Chereads / A Hello With No Goodbye / Chapter 6 - Rio's Family

Chapter 6 - Rio's Family

Tok..tok..tok..

Aku membuka pintu kamar mandi yang diketuk dari luar.

"Kenapa?" Tanyaku pada Mitha yang kini berdiri di depan pintu kamar mandi. Aku melongokkan kepalaku dari balik pintu.

"Dicariin sama Rio."

"Hah?" Astaga ngapain sih itu anak pakai acara datang ke lantai gue? Ini dia mau melanggar peraturan atau gimana?

"Eng..iya udah suruh tunggu aja bentar." Pintaku pada Mitha.

"Ciee ada apa nih?"

"Ish apaan sih loe? Gak ada apa-apa. Jangan ngayal deh." Kututup pintu kamar mandi buru-buru sebelum Mitha mencium aroma mencurigakan.

"Kenapa?" Tanyaku pada Rio yang tengah bersandar di samping pintu ruang kerjaku dengan kedua tangannya terlipat di dada. Wajahnya terlihat serius. "Kenapa sih? Loe kenapa gak kontak gue aja kalau mau ketemu. Jangan lewat sini. Nanti kalau orang-orang curiga gimana?" Cecarku sedikit kesal. Rio menurunkan tangannya dan berdiri tegak.

"Loe sadar gak sih, loe belum kasih gue kontak loe."

Aku berfikir sejenak.

"Oh iya ya." Gumamku lebih pada diriku sendiri. Kemudian, tiba-tiba saja Rio menarik ponsel di tanganku dan melakukan sesuatu di sana.

"Nomor gue." Tukasnya sambil menunjukkan deretan angka yang sudah disimpannya di ponselku dan di beri nama Rio Wicaksono. Penting banget gak sih pakai nama lengkap?

"Biar loe gak salah telphone orang yang namanya Rio, jadi nama gue gue tulis lengkap." Aku mendengus tersenyum geli. Dasar Rio gendeng. Sepertinya dia bisa baca pikiranku. Aku mengambil ponselku kembali.

"Nomor loe udah gue simpan." Katanya sambil menunjukkan ponselnya.

"Abis sholat magrib gue jemput. Kita makan malam sama keluarga gue."

"What?"

***

Waktu sudah menujukkan pukul setengah 7 malam. Magrib sudah lewat 10 menit lalu. Tapi aku masih merebahkan diri di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarku yang putih. Rasa-rasanya perintah Rio tadi siang masih menggema di telingaku. Tapi tubuhku enggan sekali bergerak. Apa yang sudah aku dan Rio lakukan? Malam ini akan menjadi malam yang akan membuatku menjadi orang paling jahat. Aku harus berpura-pura menjadi kekasih Rio di hadapan orang tuanya. Ya Tuhan, maafin aku. Aku gak maksud apa-apa selain menolong Rio dan adiknya. Dengan berat ahti aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Usai melakukan kewajiban, aku mengganti pakaianku dan berdandan sewajarnya. Kuikat rambutku tinggi seperti biasa. Aku mengenakan celana jins 1/8 dengan bluse berwarna kuning dengan sedikit renda putih di bagian dadanya. Ku kenakan sepatu teplek hitam andalanku. Tepat pada saat aku mengancingkan sepatuku di antara pergelangan kakiku, pintu kamarku diketuk dan dibuka. Kuangkat wajahku sekilas untuk melihat siapa yang datang meski pun aku sudah bisa menduganya.

"Bu." Sapaku sambil mengancingkan sepatuku untuk terakhir kali sebelum kemudian kutegakkan tubuhku dan menatap ibu yang menatapku.

"Kenapa bu?" Tanyaku bingung karena ibu tak kunjung bicara.

"Gitu ya. Ada yang baru gak cerita-cerita ke ibu."

"Ha? Maksudnya apa bu?"

"Itu cowok ganteng di depan."

Rio? Rio sudah datang?

"Rio sudah datang bu?"tanyaku tanpa sadar menyuarakan isi hatiku. Aku sudah hendak meninggalkan ibu ketika ibu mencengkram lenganku lembut dan mencegah langkahku.

"Siapa?"

Aku menggaruk kepalaku yang gak gatal. Bingung harus menjelaskan apa.

"Em.. gini deh bu. Nanti pulangnya aku ceritain sama ibu ya. Sekarang aku pamit dulu ya. Takut telat bu. Oh iya, maaf aku gak bisa nemenin makan malam." Kucium tangan ibu bolak balik dan bergegas pergi dari kamar menghampiri Rio.

"Yuk Yo." Ajakku. Rio yang tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya seketika mendongak menatapku.

"Eh, udah?" Tanyanya.

"Udah." Jawabku. Dia memasukan handphonenya ke saku dan beranjak berdiri.

"Ibu?" Tanyanya. Tepat pada saat itu ibu datang menghampiri kami.

