Malam ini, aku harus melunasi hutangku pada Emi. Secepat mungkin, sepulang aku kerja Emi datang ke rumah dan langsung masuk ke kamarku. Ku tarik nafasku dalam-dalam, berharap apa yang dikatakan Rio dapat diterima Emi. Dan aku mulai bercerita.
"Ya Ampuuun so sweet banget sih kalian."
Aku melongo. Respon yang aku sampaikan ke Rio berbanding terbalik dengan respon yang kudapat dari Emi. Romantisnya dari mana?
"Apanya yang so sweet?" Aku menyuarakan isi hatiku tanpa sengaja. Emi yang sejak tadi duduk di daun jendelaku, beranjak dan menjatuhkan diri di tempat tidurku.
"Aduh Leah, jadi orang jangan kaku-kaku banget kenap sih." Tuturnya sambil mencoel pipiku.
"Itu romantis banget kali, Le. Kalian berdua kejebak di lift. Terus sejak saat itu Rio menyimpan perasaan sama loe. Terus dia baru berani deketin loe setelah berbulan-bulan kemudian. Itu artinya si Rio beneran cinta kan sama loe. Kalau gak, atau tujuannya cuma main-main doang, dia pasti sudah deketin loe dari dulu. Nempel-nempel sama loe. Goda godain loe. Ya gak?"
Aku mengangguk patuh. Bukan patuh sebenarnya, aku mengangguk hanya agar permasalahan ini cepat selesai.
"Terus menurut loe si Rio itu gimana?"
Aku berfikir sejenak. Memang sudah satu minggu sejak tanda tangan kontrak. Tapi gak ada yang berubah antara aku dan Rio. Kami masih masing-masing. Kami gak pernah jalan bareng dan Rio gak pernah mengantar jemputku. Bahkan Rio benar-benar memainkan perannya untuk berpura-pura tidak ada apa-apa di antara kami, di kantor. Jadi, kalau ditanya Rio bagaimana, jujur saja aku gak tahu.
"Dia baik, orangnya juga penurut. Maksudnya penurut dalam artian ya kalau apa yang gue bilang itu baik menurut dia, dia gak akan protes. Dia akan ikutin. Tapi kalau menurut dia kurang bagus ya dia akan ngasi pengarahan buat gue. Dia juga gantle sih. Dan dia juga pinter."
Emi bertepuk tangan. "Ini untuk pertama kalinya gue dengar loe puji cowok. Dulu Andri mana pernah loe puji-puji di depan gue"
Shit. Tanpa pernah Emi sadari, setiap kali dia menyebut nama Andri, hatiku langsung mencelus ke bawah. Aku gak tahu kenapa. Bertahun-tahun sejak tragedi Andri, rasanya masih saja kayak baru kemarin sore. Aku enggan menanggapi pernyataan Emi. Jadi aku hanya memberinya senyum sekilas.
"Oke. Hutang gue sudah lunas. Jadi silakan kembali ke markas pribadi anda karena gue sudah ngantuk."
Aku mendorong tubuh Emi keluar kamar. Tak peduli pada protes yg dilakakunnya dan kalimat-kalimat gak jelas yang dilontarkan. Setelah ku tutup pintunya, baru lah aku dapat mendengar pernyataan Emi.
"Pokoknya kita harus double date suatu hari." Setelah itu suara langkah kaki Emi menjauh dari pintu kamarku.
Double date? Dengan Emi dan Andri? Mendengar nama Andri saja jantungku masih berdebar. Mau double date dengan mereka? Aku gak yakin aku sanggup.
Oke, aku pikir aku perlu menceritakan sedikit tentang Andri. Sedikit saja. Ingat laki-laki beruntung baik hati tapi iblis yang aku ceritakan di Awal? Dia Andri. Laki-laki yang pernah aku "peluk" secara gak langsung. Satu hari aku perkenalkan Andri ke Emi. Tanpa pernah aku sadari di sana lah awal petakanya. Emi jatuh cinta pada Andri. Entah bagaimana caranya, mereka saling tukar kontak. Saling komunikasi, janji bertemu. Sampai akhirnya, suatu malam, Andri mengirimiku sebuah pesan singkat yang mengatakan kalau dia mau udahan sama aku. Kalau dia gak mau menyakitiku lebih jauh. Itu saja. Tanpa penjelasan apa pun. Aku kejar dia untuk meminta penjelasan. Tapi malam itu pesan kami berakhir sampai di sana. Sampai dia mengatakan gak mau menyakitiku. Kurang menyakitkan apa lagi yang dia lakukan. Aku curhat ke Emi besoknya. Tanpa menyadari ada sesuatu yang aneh dari ekspresi Emi. Dia lebih banyak menunduk dari pada mengumpat seperti yang biasa dia lakukan kalau kesal. Gak lama kemudian Emi menangis. Tubuhnya berguncang. Aku fikir dia terlalu merasakan sakitnya yang ku rasakan. Tapi setelah dia berhambur ke dalam pelukanku, aku merasa ada yang salah. Ku peluk Emi meski gak tahu apa yang membuat dia menangis.
