To: Emi
From : Leah
Sorry, kami balik duluan gak bilang-bilang. Rio mendadak ada urusan urgent. Jadi kami harus pergi secepatnya. Sorry ya Em.
Ku kirim pesan itu bersamaan dengan kedatangan Rio. Dia menarik kursi di depanku dan meletakan ice cream yang di pesannya di atas meja kami. Ku letakkan ponselku di atas meja dan beralih menarik semangkuk ice cream coklat dari Rio. Ku lahap tanpa bicara apa-apa lagi. Sentuhan tangan Rio di lorong kamar mandi tadi masih berasa di tanganku. Aroma tubuhnya ketika merangkulku masih menempel di tubuhku.
"Jadi, masih belum mau cerita kisruh percintaan loe dengan Andri?"
Aku terdiam sejenak dan melirik Rio sebelum kemudian melanjutkan menyuap ice cream.
"Cerita lama. Gak usah diungkit." Tukasku acuh.
"Kalau cerita lama kenapa masih berefek? Kenapa masih terbawa perasaan?"
Seketika ku angkat wajahku dan menatap Rio jengkel. "Siapa coba yang terbawa perasaan?" Tanyaku tak terima.
"Loe lah. Dipegang tangannya sebentar sama Andri saja sudah matung."
What?
"Sialan." Kupukul lengan Rio spontan. "Udah berapa lama loe di sana?" Rio cengengesan.
"Gak lama setelah Andri permisi ke kamar mandi, gue curiga gitu. Gue ikutin saja dia. Dan ternyata dugaan gue benar." Jelas Rio dengan bangga. Ia kembali menyuapkan ice cream vanila ke mulutnya dengan puas. Sementara aku ingin rasanya memukul kepalanya dengan sendok. Sialan si Rio.
"So." Tukasnya kemudian. "Tell me the truth." Lanjutnya. "Bener kata Andri, kenapa loe bisa maafin Emi tapi gak Andri. Walaupun Emi sudah minta maaf tapi gue rasa gak semudah itu lah untuk memaafkan kesalahan sebesar itu."
Aku melepaskan sendok di tanganku dan memikirkan semua perkataan Rio. Benar kata Rio. Sejujurnya selama bertahun-tahun, aku gak bersungguh-sungguh memaafkan Emi. Ada sebagian sisi hatiku yang masih belum bisa menerima apa yang sudah dilakukan Emi dulu. Mereka terlalu jahat. Terlebih Emi kurasa. Dia sahabatku, dan dia tega melakukan semuanya. Aku rasa memang gak akan semudah itu memaafkannya. Tapi setelah bertahun berlalu, kurasa waktu mengajarkan aju menjadi dewasa hingga akhirnya tanpa sadar aku bisa menyembuhkan lukaku sendiri, berdamai dengan masalahku dan Emi.
"Woi." Rio mengguncang lenganku, menyentakan ku seketika dari lamunanku.
"Ngelamun. Jadi gak nih mau cerita?" Tuntutnya. Kuhembuskan nafas keras. Lagi-lagi aku kalah dengan Rio.
"Gue hutang nyawa sama Emi." Ujarku. Seketika Rio menghentikan gerakkannya menyuap ice cream. Diletakannya kebali sendok itu ke dalam mangkuk ice creamnya. Ditatapnya aku lekat-lekat untuk mencari kebenaran di dalam mataku. Aku mengangguk. Meyakinkan apa yang di dengar Rio.
"Loe ingat cerita ayah gue?" Rio mengangguk.
"Gue pernah ceritakan kalau ayah gue meninggal dalam kondisi sendirian." Rio kembali mengangguk.
"Ayah gue meninggal di penjara." kenangku. Dan selalu saja, semua yang berkaitan dengan ayah seolah menghimpit dadaku. Rasa sesal mungkin akan seumur hidup menghantuiku.
"Dituduh penggelapan uang. Btw, Loe ngerti artinya di tuduh kan Yo? Semua itu gak benar. Tapi gue sebagai anaknya justru memojokkan dia. Gak percaya sama dia. Marah sama dia. Sampai pada akhirnya gue gak pernah jenguk dia sama sekali di penjara. Gue gak tahu kalau saat itu kondisi ayah sedang sakit-sakitan. Sampai akhirnya...." suaraku mulai tercekat. Sekuat tenaga ku tahan air mata meski suara mulai bergetar.
"Yah.. seperti yang loe tahu." Aku gak sanggup kalau harus menyebutkan satu kalimat mengerikan itu. Ku paksakan bibirku tersenyum.
"Sorry Le, gue ikut prihatin." Sesal Rio. Aku tak berekspektasi kalau dia akan menggenggam tanganku seperti ini. Ku tatap tanganku yang selalu saja terlihat kecil di dalam tangan Rio. Aku mengalihkan pandangan menatapnya dan tersenyum.
"Gak apa-apa. Sudah lama Yo." Jawabku. Dia mengangguk dua kali.