"Jangan sampai malam-malam ya." Titah ibu. Saat itu Rio segera bergerak menghampiri ibu dan mencium tangannya bolak-balik. Aku agak tercengang melihat caranya mencium tangan orang tua yang sama denganku.

"Janji bu pulang sebelum jam 11. Maaf ya bu, anak gadisnya saya pinjam dulu."

Ibu tersenyum dan mengangguk pasrah. Setelah itu kami meninggalkan ibu. Mobil yang kami naiki meninggalkan rumahku.

***

"Yo," kucegah tangan Rio membuka pintu mobil. Saat ini kami sudah tiba di sebuah rumah minimalis dengan pagar rendah. Rio menghentikan gerakan tangannya dan menatapku bingung.

"Kenapa Le?" Tanyanya kemudian membenarkan posisi duduknya menjadi benar-benar menghadapku.

"Kok gue deg degan ya?"

Seketika tawa Rio menyembur keluar.

"Le, loe kan gak lagi ketemu calon mertua. Jadi santai saja."

"Ya tetap saja Yo intinya gue akan ketemu orang tua loe. Eh menurut loe penampilan gue gimana? Terlalu santai gak sih? Apa kesannya terlalu gak menghargai undangan orang tua loe ya? Harusnya gue pakai gaun kan? Terus tadi gue juga make upnya tipis banget. Ketipisan kan?" Aku merepel meminta Rio mengomentari penampilanku yang tiba-tiba saja membuatku tak PeDe. Rio yang sejak tadi hanya menatapku mendengarkan repetanku, tiba-tiba saja mengulurkan tangannya ke atas kepalaku dan menarik ikat rambutku. Membuat rambutku tergerai. Aku terkejut, namun gak bisa berbuat apa-apa. Terlebih saat Rio merapikan rambutku. Membawa beberapa bagiannya ke depan bahuku dan sisanya diselipkan ke belakang telingaku. Kemudian ditatapnya aku kembali untuk beberapa saat sebelum kemudian dikedipkannya sebelah matanya.

"Perfect." Gumamnya sambil lalu. " udah yuk." Dibukanya seat belt yang membelenggu tubuhku. "Turun. Udah ditungguin dari tadi." Aku memecahkan lamunanku sendiri.

"Assalamualaikum." Rio memimpin jalan di depanku. Sementara aku berjalan takut-takut di belakangnya. Sambil mencengkram erat tali tasku, ku tatap sekeliling rumah Rio. Rumahnya sederhana. Tatanannya pun benar-benar minimalis. Gak terlalu banyak perabot di sini. Saat masuk ke dalam ruang tamunya, hanya ada sebuah sofa dengan meja di tengahnya. Kemudian ada sebuah bufet dengan beberapa foto di sana. Aku tertarik dan tanpa sadar menghampiri deretan foto itu. Ada Rio di sana. Foto saat dia kecil sedang bermain dengan seseorang. Mungkin itu adiknya. Kemudian ada fotonya saat SD dengan pakaian adat. Dia terlihat lucu di sana. Kemudian ada fotonya saat SMP mengguakan pakaian basket dan membawa sebuah  piala besar. Rio tersenyum bahagia di sana. Membuat aku tanpa sadar ikut tersenyum. Foto perkembangan Rio berhenti di sana. Selanjutnya adalah foto keluarga dan beberapa foto anggota keluarga lainnya. Aku baru tahu kalau Rio ternyata 4 bersaudara. Dua orang laki-laki dengan Rio. Dan dua orang perempuan.

"Gue ganteng ya waktu kecil?" Tanya Rio yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Aku mendengus melihat tingkahnya yang tengil.

"Yaa not bad lah." Aku ku.

"Iya dong. Gedenya aja cakep gini." Ia bertambah PeDe. Aku memutar bola mataku malas mendengar ocehannya. Tapi Rio malah tertawa.

"Yuk ke atas. Kayaknya orang rumah lagi pada di atas makanya gak dengar kita datang." Aku mengangguk patuh dan mengikuti Rio dari belakang. Dia melepaskan jaket jisnya dan meletakkannya sembarangan di sofa. Kemudian kami menaiki anak tangga dan benar kata Rio, baru di anak tangga ke 5 saja sudah terdengar suara ramai-ramai. Dan begitu sampai di puncak anak tangga, aku melihat pemandangan keluarga besar yang tengah sibuk menata makan malam. Aku tersenyum tanpa sadar. Seru sekali melihat mereka. Seorang perempuan paruh baya cantik sedang menata meja makan. Sementara seorang laki-laki yang berumur tak jauh dari perempuan tadi sudah duduk siap dengan makanan di depannya. Seorang perempuan dan laki-laki sibuk membantu mengambilkan beberapa makanan yang sudah selesai dimasak.

"Assalamualaikum." Rio membuyarkan lamunanku. Seketika seluruh mata terarah padaku. Aku tersenyum canggung. Tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Akhirnya aku mengikuti Rio memberi salam.

"Assalamualaikum." Baru lah seluruh lamunan buyar di sana.

