"Leah. Leah."
Aku menghentikan langkahku ketika ku dengar suara berbisik memanggil-manggil namaku dari kejauhan. Aku memutar tubuhku mencari sumber suara. Tapi tak ada siapa-siapa di lorong mushola ini. Aku kembali melanjutkan langkahku. Tapi gak berapa lama, suara itu terdengar lagi.
"Leah. Leaah." Bisiknya. Kali ini berhasil bikin bulu kudukku meremang. Ku putar tubuhku dengan cepat aku memutar tubuhku kembali. Tapi lagi-lagi gak ada siapa-siapa. Ku edarkan pandanganku keseluruh penjuru lorong. Lalu tiba-tiba sebuah kepala menyembul dari balik dinding. Nyaris saja aku berteriak kalau aku tidak mengenali pemilik senyum nakal itu. Rio. Aku menghembuskan nafas dan memegangi jantungku yang nyaris copot. Rio masih terbahak sambil mendekat menghampiriku. Kupukul bahunya ketika dia berdiri di depanku.
"Gak lucu tau gak siih. Jantungan ni gue." Protesku.
"Duh sorry deh sorry. Lemah banget jantung loe."ujarnya sambil mengacak-acak rambutku. Kutepis tangannya dan kurapikan poniku yang berantakan.
"CS nih. Gak boleh berantakkan" jelasku. Dia hanya tersenyum.
"Loe diundang."
Aku meliriknya. "Diundang apaan?" Tanyaku masih sibuk membenarkan poniku. Lalu tiba-tiba sebuah ingatan menghinggapi kepalaku.
"Haah." Kutatap Rio dengan terkejut.
"Apaan?" Tanyanya tak memgerti dengan reaksiku.
"Ridho nikah?" Tanyaku dan seketika Rio menyentil keningku.
"Aw."
"Ngaco loe ngomong."
"Sakit." protesku yang hanya diacuhkan Rio.
"Sepupu gue nikah lusa. Gue disuruh bawa loe sama keluarga gue. Mereka mau kenal sama loe."
"What?" Seketika aku merasa mual. Bertemu dengan orang tua Rio saja sudah cukup membuatku keringat dingin, dan sekarang aku harus bertemu dengan keluarga besarnya. Aku menggeleng ngeri. Rio memutar kepalanya terlihat lelah membujukku setiap kali diajak bertemu keluarganya.
"Ayolaah. Pacar ketemu keluarga besar pacarnya itu kan udah biasa."
"Yo gue gak siaap. Gue ketemu keluarga loe saja udah gerogi setengah mati. Ketemu keluarga besar loe bisa pingsan gue." Jelasku penuh permohonan agar Rio mau mengerti, sayangnya laki-laki menyebalkan ini menggeleng tak mau tahu.
"Gue jemput jam 8 malam. Jangan malu-maluin gue. Pokoknya loe harus dandan cantik. Oke. Byee." Rio melambaikan tangannya sambil lalu. Tak peduli aku meneriakinya berkaki-kali.
"Iih nyebelin banget siih. Dasar tengil."
***
"Udah deh Le, loe telat entar kalau milihin baju terus. Yang tadi mustard tuh bagus kok." Emi mulai lelah membantuku mencari gaun yang pas untuk ku gunakan pergi ke acara undangan keluarga besar Rio. Aku menarik sebuah gaun berwarna mustard yang tadi sempat kucoba.
"Yang ini?" Tanyaku sembari menempelkan gaun selutut itu di tubuhku. Emi mengangguk dan memberi tanda setuju dengan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran.
"Ya udah deh gue pake ini." Aku masuk ke kamar mandi dan mengenakan gaun pilihan Emi. Not bad sih emang. Cuma guenya saja yang gak pede. Aku keluar dari kamar mandi bersamaan dengan ibu yang masuk ke dalam kamar.
"Ya ampun gak selesai-selesai milih baju." Keluh ibu dari depan pintu.
"Tahu nih tante. Yang mau di perkenalkan sama keluarga besar. Gerogi banget." Emi menekankan kata keluarga besar sambil terkikik.
"Ih sialn loe." Geramku. Kemudian aku beralih keibu. "Bu, bagus gak?" Tanyaku meminta pendapat ibu.
"Bagus kok. Kan dari tadi sudah dibilangin yang itu bagus." Keluh ibu. Aku hanya nyengir aja.
"Sudah cepat. Tuh si Rio sudah nungguin."
"Hah dia sudah datang?" Tanyaku terkejut.
