Aku mencomot kacang almount dari kantungnya yang ada di tangan Emi. Malam ini, aku diserang dilema akut. Antara peecaya dengan Rio dan pergi ke pesta pernikahan Ridho. Atau mengikuti isi hatiku dan melupakan pesta malam ini. Akhirnya aku memutuskan untuj pergi ke rumah Emi, bermalas-malasan dengannya di balik selimut di atas tempat tidurnya sambil mengemii sekantung almount yang di dapat ibu Emi dari temannya yang baru pulang dari prancis.
"Loe kenapa sih Le ngeribetin diri loe?" Tanya Emi sambil tetap fokus mengunyah kacangnya. Begitu pun aku, yang kini kepalaku sudah tak sanggup lagi diajak berfikir.
"Entah lah Em. Gue juga gak ngerti sama diri gue."
"Bukannya yang loe butuhin cuma pengakuan dari Rio doang? Sekarang, Rio sudah jelasin semuanya apa masih kurang? Terus loe tunggu apa lagi?"
"Gue nggak nunggu apa-apa Em. Gue cuma...takut?"
Kali ini Emi memutar tubuhnya menatapku.
"Loe takut Rio pergi kayak Andri?"
Aku memejamkan mata sejenak, sebelum kemudian mengangguk. Dan seketika Emi memelukku.
"Maafin gue Le. Gara-gara gue loe jadi ketakutan kayak gini untuk menjalin hubungan." Sesal Emi dari balik bahuku. Kulepaskan tangannya yang membelit leherku.
"Bukan salah siapa-siapa Em. Guenya aja yang terlalu pengecut. Gue...gue rasa, ini beda dengan Andri. Rio...dia beda dengan Andri." Tiba-tiba aku merasakan mataku memanas.
"Maksudnya, perasaan loe ke Rio, jauh lebih dalam?" Emi bertanya hati-hati sambil tetap mengamati wajahku yang menunduk. Samar, aku mengangguk dua kali. Terdengar suara hembusan nafas Emi yang keras.
"Disini." Aku menyentuh dadaku. Kemudian menatap Emi. "Gue gak tahu kenapa tapi, rasanya sakit banget Em."
Tanpa aba-aba, Emi kembali menubruk tubuhku. Memelukku seerat yang dia bisa.
"Loe sayang banget ya sama Rio?" Tanyanya dengan suara terbenam. Aku mengangguk dua kali.
"Gue cuma takut kehilangan dia." Jawabku.
"Kalau gitu loe kejar dong Le. Rio sudah jujur sama loe. Sekarang giliran loe yang harus jujur sama dia. Percuma kalau loe cuma ngomong sama gue." Emi kembali melepaskan pelukkannya. Ditatapnya aku dan dibersihkannya beberapa helai rambut yang menempel diwajahku.
"Loe berhak untuk bahagia Le. Dan gue yakin, Rio orangnya. Gue bisa lihat dari matanya."
"Loe yakin?" Tanyaku dengan suara yang mulai bindeng sembari menghapus air mata. Emi mengangguk sekali dan tersenyum. Bersamaan dengan itu, sebuah ketukan dipintu kamar Emi terdengar dari luar. Buru-buru ku hapus habis air mataku.
"Masuk aja ma." Pintu terbuka dan ibu Emi menampakkan wajahnya dari balik pintu.
"Ada yang nyariin Leah di depan tuh. Cowok." Ucap mama Emi. Sejenak aku dan Emi saling pandang, sebelum kemudian melompat dari kasir dan berlari ke pintu depan. Jantungku berdegub dua kali leih cepat. Bahkan aku takut aku akan mati saat ini. Begitu tiba di pintu depan, benar saja, aku menemukan sosok laki-laki berjas putih, tersenyum padaku. Seketika aku dan Emi menghentikan gerakan kami.
"Hi mbak." Sapanya.
"Ridho. Kamu ngapain disini?" Tanyaku setengah terkejut setengah kecewa. Ridho hanya tersenyum sambil menundukkan wajahnya sejenak.
