Samar-samar aku mendengar seorang pria berbincang di ruang tamu. Aku mulai membuka mata, melihat jam sudah pukul setengah 6 pagi. Awalnya aku terhenyak dan langsung duduk dari kasur. Siapa yang datang ke sini sepagi ini.
Aku mulai beranjak dan memakai kerudung. Membuka pintu dan mendapati lampu ruang tamu menyala. Aku juga melihat ada paman di sana.
"Reine? Kamu sudah bangun? Pas sekali, ini ada Alif." Kata paman tersenyum lalu menuju ke dapur.
Aku terheran sambil melangkah ke ruang tamu. Dan benar, Alif sudah ada di sana.
"Alif? Kamu sudah pulang? Bukankah mau pergi beberapa hari?"
Dia tersenyum lalu berdiri. "Aku sudah pulang."
"Lalu kamu mau ke mana?" Aku melihatnya berpakaian rapi di pagi buta ini.
"Aku mau pergi." Katanya singkat.
"Kalau begitu aku ikut."
"Iya. Maka dari itu aku ke sini. Mau mengajakmu."
"Benarkah?" Aku merasa tak percaya.
"Iya. Mari." Sahutnya lagi sambil menuju pintu keluar.
"Eh sebentar." Kataku mencegahnya, "aku belum bersiap. Memangnya kamu mau ke mana?"
"Tak usah bersiap-siap. Aku hanya mengajakmu ke depan saja."
"Tapi, aku pakai baju seperti ini." Tunjukku pada baju tidur bergambar keroppi yang sedang aku kenakan.
"Itu tak masalah. Ayo." Katanya lagi sambil memakai sepatu. "Aku sudah meminta izin sama paman."
"Baiklah." Aku mengikutinya.
Udara pagi ini begitu dingin. Untung saja sebelum pergi tadi aku memakai jaket. Ketika sudah memakai jaket pun, dinginnya masih menusuk ke dalam kulit.
Jalanan Bogor tentunya masih sedikit lenggang untuk hari ini. Alif berjalan lebih depan dariku dengan tempo langkah sedikit cepat. Aku tak tahu dia akan membawaku ke mana. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya dari belakang.
"Kita akan ke mana?" Tanyaku.
Lalu Alif menghentikan langkahnya. Dia duduk di kursi taman yang kosong. "Ke sini." Jawabnya. "Kamu duduk di kursi taman yang itu ya," dia menunjuk satu kursi taman yang hanya berjarak satu meter dari kursi taman yang ia duduki.
Aku mengangguk lalu mengikuti katanya.
"Ada apa Alif? Tumben sekali kamu sudah rapi sepagi ini." Sindirku.
Dia tersenyum. "Aku mau bilang sesuatu padamu."
"Oh ya? Tentang?"
"Tentang aku." Jawabnya cepat.
"Memangnya ada apa denganmu?"
"Aku ingin bercerita tentang hal yang belum kamu tahu, dan hal yang memang sudah aku tutupi darimu sejak dulu."
Aku mengerutkan alis. "Hal apa itu?"
"Jadi seperti ini," dia kemudian merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah foto.
"Kamu masih ingat saat di Bandung kamu pernah melihat foto ini di album?"
Aku memicingkan mata. "Oh foto ini. Ya aku mengingatnya. Dulu saat kamu tahu aku sedang melihatnya, kamu langsung merebut album itu dariku."
"Untuk soalan itu, aku minta maaf ya. Soalnya aku kaget melihatmu membuka album itu." Katanya tersenyum simpul.
"Iya tak apa. Memangnya ada apa?"
"Ini foto masa kecilku."
"Oh ya?"
Dia mengangguk. "Iya. Ini aku," dia menunjuk satu gambar bayi di sebelah kanan. "Dan ini," tiba-tiba angin menerpa kami hingga foto yang dia pegang terbang ke pinggir jalan.
"Aduh. Kenapa bisa terbang lagi." Gerutunya sambil mengejar foto itu yang masih terbawa angin.
Sedangkan aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahnya seperti itu.
Angin masih membawa foto itu hingga ke tengah jalan. Aku mulai khawatir dan berdiri melihat Alif yang terus berusaha mengambil foto itu tanpa melihat kanan kiri.
"Awas Alif. Hati-hati." Kataku sedikit berteriak.
"Iya Reine. Aku akan menangkapnya. Ini susah sekali." Jawabnya.
Sementara itu aku mengikutinya dan membantunya mengambil foto itu.