"Sudah. Sudah di ruang tamu." Jawab ibu. Secepat kilat aku meraih high hills ku di bawah tempat tidur dan memakainya. Syukur lah rambutku sudah selesai ku kerli, tinggal memoles sedikit make up saja. Ku bubuhkan bedak ke wajahku. Kuoleskan eyeliner dan maskara. Sedikit blush on dan eye shadow kemudian lipstick merah muda. Sempurna. Aku, Emi dan ibu bergegas turun menghampiri Rio yang tengah menghabiskan air putihnya suguhan ibu. Rio nyaris menyemburkan airnya ketika melihat kami semua datang. Dan mendadak jantungku berdegup ketika melihat Rio. Ini kali pertamanya aku lihat laki-laki tengil ini memakai setelan jas. Dan baju itu tampak cocok di tubuh Rio yang proporsional. Dia tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan canggung.
"Gimana?" Tanyaku ketika berada di depannya. Ku rentangkan kedua tanganku agar dia bisa lebih leluasa melihat penampilanku. Rio berfikir sejenak sambil memicingkan matanya.
"Bagus sih." Gumamnya. Ok, ada sih di dalam kalimat Rio yang berarti belum mendekati sempurna.
"Tapi?" Tanyaku dan Emi berbarengan. Rio tersenyum dan maju mendekat ke arahku. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, dia menarik ikat rambutku dan merapikan rambutku yang tergerai. Ku tatap Rio yang berdiri dalam jarak sangat dekat dengan ku hingga hidungku nyaris menyentuh dadanya. Untuk beberapa saat aku merasakan sunyi di sekelilingku. Sampai akhirnya terdengar suara langkah sepatu Rio menjauh dariku. Dia kembali memicingkan matanya menatap penampilanku.
"oke." Ucapnya. Kemudian dia kembali mendekat, menyentuh kedua bahuku dan memutar tubuhku menghadap ibu.
"Leah lebih cantik kalau rambutnya digeraikan bu?" Rio meminta pendapat. Sementara aku nyaris saja tersedak liruku sendiri. Aku berdehem untuk menetralkan perasaan yang bekecambuk.
"Anaknya siapa dulu." Jawab ibu dengan bangga. Mereka tertawa. Kecuali aku yang masih sibuk mengatur nafas.
"Ya sudah yuk. Kita jalan sekarang."
"Iya." Jawabku patuh. "Bu, pergi dulu ya." Aku meraih tangan ibu dan menciumnya. Kemudian Rio mengikuti gerakkanku.
"Jangan malam-malam pulangnya ya Rio." Petuah ibu.
"Siap bu." Jawab Rio. Kemudian kami berdua meninggalkan rumah. Aku hembuskan nafas dengan keras. Oke semoga semua berjalan lancar.
***
Kami turun dari mobil di sebuah gedung megah. Rio menyodorkan lengannya sementara aku yang sibu menatap kagum sekeliling gedung, seketika melingkarkan tanganku di lengannya. Dia tersenyum dan mengiringiku memasuki ruangan.
Aku gak tahu kalau keluarga Rio ternyata lumayan berada. Bohong banget kalau gak. Keliatan dari pesta bergaya Eropa yang ada di depan mataku. Seluruh tamu undangan datang dengan berbagai baju paling glamor dan mahal. Dekorasi ruangan terlihat mewah. Gedungnya benar-benar luas banget.
"Yo,"aku berbisik ke arah Rio dia segera mengarahkan telinganya kemulutku.
"Loe orang kaya ya?" Tanyaku to the point. Seketika Rio terkikik.
"Bukan gue yang kaya. Kalau gue kaya gue gak mungkin kerja di tempat loe jadi marketing. Sepupu gue yang kaya Le. Dia punya beberapa perusahaan besar di Australi. Jadi jangan kaget kalau pernikahannya kayak gini." Rio mengedikkan matanya.
"Gue jadi ngerasa gembel deh."
"Apa sih Le. Loe cantik kali. Udah deh yang pede jalannya." Tukas Rio. Lalu seketika kami mendengar seseorang memanggil nama Rio.
"RIO !" kami menoleh dan mwndapati seorang perempuan cantik berkaki jenjang bertubuh langsing dengan gaun yang membentuk lekuk tubuh indahnya dengan belahan tinggi berlari menghampiru Rio.
"Lena." Seketika Rio memutar tubuhnya dan tanganku terlepas begitu saja dari lengannya. Aku sedikit terkesiap. Lalu kemudian perempuan yang dipanggilnya Lena itu menubruk tubuh Rio dan memeluknya hingga Rio terhuyung.
"Ya ampun datang loe?!" Tanyanya lebih kepada dirinya sendiri. Mereka berdua tampak bahagia. Bahkan Rio sampai mengangkat tubuh Lena dan memutarnya. Aku sampai harus mundur beberapa langkah. Takut kena sepak kaki jenjang Lena. Rio kemudian menurunkan Lena. Jarak mereka begitu dekat.
"Ya ampun kangen banget sumpah sama loe." Ujar Rio. Tapi Lena justru memukul dada Rio dengan manja.