"Kamu gak lagi kabur dari acarakan? Kamu nikah malam ini kan?" Tanyaku bertubi-tubi. Rasanya masih gak percaya lhiat Ridho berdiri di depanku sementara di suatu tempat lainnya, Nadin tengah menunggunya untuk merayakan pesta pernikahan mereka.
"Iya mbak."
"Ya terus kamu ngapain disini?" Tanyaku sekeli lagi dengan gemas.
"Mbk nggak pingin datang ke acara aku?"
Aku bungkam seketika.
"Ini hari bahagia aku lho mbak, tapi rasanya aku nggak bahagia."
"Ridho kamu jangan aneh-aneh deh. Nadin lagi nunggu kamu kan?" Aku terus ngotot tapi Ridho menggeleng.
"Nadin yang nyuruh aku ke sini. Tadi aku ke rumah mbak, tqpi katanya mbak lagi disini." Ridho menarik nafas dan menghembuskannya dengan keras.
"Entah kenapa rasanya dari tadi kami berdua sedih mbak. Mbak tahu kenapa?"
Aku diam.
"Karena Rio kehilangan seseorang yang dia sayang."
"Please mbk, kalau loe emang masih sayang sama Rio, loe datang ya. Pernikahan gue gak berkesan kalo Rio sedih kayak gini." Kata-kata Ridho benar-benar sudah mengganggu fikiranku. Ridho datang hanya untuk mengatakan itu. Setelah itu, dia pergi bersama mobilnya. Untuk beberapa saat, aku terdiam memikirkan kalimat-kalimat Ridho. Kalau emang aku masih sayang? Sialnya perasaan itu gak mudah pergi. Sekesal apa pun aku dengan Rio, tetap saja belakangan ini dia sudah mengobrak-abrik seluruh isi kepalaku. Seluruh pikiranku tentang Rio mendadak buyar, ketika Emi menyikut tubuhku. Aku menoleh menatapnya yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada.
"Sekarang pertanyaannya, loe masih sayang gak sama Rio? Kalau emang udah gak sayang, ya loe abaikan aja Ridho."
"Em." Aku mencengkram kedua lengan Emi. "Loe mau kan bantuin dandanin gue?" Tanyaku. Aku memutuskan untuk mengubah pikiranku. Rio sudah mengutarakan isi hatinya. Sekarang giliran aku. Dengan mata berbinar, Emi menarikku menuju rumahku yang berada di samping rumahnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku bergerak cepat mengganti pakaianku dengan gaun yang di berikan Rio. Emi dengan sigap mendadaniku. Memakaikan foundation, bedak, blush on, maskara, eye liner hingga memoles bibirky dengan lipstick. Gak lupa rambutku di catok dan dikritingkan. Emi berniat mengikat rambutku tinggi tapi segera ku cegah.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Emm.. Rio lebih suka rambut gue digerai." Jawabku malu-malu. Bibir Emi langsung tersenyum jahil.
"Cie." Godanya sambil mendorong tubuhku. Aku hanya tersenyum. Sambil mematut diriku di depan cermin, aku bergumam dalam hati. Tunggu aku ya Yo, aku akan kasih jawaban. Maaf buat kamu bingung belakangan ini.
Hampir satu jam berlalu, baru lah emi selesai mendadaniku. Aku memasang sepatu high hills ku dan siap berangkat.
"Eh Le, loe sadar gak sih, gaun ini mirip sama gaun dari bokap loe."
Aku terdiam, ketika Emi mengatakan hal itu. Seketika aku memutar tubuhku menghadap cermin besar di sudut kamar. Ku pandangi detail dari baju ini. Dan ya, semakin aku mematapnya, semakin baju ini terlihat gak asing.
"Iya ya Em." Aku bergegas menuju lemari pakaianku dan mengambil gaun putih pemberian ayah dan menyandingkannya dengan tubuhku. Benar. Setiap detail yang ada memang benar-benar mirip. Gak ada bedanya sama sekali. Aku menatap Emi yang sama terkesimanya denganku. Kenapa Rio bisa mendapatkan gaun serupa seperti ini?