.
"Emm sejujurnya aku belum kenal betul sama Rio karena kami juga baru dekat. Tapi sejauh ini gak ada sih sikap atau sifat Rio yang mengganggu buat aku. Rio lebih kepenurut saja. Tapi selama itu menurut dia baik. Kalau gak dia akan protes." Jawabku sedikit agak panjang. Ibu tersenyum puas mendengar jawabanku.
"Kamu mau tahu satu rahasia tentang Rio?" Tanyanya antusias. Tapi sejujurnya ada keraguan yang aku tangkap dari tatapan matanya. Aku memutar tubuhku sehingga kami benar-benar berhadapan.
"Apa bu?" Tanyaku pura-pura antusias.
"Rio punya saudara kembar." Jelasnya. Aku terkejut. Benar-benar terkejut. Bagiku sesorang yang punya saudara kembar itu benar-benar keren. Gak tahu kenapa, tapi rasanya lucu saja.
"Oh ya?" Tanyaku antusias. Ibu mengangguk. "Namanya Dio. Mereka berdua mirip sekali. Makanan kesukaannya saja sama, semur daging. Terus kalau marah suka mendam." Aku mendengarkan dengan saksama. "Mereka sama-sama pintar. Sama-sama penurut. Bedanya, kalau si Rio suka basket, Dio lebih kemusik." Semakin lama aku menangkap sebuah kenangan dari mata ibu hingga membuatnya mulai menerawang.
"Sekarang Dio dimana, bu? Sudah nikah?" Tanyaku karena di rumah ini aku gak melihat seseorang yang sosoknya mirip banget dengan Rio.
"Dio sudah meninggal, waktu mereka masih SMP. Kelainan jantung." Seketika aku membungkam mulutku dan berhambur ke dalam pelukkan ibu.
"Maafin aku bu, aku gak maksud untuk mengungkit luka lama ibu." Sesalku. Diam-diam aku merasakan dada ibu Rio berguncang dan suara isakkan halus mulai terdengar dari hidungnya.
"Gak apa-apa. Dio selamanya akan menjadi luka ibu." Beliau melepaskan pelukan ku tapi aku masih tetap ingin memghiburnya dengan memberi sentuhan lembut di kedua lengannya.
"Ibu senang sekali, mungkin bukan hanya ibu, tapi kami semua senang sekali Rio sudah punya kamu. Sejak kepergian Dio, Rio selalu menyalahkan diri, dia selalu menganggap kepergian Dio karena dia. Karena dia kuat, Dio harus jadi yang lemah. Karena dia sehat, Dio harus jadi yang sakit. Sejak saat itu Rio berubah jadi pemurung, tertutup, dan gak mau berhubungan sama siapa pun. Dia takut kalau orang itu akan menderita seperti Dio." Jantungku mendadak berhenti berdetak. Untuk beberapa saat aku menahan nafas. Aku baru tahu seorang Rio yang tengil pernah membawa beban dan luka begitu dalam. "Sepertinya kamu memang benar-benar orang yang spesial buat Rio." Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku merasa sangat amat menyesal. Ada harapan dari kalimat ibu Rio. Harapan agar anaknya bisa berubah dengan hubungan kami. Sayangnya aku membuat harapan itu menjadi semu. Kembali kupeluk beliau erat. "Maafin aku ya bu. Maafin aku." Sesalku dengan sebulir air mata yang tiba-tiba saja sudah mengalir. Ya Tuhan aku benar-benar berdosa.
"Bu." Tiba-tiba saja suara Rio sudah berada di antara kami. Kami sedikit tersentak sehingga saling melepaskan pelukan. Aku palingkan wajahku dari Rio dan diam-diam menghapus air mata yang sudah membasahi pipiku. Samar aku mendengar langkah Rio mendekat sebelum akhirnya dia berhenti di sampingku. Aku memutar tubuhku dan tersenyum menatapnya.
"Hai." Sapaku. Tapi dia hanya menatapku dan ibu kebingungan.
"Kalian kenapa sih? Kok? Kamu nangis?" tanyanya mengarah kepadaku. Jangan kaget Rio menyapaku dengan kamu, ini hanya akting di depan keluarganya biar kami tampak harmonis. Dan kenyataan itu semakin membuat dadaku nyeri. Aku menggeleng. Bukan untuk mengingkari pertanyaan Rio. Tapi hanya enggan menjelaskan.
"Ibu juga?" Lalu pertanyaan itu beralih ke ibunya yang tengah menghapus sisa-sisa air mata.
"Ini ada apa sih?" Tanya Rio sedikit frustasi.
"Sudah-sudah. Gak ada apa-apa. Ibu cuma kebawa suasana aja karena seneng sama hubungan kamu dan Leah, jadi keceplosan cerita Dio." Jelas ibu. Ku lirik Rio sekilas. Perlahan ekspresi dan tubuhnya berubah sedikit menegang.
"Sudah gak apa-apa." Ujar ibu sambil menepuk-nepuk pelan lengan anak laki-lakinya. Rio tersenyum dipaksakan. "Kenapa kamu ke sini? Oh mau ambil kopi? Aduh ibu sampai lupa." Tanya dan jawab ibu. Dia cepat-cepat memutar tubuhnya untuk mematikan kompor.
"Gak bu." Rio mencoba menghentikan gerakan ibunya. Ia tersenyum namum matanya terlihat murung. Sebesar itu kah efek Dio buat Rio? Mungkin memang sangat besar, mengingat mereka adalah saudara kembar. "Kopinya nanti aja." Tambahnya. Kutatap Rio sementara Ibu memutar tubuhnya kembali menghadap kami. "Aku harus bawa Leah pulang. Udah janji soalnya sama ibunya gak akan lebih dari jam 11. Takut macet di jalan. Jadi Leah aku pulangin sekarang aja." Jelas Rio.
"Oh ya udah gak apa-apa. Hati-hati ya. Leah, makasih sudah datang. Kapan pun kamu mau ke sini walau pun gak sama Rio, kamu boleh datang ya. Pintu rumah ini terbuka lebar untuk kamu." Ucap ibu. Sekali lagi, kuraih tubuh perempuan lembut ini dan ku peluk.
"Makasih ya bu." Ujarku. "Leah pulang dulu. Kapan-kapan Leah pasti main lagi." Tambahku lalu melepaskan pelukkannya.
"Kita pulang naik motor aja gak apa-apa kan? Solanya si Ridho mau pakai mobilnya pakai jemput pacarnya di bandara." Tanya Rio
"Oh iya gak apa-apa."
***