Chereads / A Hello With No Goodbye / Chapter 4 - Alur Cerita

Chapter 4 - Alur Cerita

Satu minggu setelah penandatanganan kontrak, Rio benar-benar menepati janjinya. Emi mulai bekerja di kantor kami di bagian marketing. Hari ini, dia baru saja selesai interview dan diminta mulai bekerja besok pagi.

"Selamat ya em.. ciee yang akhirnya gak nganggur lagi." Ujarku saat mengantar Emi ke lobi depan divisi marketing. Emi tersenyun sumeringah. Seketika ia menghentikan langkahnya dan merentangkan tangannya lebar-lebar minta dipeluk. Kupicingkan mataku sejenak menggodanya sebelum akhirnya berhambur juga ke dalam pelukannya. Kami berpelukan erat sekali.

"Thanks ya Le, ini semua berkat loe." Ujarnya penuh haru. Aku hanya mengangguk ikut terharu. Lalu tiba-tiba kami mendengar suara seseorang berdehem yang membuat kami melepaskan pelukan. Aku menoleh ke belakang tubuhku dan menemukan Rio tengah berdiri di sana dengan kedua tangan disisipkan ke saku belakang celananya.

"Hai." Sapanya pada Emi dengan ramah. Emi tersenyum canggung kemudian menatapku meminta penjelasan.

"Kenalin Em, ini Rio. Berkat dia juga sih loe bisa masuk di sini. Gue minta bantuan dia." Seketika emi membungkam mulutnya yang menganga terkejut.

"OMG. Makasi banget yaa makasii banget." Ujar Emi penuh rasa sukur sembari menarik tangan Rio dan menjabatnya. Rio melirikku sekilas dan terlihat salah tingkah.

"Ee.eeh iya, iya gak apa-apa santai saja." Jawabnya.

"Loe temennya Leah disini? Leah bilang gak kenal orang marketing. Loe bohong loe sama gue." Protes Emi sambil mendorong tubuhku sekilas dengan bahunya. Membuatku terhuyung beberapa langkah dan menabrak tubuh Rio.

"Eeh sorry-sorry. Lemes banget sih loe."

Sialan si emi. Baru saja aku hendak menjauh dari Rio, saat itu kurasakan pergerakan tangan Rio menggenggam tanganku. Spontan kuangkat wajahku dan menatapnya tak mengerti. Rio menatapku sekilas sambil tersenyum sebelum kemudian menatap emi kembali.

"Gue bukan temennya." Mati aku. Ku beri Rio tatapan tajam untuk mengkodenya agar menutup mulut. Tapi sayangnya Rio tak menatapku. Justru Emi yang menatap kami penuh tanya.

"Gue pacarnya." Ujarnya.

"What?" Seketika emi tercengang. Oh damn. Apa-apaan sih Rio pakai acara ngomong ke Emi segala.

"Emm, em...

"Curaang loe Leaaaah. Loe pacaran kok gak bilang-bilang? Loe masih kesel sama gue masalah Andri? Loe masih takut kan kejadian Andri terulang lagi. Ngaku loe. Aaah loe kok gitu sih?"

Oh shit. Triple shit. Ini apa-apan sih? Kenapa dua orang ini berkonspirasi membuka aibku?

"Andri? Siapa Andri?" Tanya Rio. Emi meliriknya takut-takut sementara aku meliriknya dengan kesal. Ku hempaskan tanganku dari genggaman Rio yang membuatnya seketika menatapku.

"Gak penting." Jawabku menjawab pertanyaan Rio. "Aduh em, udah deh jangan bahas dia. Ini tuh gak ada hubungannya sama Andri. Nanti deh gue ceritain sama loe di rumah."

"Awas loe ya. Pokoknya loe hutang penjelasan sama gue." Ancamnya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

***

Siangnya, di jam istirahat, ku seret Rio ke tempat parkir untuk merutuki perbuatannya.

"Lho kenapa emangnya? Dia kan sahabat loe. Gak mungkin kan loe mau nutupin semuanya dari dia."

"Ya justru gue gak mungkin cerita kebenarannya di depan Emi, Rioo. Loe gimana sih? Kan loe udah tanda tangan kontrak untuk gak bocorin masalah ini ke public." Aku mencak-mencak tanpa sadar.

"Duh sorry deh. Gue pikir loe sama Emi itu sahabat jadi semacam gak ada rahasia gitu."

"Ck. Gak usah naif deh Yo. Setiap orang itu gak mungkin gak punya rahasia sama orang lain. Sedekat apa pun hubungan itu."

Rio terdengar menghembuskan nafasnya dengan keras.