"Waalaikumsalam." Ujar mereka semua serempak. Perempuan paruh baya tadi menghampiriku dan memberikan pelukan hangat. Mencium kedua pipi ku.

" ya Ampun cantik." Ujarnya sambil mencubit pipiku pelan. Aku hanya tersenyum. Lantas kuraih tangannya dan kucium. "Makasih tante." Ujarku. "Maaf gak bawa apa-apa." Tambahku berbasa-basi.

"Eeh gak apa-apa. Kamu diundang. Gak boleh bawa makanan."

Aku tersenyum dan menurut ketika ibu Rio merangkul punggungku dan mengajak ku ke meja makan.

"Oh ini si Leah yang loe bangga-banggain itu bang."

Tutur seorang laki-lai yang sepertinya usianya gak beda jauh dengan Rio.

"Iya dong. Sesuai ekspektasikan."ucap Rio santai sambil menarik kursi di samping bapaknya. Sementara aku gak lupa mencium tangan bapaknya.

"Duduk-duduk sini. Yo, kamu gimana sih ceweknya gak ditarikin kursi. Gak gantle sekali." Tegurnya. Aku tersenyum Rio cengengesan dan segera bangkit.

"Gak apa-apa pak. Bisa sendiri kok." Jawabku gak enak hati.

"Gak apa-apa. Perempuan itu sudah sepantasnya diladenin. Bukan cuma laki-laki aja. Itu lah rahasia awet rumah tangga kami. Ya gak bu?" Tanyanya pada ibu Rio yang masih berdiri di sampingku.

"Betul." Jawabnya setuju. Aku tersenyum. Rio menarikkan kursi di sampingnya dan mempersilakanku duduk.

"Thank you." Gumamku hanya dengan isyarat bibir. Sementara Rio hanya menghentikkan bahunya acuh. Ia duduk kembali di sampingku bersamaan dengan  beberapa saudaranya yang juga mulai mengambil posisi. Aku diapit antara Rio dan ibunya. Di depanku saudara perempuan dan laki-lakinya.

"Oke sebelum makan, Rio mau memperkenalkan seseorang dulu ya." Ujar Rio membuatku mengalihkan pandangan padanga. Dia menatapku, kemudian menggenggam tanganku. Aku sedikit terkejut dengan sentuhan tiba-tiba dari Rio. Kalau saja aku tidak ingat permintaan Rio untuk pura-pura bahagia di depan keluarganya, mungkin dia sudah aku tampar saat ini juga. Menyadari keteganganku, Rio mempererat genggamannya memberi tatapan mengode dengan senyum pura-pura bahagianya.

"Duuh kayak mau nyebrang aja pakai pegangan tangan." Ledek saudara perempuannya membuat kami semua mengalihkan perhatian.

"Hus. Gak boleh gitu Nan." Protes ibu Rio.

"Tau nih anak kecil. Sirik aja loe." Tambah Rio.

"Biarin week." Dia memeletkan lidahnya. Membuatnya tambah menggemaskan. Aku tersenyum melihat tingkah dua kakak beradik ini.

"Sudah heh. Ayo Rio dimulai acara perkenalannya."

Sebelum mulai bicara, Rio memeletkan lidahnya membalas saudaranya.

"Oke semua, kenalin orang yang paling kalian tunggu-tunggu keberadaannya di rumah ini sejak lama.

"Leah Medina. Kita baru mulai hubungan sih jadi masih masa perkenalan juga. Leah ini CS di kantor aku. Tapi kami beda divisi. Ketemu ya..di kantor." Rio kembali menatapku menebar senyum mau tak mau aku harus membalas senyumnya. Pura-pura bahagia Le. Aku mengingatkan diri sendiri.

"So Leah, selamat datang di keluarga aku. Kenalin yang di samping kamu, mama aku. Ini bapak aku. Yang nyebelin di depan kamu ini namanya Nanda dia adik aku dan di sampingnya yang ngebet kawin itu, Ridho." Ridho dan Nanda mengangkat tangannya menyapaku dengan seulas senyuman. Aku menyapa mereka dengan tulus.

"Oke selamat datang buat Leah. Ibu sama bapak doain supaya  kalian bisa bahahagia. Langgeng terus sampai pernikahan." Ucap bapak Rio penuh harap. Aku hanya bisa tersenyum kecut.

"Aduh pak, ngomongnya jangan langsung ke pernikahan gitu dong. Kan Leah jadi canggung." Ujar ibu.

"Ya gak apa-apa kan kalau omongannya baik."

"Ya udah ya udah sekarang kita makan dulu ya. Aku janji sama ibunya Lea gak lebih dari jam 11 mulangin anaknya." Rio menengahi.

"Ya udah yuk yuk."

Kami mulai sibuk mempersiapkan makan malam. Mengoper-oper piring. Membagi-barikan nasi dan mulai makan. Selamat makan. Sepertinya aku menyukai keluarga ini.