Dua hari berlalu sejak pertengkaran kami malam itu. Em.. mungkin sedikit berlebihan jika aku bilang itu pertengkaran disaat kami hanya melakukan perdebatan. Seharian kemarin aku gak melihat Rio. Gak motor atau mobilnya, gak juga keberadaannya di antara teman-temannya. Ngomong-ngomong, sudah dua hari ini juga Emi mulai kerja. Karena dia dibagian marketing seperti Rio, jadi Emi jarang ada di kantor. Biasanya dia hanya ada saat pagi dan pergi ketika jam 10 pagi. Seperti Rio. Dan untuk kali ke dua ini, aku gak menemukan Rio lagi. Dimana pun. Apakah aku keterlaluan kemarin malam? Apakah aku terlalu egois? Apakah Rio membenciku?
"Le." Panggil seseorang dari balik punggungku. Membuyarkan lamunanku tentang Rio. Seketika ku putar tubuku dan mendapati Rio di ujung lorong. Saat ini sedang giliranku istirahat makan siang. Aku agak terkejut mendapati Rio masih berada di kantor pada jam seperti sekarang. Memang bukan sekali, tapi terhitung sangat jarang sekali. Rio menghampiriku yang sudah berada di ujung lorong di depan pintu keluar.
"Gue mau ngomong masalah kemarin." Tembaknya ketika berdiri tepat di depanku.
"Ya udah ngomong aja." Jawabku seadanya.
"Di sini banget?"
"Yo. Kalau loe minta gue untuk lanjutin kekonyolan kita lagi, gue minta maaf banget gue gak bisa. Gue ngerti kalau di mata loe gue terkesan egois atau memanfaatkan loe. Loe boleh deh minta ganti rugi apa pun dari gue asal kan....
"Ridho mau kawin lari." Tukas Rio menghentikan kalimatku.
"Hah?" Aku tercengang seketika.
"Le, gue mohon banget sama loe, kita sudah mulai semua kebohongan ini segaknya semua harus berakhir di saat Ridho sudah nikah. Loe gak akan ngerti gimana ribetnya tata krama keluarga gue. Kami sudah membicarakannya semalam. Semua orang rumah malah nanyain kapan kita akan nikah. Kita gak akan nikah. Loe tenang aja kita gak akan sampai ke jenjang itu. Hanya aja plis bantu Ridho. Bantu keluarga gue. Ridho udah mulai nekat. Kalau gue sama loe sampai putus, dia akan kawin lari."
Lututku melemas seketika. Nyaris saja aku terseok kalau saja Rio tidak menopang tubuhku dengan mencengkram kedua lenganku.
"Gue tahu ini berat. Bukan cuma buat loe tapi juga buat gue. Tapi Le, cuma loe harapan gue sekarang. Gue mohon...
"Leah ! Rio." Kami serempak menoleh menatap seseorang yang tersenyum sumeringah di ujung lorong. Aku menguatkan hati dan tubuhku untuk tersenyum dan berdiri. Emi. Dia berlari senang menghampiri kami.
"Gue sudah nemu tempatnya." Ucapnya seketika. Aku dan Rio saling tatap untuk beberapa saat.
"Maksud loe?" Tanyaku
"Ih gue kan udah bilang kalau kita harus double date. Dan gue udah ketemu tempat yang pas." Jelasnya penuh semangat.
"Em. Kok loe gak minta persetujuan gue sih? Loe kan tahu gue masih belum siap ketemu Andri. Gue tahu semuanya sudah terlalu lama terjadi. Tapi gue masih gak suka kalau ada di dekat dia. Loe ngerti kan?"
"Gue nggak ngerti Le. Loe bisa maafin gue, kenapa loe gak bisa maafin Andri? Atau jangan-jangan loe pura-pura saja maafin gue?"
Ah, kepalaku mendadak pusing. Satu masalah belum selesai datang lagi masalah lain.
"Duh Em, loe jangan aneh-aneh deh. Gue udah gak ada urusan sama loe. Gak ada dendam gak ada marah. Gue udah ikhlasin si Andri, cuma, gue minta loe ngertiin posisi gue lah. Gue gak bisa pergi....
"Kita pergi." Sekali lagi Rio memotong kalimatku. Aku menatapnya kesal. Sementara Emi bersorak gembira
"Yo." Aku memanggilnya frustasi. Alih-alih menjawab, dia bahkan tidak menatapku ketika aku sudah semaksimal mungkin memberinya tatapan kesal.
"Kapan? Dimana? Jam berapa?" Repetan pertanyaannya menegaskan seolah-olah dia mengabaikan aku.
"Rio!" Panggilku sekali lagi.
"Di Nebula, besok jam 8 malam." Jawab Emi. Aku mengalihkan pandanganku ke Emi sebelum kemudian kembali menatap Rio dengan gemas.
"Enggak Yo." Tegasku. Kali ini barulah Rio menatapku.
"Iya. Kita pergi. Gue jemput besok jam setegah 8 malam." Jawab Rio tenang. Setelah itu dia berlalu meninggalkan kami.
"Rio." Panggilku diacuhkannya.
Ingin rasanya aku menjambak rambut laki-laki itu. Tuhan beri aku kekuatan.