"Jadi, Andri siapa?"

Ku lirik dia yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Rahasia." Kecamku. "Udah deh. Andri gak penting. Sekarang yang urgent itu gue harus karang cerita tentang pertemuan kita supaya Emi percaya."

"Duh, sorry deh Le. Sorry banget. Gue gak maksud tadi sumpah." Rio mengangkat jari tengah dan telunjuknya. Ya, mau gimana lagi. Semua sudah terlanjur. Aku mengangguk memaafkan Rio.

"Gue bantu karang cerita ya. Tapi kita sambil makan siang. Lapar gue. Yuk." Rio berjalan mendahuluiku.

***

Oke, than, di sini lah kami. Di tempat pertama kali gue mengajak Rio bertemu. Di tempat Rio mengajukan proposal untuk menjadi pacar pura-puraku. Ya mau bagaimana lagi. Memang tempat ini yang paling dekat jaraknya dengan kantor kami. Rio menyantap nasi goreng seafood di depannya dengan lahap. Sementara aku sibuk mengarang cerita di kepalaku.

"Sambil makan Le." Ujar Rio membuyarkan lamunanku. Ku angkat wajahku dan menatap Rio yang tengah menatapku.

"Nasi loe keburu dingin tuh." Tambahnya mengingatkan.

"Menurut loe, pertemuan pertama kita enaknya kayak gimana ya Yo?" Tanyaku mengabaikan perkataan Rio. Dia masih menatapku untuk beberapa detik sebelum kemudian kembali beralih ke makanannya.

"Bilang aja kita ketemu di lift." celetuknya. "Kok di lift sih? Gak ada yang lebih romantis gitu?" Protesku. Seketika Rio melepaskan sendoknya dan kembali menatapku.

"Emang butuh tempat khusus untuk jatuh cinta? Jatuh cinta gak kenal tempat Le. Om gue jatuh cinta sama tante gue gara-gara gak sengaja liat tante gue ketiduran di bus. Semua itu sah-sah aja dan romantis-romantis aja kalau loe jatuh cin... sorry, gue lupa loe gak pernah jatuh cinta."

"Enak aja. Loe pikir hati gue batu gak pernah jatuh cinta. Gue gak pernah pacaran bukan berartk gak pernah jatuh cinta ya." Protesku. Rio hanya mengangguk. "Jadi.. kita ketemu di lift nih?" Tanyaku dan Rio mengangguk setuju. "Terus?"

"Saat itu, kita sama-sama anak baru yang lagi mau interview kerja." Rio mulai mendongeng dan aku mendengarkan dengan hati-hati.

"Kita gak sempat ngobrol karena sama-sama deg-degan mau interview. Sampai tiba-tiba, lift berhenti mendadak. Kita saling tatap dan mulai panik. Loe mencoba menggedor-gedor pintu, sementara gue mencoba menekan-nekan tombol lift. Kita yang lelah nyoba mencari jalan keluar, akhirnya pasrah. Kita mencoba membunuh waktu dengan ngobrol di dalam lift. Sampai pada akhirnya lift berhasil di buka dan kita berhasil keluar. Sejak saat itu, tanpa loe sadari, gue jatuh cinta sama Leah. Tapi sayangnya sejak saat itu kita gak ada komunikasi apa pun lagi karena sibuk masing-masing. Sampai pada suatu hari, kita ketemu lagi. Di acara pernikahan teman kita. Di sana, gue memberanikan diri nyamperin loe, ngobrol sama loe, kenalan sama loe sampai minta kontak loe. Dan sejak hari itu kita saling berhubungan dan gue nembak loe. Selesai." Aku terperangah. Tak menyangka Rio bisa mengarang cerita semulus itu. Ku beri ia standing applause sementara ia hanya senyum malu-malu. Aku kembali duduk masih menatapnya dengan takjub.

"Gila. Gue nggak nyangka loe sudah atur semua semulus itu."

"sudah ya. Sekarang loe abisin makanan loe sebelum kita mulai kerja." Rio menegak minumnya kemudian melirik jam di pergelangan tangannya. "Gue ada janji sama orang. " ujarnya. Aku menatapnya bertanya. "Sorry gak bisa nemenin sampai selesai. Yang penting tugas gue sudah selesaikan." Rio tersenyum dan beranjak dari kursinya.

"Gue pergi dulu ya. Abisin makanan loe. Mahal tuh." Keluhnya kemudian benar-benar meninggalkanku makan sendiri. Ku hembuskan nafas keras.

Semoga saja Emi percaya dengan karangan Rio yang akan aku kisahkan nanti