"Bohong loe. Kalau kangen kenapa gak ngunjungin gue?" Rutuknya
"Plis deh Len, gue bukan orang kaya kayak loe ya. Dan LA itu bukan di tanah abang. Jauh. Mahal ongkosnya. Mending buat modal nikah." Jawab Rio.
"Emm.. tau deeh yang sudah punya calon." Seru Lena, diam-diam dia melirikku jahil. Saat itu Rio segera menoleh kebelakang menatapku yang salah tingkah. Dia begitu saja memarik tanganku untuk berdiri sejajar dengannya.
"Kenalin Len, Leah..." ucap Rio pada perempuan di depannya, tapi kurasakan matanya menatapku.
"Calon istri gue."
Deg.
Aku menatap Rio yang masih menatapku. Aku tak mengerti dengan permainan Rio. Kenapa dia harus memperkenalkanku sebagai calon istrinya bukannya pacar?
"Cieee tatapannyaaa." Kami seketika tersadar dan langsung mengalihkan pandangan. Aku mendengar Rio berdehem.
"Le, kenalin ini Lena. Dia sepupu aku paling manja, paling jahil, paling cengeng, paling gak bisa jauh dari aku. Kamu jangan cemburu ya." Tukas Rio beberapa saat kemudian. Suaranya terdengar normal-normal saja. Berbeda denganku yang detak jantungnya masih jumpalitan. Kalimat Rio seolah gak mau pergi dari telingaku. "Leah, calon istri gue." Aku menggeleng samar mengusir kalimat Rio dan segera memasang senyum pada Lena yang sibuk memukuli Rio, tak terima dijelek-jelekkan. Aku mengulurkan tangan dan dia segera menjabat. Menarikku dan memelukku.
"Selamat datang di keluarga kami. Loe orang pertama yang bisa menaklukkan Rio setelah tragedi Dio." Ucap Lena. Dia melepaska pelukkan kami dan seketika mendapat tatapan tak enak dari Rio.
"Jangan dibahas deh." Protes Rio. Lena hanya mengangkat tangannya membentuk huruf V.
"Sorry." Tukasnya tanpa rasa sesal.
"Eh dinikmati ya pestanya. Makan yang banyak. Makanannya enak-enak lho. Ada ice cream juga. Pokoknya loe harus cobain semuanya. Oke." Serunya padaku yang mengangguk patuh sambil tak dapat menahan senyum melihat tingkah Lena.
"Yo, ajak keliling calon istri loe. Awas kalau gak dikasi makan." Ancamnya.
"Iyaa baweel." Rio menowel ujung hidung Lena.
"Gue ke sana dulu ya. Bye" sebelum mendapat persetujuan kami, Lena sudah beranjak menuju sudut yang tadi ditunjuknya. Berkumpul dengan beberapa perempuan seusianya dan mulai berbicara tanpa titik lagi.
"Sorry ya, Lena emang agak gak bisa diem mulutnya." Ujar Rio.
"Gak apa-apa. Dia seru kok." Jawabku yang benar-benar menikmati pertemuan dengan Lena.
"Ya udah yuk, kita ke orang tua gue." Ajak Rio. Kami berjalan beriringan menuju orang tua Rio yang saat itu tengah berbicara dengan seseorang.
"Ma." Sapa Rio begitu kami sudah dekat. Perempuan cantik itu memutar tubuhnya dan seketika terkejut melihat keberadaanku.
"Eeh Leaah." Serunya. Sambil menghujani pipiku dengan ciuman.
"Ya Allah cantik banget." Pujinya dengan gemas. Aku hanya tersenyum canggung.
"Makasih tante. Tadi agak gak pede dikit sama bajunya yang bikin aku makin pendek, jadi agak lama gonta-gantinya." Jawabku sedikit curhat. Hehe
"Eeh gak kok gak kelihatan pendek. Ya kan Yo." Beliau meminta persetujuan Rio yang saat itu tengah mengobrol dengan seseorang. Ditanya tiba-tiba, Rio sedikit gelagapan.
"Hah? Kenapa ma?" Tanyanya kebingungan.
"Ini lho, si Leah, cantik kan, gak keliatan pendek. Dia bilang dia gak pede karena bajunya bikin dia keliatan pendek."
"Bagus malah kalau kamu pendek. Jadi kan gak jomplang-jomplang banget sama aku." Jawab Rio acuh.
"Eeh kok malah di dukung ceweknya gak pede." Protes ibunya. Sementara Rio hanya cengengesan.
"Leah."
Sebuah suara menghentikan percakapan di antara kami tiba-tiba. Sebuah suara yang membuat tubuhku kaku dan jantungku berhenti berdetak. Hanya satu sylabel itu yang diucapkan namun berhasil membuatku menahan nafas. Perlahan ku putar tubuhku dan benar dugaanku. Pemilik suara itu Andri.