"Maafin gue, Le." Gumamnya di sela tangisnya. "Gue minta maaf. Gue jahat, Le." Mendengar pernyataan Emi, seketika ku lepaskan pelukkannya. Ku tatap dia yang masih menangis menunduk.
"Apa Em?" Tanyaku. Emi masih sesenggukkan. "Jelasin sama gue kenapa loe nangis kayak gini?" Tanyaku lagi. Aku hanya ingin mendengar semuanya dari Emi. Aku mau berharap apa yang ada di dalam kepalaku salah semua. Perlahan Emi mengangkat wajahnya yang sembab dan basah.
"Gue sayang Andri, Le." Seketika aku beranjak dari tempat tidur Emi.
"Le sorry gue gak maksud nyakitin loe. Gue juga tersiksa sama perasaan gue ini Le. Please percaya sama gue, gue gak bisa kontrol hati gue Le. Gue minta....
Kutinggalkan Emi tanpa peduli lagi pada penjelasan apa pun yang dia katakan. Emi tak berniat mengejarku. Aku tahu, saat itu Emi bukannya gak mau memperbaiki hubungan kami. Dia hanya tahu kalau aku butuh waktu. Kami butuh waktu.
Dan aku gak nyangka ternyata waktu yang kubutuhkan cukup lama. Berkali-kali Emi berusaha menghubungiku gak pernah aku gubris. Dia mencoba bertemu denganku tapi aku selalu menghindar. Sampai senuah "tamparan" dari ibuku menyadarkan aku kalau apa yang kulakukan ke Emi amat sangat salah. Ya mau bagaimana lagi, disini lah hukum hutang budi berperan.
"Kamu kenapa sama Emi?" Tanya ibu suatu malam. Saat itu ibu menghampiri aku yang tengah menikmati malam di branda belakang rumah.
"Berantem biasa bu." Jawabku seadanya.
"Biasa kok sampai berbulan-bulan. Ada apa sih?"
Ku ceritakan semuanya ke ibu malam itu. Karena aku pikir aku gak akan sanggup menahan semuanya sendiri.
"Ibu gak menyalahkan perlakuan kamu seperti ini ke Emi. Tapi ibu juga gak bisa menyalahkan Emi. Dia benar. Hati gak bisa diajak kompromi. Kita gak pernah tahu sama siapa kita akan jatuh cinta. Sama halnya kita gak pernah bisa mencegah kebencian kita ke orang lain."
"Maksud ibu, kalau suatu saat suami aku direbut perempuan lain, gak ada yang salah dalam hal itu?"
"Jodoh itu ada batas waktunya, Le. Kamu pikir kematian bukan berarti ada yang merebut jodohmu? Kematian itu berarti jodohmu diambil Tuhan."
"Ya lebih baik diambil Tuhan dari pada diambil orang."
"Berarti kamu seneng ayah gak ada?"
Aku membisu. Bukan itu maksudku. Sampai datik ini pun aku masih sangat merasa menyesal. Masih sangat merindukan ayah. Tiba-tiba ibu memeluk tubuhku.
"Ibu bukannya mau membela Emi. Tapi apa cuma gara-gara laki-laki persahabatan kalian harus rusak? Gak apa-apa kan mengikhlaskan laki-laki yang belum jadi jodohmu ke Emi yang sudah mengikhlaskan ayahnya untuk kita?"
Seketika air mataku mengalir. Sakit sekali dada ini ketika mendengar ibu mengatakan kalimat itu. Tapi mau gak mau, suka gak suka, aku harus mengakui bahwa apa yang dibilang ibu itu emang benar. Bahwa aku berhutang satu nyawa laki-laki pada Emi. Lalu, ketika aku harus merelakan satu orang laki-laki yang kata ibu belum menjadi jodohku, apa layak aku berlaku seperti ini.
Sejak saat itu, aku berusaha bersikap dewasa. Meski sakit sekali rasanya, aku ikhlaskan saja Andri yang bukan apa-apaku itu menjadi milik Emi.
***