Chereads / A Hello With No Goodbye / Chapter 18 - is it over?

Chapter 18 - is it over?

Benar dugaanku. Rio sudah menunggu di depan pintu ketika aku baru saja tiba di kantor. Tanpa perintah, dia segera menghampiriku ketika melihatku datang.

"Kita ngomong ya. Gue udah dengar semua dari Nadin." Tukasnya sebelum aku sempat turun dari motor. Kulirik dia dengan kesal.

"Ya bagus dong kalau loe sudah tahu semuanya. Jadi kita gak perlu ngomong." Tukasku tajam. Ku matikan mesin motor dan segera turun dari motor. Berjalan meninggalkan Rio.

"Le, please. Dengarin gue sebentar aja."

Ku hentikan langkahku di koridor kantor kemudian kutatap Rio dengan enggan.

"Kita udah di kantor. Loe gak lupa peraturannya kan? Gue gak mau ada yang tahu hubungan kita." Ujarku tajam. Baru saja ku putar tubuhku kembali hendak meninggalkan Rio, dia kembali bicara.

"Terus kenapa kalau mereka tahu?" Seketika langkahku terhenti karena suara menggelegar Rio di koridor.

"Gue gak peduli."

"Oh ya jelas loe gak peduli. Karena semua cuma becandaan buat loe." Tukasku tak kalah tajam dan menggelegar. Menghentikan kalimat Rio seketika. Kupijit pelipisku yang mulai terasa pening.

"Yo, loe benar. Kita perlu ngomong. Kita ketemu makan siang nanti untuk mengakhiri semuanya." Putusku kemudian kembali melanjutkan langkah. Tak ku hiraukan lagi Rio yang memanggil-manggil namaku. Sungguh. Ini benar-benar berat.

***

Rio gak datang. Dia bukan hanya gak datang. Tapi dia gak ada dimana-mana. Aku bahkan memberanikan diri naik ke lantai 2 untuk mencari keberadaan Rio untuk menepati janji kami. Tapi Rio gak ada di sana. Alhasil siang ini aku makan sendiri. Sebenarnya, aku cukup lega Rio gak datang. Aku sendiri juga masih belum siap untuk mengakhiri semuanya. Terlebih aku merasa kalau hubunganku dan dia tidak akan bisa baik-baik saja setelah kejadian ini. Kalau saja perasaanku ke Rio masih sama seperti dulu, mungkin semua gak akan seberat ini. Sayangnya, setelah Rio datang ke rumah dan bertemu ibu. Setelah pertemuanku dengan keluarganya. Setelah dia menjemputku malam-malam. Setelah kami Robin Hood terjadi dan setelah kami berdansa di taman belakang gedung di pesta pernikahan sepupunya, semua gak semuadah yang aku bayangkan lagi.

Kuhembuskan nafas keras dan beranjak dari temaptku berjanji temu dengan Rio.

***

Kalau kamu jatuh cinta dengan teman satu kantormu, akan sangat mustahil untuk menghindari bertatap muka. Seperti yang terjadi antara aku dan Rio. Sulit sekali menghindari menatapnya setiap kali dia lewat di depan pintu kantorku. Sulit rasanya untuk gak bergumam dalam hati agar Rio berhati-hati ketika dia hendak keluar dari kantor. Sulit rasanya menahan diri untuk tidak mencari mobil Rio di antara kendaraan yang parkir di tempat parkir kantor. Beneran, lama-lama aku bisa gila kalau kayak gini terus. Aku harus sadar dan terima kenyataan kalau sebenarnya, Rio hanya anggap aku permainannya saja. Tapi... apa kabar dia sekarang? It's been a long time. Dan Rio juga sama sekali gak pernah menghubungiku lagi. Tuh kan. Ah Leah kamu gimana sih? Bukannya kamu yang memutuskan hubungan ini? Terus kenapa sekarang berharap Rio menghubungi? Kenapa malah.....

"Mbak."

Segala bentuk dialog di dalam kepalaku buyar berserakan ketika ku temukan sosok Nadin di area parkir kantor ketika pulang kerja. Kakiku bahkan mematung untuk beberapa saat dalam jarak yang memisahkan kami. Lalu, saat Nadin melambaikan tangan dengan kikuk, baru lah aku bisa kembali menormalkan tubuhku.

"Hai." Sapaku tulus dan kembali melangkah menghampirinya. Kami saling berpelukan, sebelum kemudian memberi cium di pipi kiri dan kanan.