"Terus, hubungan ayah loe sama Emi apa?"
"Ayahnya Emi lowyer. Dia yang menangani kasus ayah. Keluarga gue sama keluarga Emi emang dekat banget. Gue bahkan udah temenan sama Emi sejak kecil. Begitu tahu ayah gue meninggal, ayahnya Emi gak terima. Dia tetap memperjuangkan nama baik ayah. Sampai akhirnya semua terungkap. Ayah bukan pelakunya. Pelaku sebenarnya adalah manager di tempat ayah bekerja. Dia dituntut dan di penjarakan. Sayangnya, gak lama dia dinyatakan tidak bersalah." Aku menghembuskan nafas keras. Kutatap Rio yang tengah mendengarkan. Anehnya tanganku berasa nyaman berada di genggamannya. "Ya, loe tahu kan kalau orang berduit yang dapat duitnya dengan cara kotor, isi otaknya juga kotor. Dan semua yang dilakukanĀ pun kotor." Rio mengangguk faham. "Ayah Emi gak terima, Rio. Dia naik bandingĀ untuk memperjuangkan nama baik ayah. Sampai suatu malam, saat ayahnya baru pulang dari kantor..." sejenak aku terdiam. Aku bergidik ngeri ketika mengingatnya. Kuangkat wajahku untuk menatap Rio.
"Ayahnya Emi ditembak. Tepat di kepalanya." Aku melihat ketegangan di wajah Rio. Seketika dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dan aku mendapati diriku kecewa saat Rio melepaskan genggaman kami.
"Serius loe?" Tanyanya.
"Please yo, ini bukan sesuatu yang pantas dibecandain."
"Oke sorry." Sesal Rio. "Jadi karena itu loe mengalah sama Emi?" Tanyanya. Kuhempaskan tubuhku ke sandaran kursi dan kusuap kembali ice cream yang mulai mencair.
"Gue malu sama Emi kalau harus ngejauhin dia cuma gara-gara cowok."
"Please Le, itu bukan alasan. Dan gue rasa apa yang loe paparkan juga gak pantas di sebut alasan. Dan kalau loe memegang itu sebagai alasan untuk terus mengalah sama Emi, dia akan selamanya menjadikan itu sebagai kelemahan loe."
"Apaan sih Yo. Loe gak tahu gimana hubungan gue sama Emi."
"And i think, loe juga gak faham." Putus Rio. "Yang namanya sahabat, gak ada hutang budi. Apa lagi hutang nyawa. Kalau ada itu di antara persahabatan kalian, ya berarti hubungan kalian gak tulus."
Aku menatap mata Rio lekat-lekat. Gak ada yang salah dari apa yang dikatakan Rio. Tapi entah bagaimana, sulit sekali rasanya mengusir hutang budi itu dari hubunganku dan Emi.
"Ya. Gue tahu. Tapi ngelakuinnya gak segampang yang kita pikirin, Yo. Kalau loe ada di posisi gue, bokap sahabat loe meninggal gara-gara bokap loe. Keluarga sahabat loe yang baik-baik aja harmonis aja jadi tiba-tiba berantakan gara-gara loe, at leas, loe akan gak punya muka untuk menghadapi sahabat loe kan? Gue rasain itu di awal-awal. Tapi gue pikir, gue gak boleh jauhin Emi disaat terburuknya. Jadi jalan satu-satunya, gue harus terima kenyataan kalau keluarga kami harus berdampingan dengan hutang budi."
Rio menghempaskan tubuhnya.
"You know, Le. Ditatapnya mataku lekat-lakat sebelum kemudian ditegakkannya kembali punggungnya dan digenggamnya lagi tanganku. Kali ini lebih erat. "gue berharap, kalau bukan gue, suatu saat loe akan mendapat laki-laki yang tepat."
Aku tersenyum mendengar harapan tulus dari mulut Rio.
"Emm sorry, maksudnya apa ya kalau bukan gue?" Tanyaku pada kalimat aneh yang tersisip di antara harapan Rio. Dia melepaskan tangannya dan kembali bersandar pada kursi. "Ya, loe tahu kan, gue adalah salah satu cowok baik-baik di dunia ini." Aku terbahak mendengar pujian Rio pada dirinya sendiri. "Jadi, kalau bukan gue, gue harap loe bisa dapat salah satu yang lainnya."
"Oke." Ujarku disisa tawaku. "Gue mengaminkan setulus hati dan berterimakasih sepenuh hati." Ujarku seraya menunduk penuh rasa terimakasih. Kudengar suara tawa Rio yang renyah.
"Sudah malam nih. Balik yuk. Ice creamnya bawa saja makan di mobil."
Aku meraih handbag ku dan membawa ice creamku sesuai instruksi Rio. Malam itu, aku pulang dengan perasaan jauh lebih lega setelah bertahun-tahun belakangan ini. Thank you Rio.