"Apa kabar, calon pengantin?" Antusias sekali rasanya bertemu Nadin setelah sekian lama. Perempuan cantik yang semakin cantik itu tersebyum malu sambil menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinganya.

"Baik mbak, Alhamdulillah. Mbak sendiri apa kabar? Ditanyain ibu." Perlahan senyun di wajahku memudar. Aku tahu siapa yang dimaksud ibu sama Nadin.

"Em.. kita ngobrolnya di sana aja yuk. Sambil minum-minum." Aku menunjuk sebuah temlat makan yang biasa ku datangi setiap makan siang. Nadin menurut dan mengikuti langkahku. Setelah mendapat tempat duduk dan memesan makanan, kami kembali melanjutkan pembicaraan.

"Sumpah deh mbak, gue jadi ngerasa bersalah banget atas hubungan loe sama Rio." Sesal Nadin sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku tersenyum kecut mengingat kejadian malam itu.

"Bukan salah loe." Tukasku sambil menggeleng halus. "Emang sudah harus berakhir aja."

"Loe serius mbak putus sama Rio?"

Putus sama Rio? Aku nyaris tertawa mendengar pernyataan Nadin.

"Kak Rio berubah lagi deh mbak sekarang." Samar-samar aku mengangkat sebelah alisku. Menyimak tapi berusaha agar tidak kentara.

"Dia balik lagi kayak Rio yang dulu. Tertutup. Jarang kumpul. Jarang ngomong. Pulang kerja langsung masuk kamar." Nadin mengenang. "Emang kenapa sih mbak? Ada yang salah sama kalimat gue waktu itu? Gue masih gak ngerti deh." Untuk hari ini, aku benar-benar melihat sisi manja dari Nadin. Karena beberapa kali dia menggunakan nada merengek dalam setiap pertanyaannya. Aku kembali tersenyum.

"Kayak yang gue bilang, loe gak salah. Emang hubungan gue sama Rio aja yang harus berakhir. Dan, gak semua masalah bisa gue jelaskan ke orang, Nad. Jadi... sorry, gue gak bisa cerita." Sesalku. Tapi syukur lah, beberapa detik kemudian, Nadin mengangguk pasrah.

"Iya, gue gak akan nuntut loe cerita kok. Tapi..." dia menggantungkan kalimatnya. Seketika dilepaskannya genggamannya di tanganku dan mulai sibuk merogoh tasnya.

"Loe harus datang ke acara pernikahan gue sama Ridho ya." Nadin menyodorkan sebuah undangan berwarna cream yang terlihat sederhana namun elegan. Ku raih undangan itu dengan mata membelalak tak percaya.

"Udah beres?" Tanyaku penuh semangat. Yang dijawab Nadin dengan agukkan tak kalah semangat.

"Oh My God." Tukasku tanpa sadar. Kemudian kami berdua tertawa penuh haru. Aku nyaris saja mengeluarkan air mata.

"Loe bisa datangkan?" Tanya sekali lagi. Bisa datang? Aku jelas bisa datang. Tapi pertanyaannya, apakah aku sanggup untuk datang? Sementara sudah pasti di sana akan ada Rio.

"Please." Nadin mengatupkan kedua tangannya di depan dada dan memejamkan matanya penuh permohonan. Untuk beberapa saat, kutatap Nadin yang begitu mengharapkan kehadiranku diacara pentingnya. Kuraih kedua tangannya dan menggenggamnya. Dia menatapku penuh harap. Aku tersenyum dan mengangguk. Iya, aku akan datang. Nadin menghembuskan nafas lega dan tertawa dengan sebulir air mata menetea di wajahnya yang segera di hapusnya.

"Gue punya sesuatau buat loe." Tukasnya tiba-tiba. Belum sempat aku bertanya, Nadin sudah memutar tubuhnya dan mengambil sesuatu di bawah kakinya. Diabgkatnya sebuah tas hitam dan diletakkannya di di atas meja. Seketika aku tertegun. Jantung berdetak dua kali lebih kencang. Ku tatap tas hitam itu dan perlahan mengalihkan tatapan ke Nadin untuk meminta penjelasan.

"Loe pakai gaun ini ya. Loe gak akan pernah tahu gimana perjuangan Rio dapatkan gaun ini, mbak."

Sial. Kenapa perasaan aneh itu masih juga bersarang untuk Rio?