"Kamu tak usah ke mari. Duduk saja di sana." Titahnya.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, aku akan membantumu. Berlari mengejar foto ini rasanya seru."
Foto itu masih terbang, aku masih mengejarnya dan meninggalkan Alif di belakang.
"Aku akan mengambilkannya untukmu Alif. Lihat, sebentar lagi fotonya akan kutangkap."
Dia tertawa. "Baiklah. Tapi hati-hati."
"Kamu tak usah khawatir."
Terpaan angin semakin melembut hingga foto itu jatuh. "Nah kan, fotonya jatuh juga," ujarku tersenyum lalu mengambilnya.
Sementara itu, ketika aku akan berdiri setelah mengambil foto,
"Awas Reine!" tiba-tiba aku didorong oleh seseorang hingga aku sedikit terlempar ke pinggir jalan dan kepalaku terbentur kursi taman.
Dan di saat yang sama pula aku mendengar sebuah benturan keras di tengah jalan. Sebuah mobil menabrak seorang pria yang begitu bejadnya langsung kabur tanpa memedulikan kondisinya. Mataku langsung tertuju pada pria itu yang tengah terbaring lemah bermandikan darah di jalanan. Mataku seketika memanas dan lututku terasa lemas.
Sejenak aku terpaku dengan semua keadaan yang sedang terjadi. Rasanya baru tadi saja kami tertawa. Hingga pada satu titik aku menyadari bahwa semua ini adalah kenyataan.
"Aliffff!!!" Aku berteriak lalu berlari ke arahnya.
Tatapannya begitu kosong tapi menyiratkan sebuah keperihan yang mendalam. Napasnya mulai melemah dan tak teratur.
Aku berteriak meminta tolong berharap ada yang mendengar dan segera membawa Alif ke rumah sakit. Aku juga sempat menyesali diri sendiri yang lupa membawa ponsel.
Ketika aku berusaha mencari pertolongan dengan perasaan yang campur aduk, aku melihat Alif seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.
Aku segera menghampirinya.
"K-kamu, t-tak usah mencari pertolongan." Katanya terbata-bata.
"T-tidak. Aku harus menyelamatkanmu. Kamu harus bertahan. Kamu harus kuat." Jawabku begitu emosional.
"Di sini tak ada orang selain kita. K-kalau ini hari terak-"
"Shuttt!" Aku menyela ucapannya. "Itu semua tak akan terjadi. Kamu akan sembuh. Aku akan membopongmu ke klinik terdekat."
Dia menggeleng pelan. "M-maafkan aku Reine." Matanya perlahan mengatup hingga jantungnya tak kembali berdegup. Aku merasa darahku berhenti mengalir. Aku bahkan terus berusaha membangunkannya. Tapi badannya sudah melemas dan dia tak lagi bergeming.
"Aliffff!!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya hingga sadar ada seseorang yang mencubit pipiku.
"Reine? Kamu kenapa?" Samar-samar aku mendengar suara itu.
Sementara itu aku masih berteriak dan menangis. Sebuah pelukan hangat tiba-tiba aku rasakan dan perlahan aku mulai sadar bahwa sedari tadi aku ada di kamar.
"Reine. Sadarlah!" Bibi mengguncang-guncangkan tubuhku pelan.
Setelah itu, bibi mulai mencipratkan air ke wajahku. Aku sedikit terhenyak lalu mengamati keadaan sekitar. Sementara hati masih diliputi cemas dan ketakutan luar biasa.
"Tenanglah. Tenangkan dirimu. Ucapkan istigfar."
Aku mulai mengikuti apa kata bibi.
"Ini," lalu bibi memberiku segelas air putih. "Minumlah."
Aku segera meneguknya.
"Apa yang sedang kamu mimpikan? Bibi bisa melihat kamu begitu takut." Kata bibi kemudian ketika melihatku mulai tenang.
"Aku, aku...." Tiba-tiba mimpi tadi berseliweran di depanku. Seakan nyata. Darah itu, aku seperti benar-benar sudah memegangnya. Bahkan rasa pusing akibat benturan di kursi taman pun aku masih bisa merasakannya.
"Ada apa?" Tanya bibi mengulang pertanyaannya.
"Apa ada Alif ke sini?"
"Alif?" Bibi terheran, "bukankah katamu dia sedang pergi?"
"Itulah masalahnya bibi. Beberapa hari ini aku selalu mengalami mimpi buruk tentang Alif. Aku begitu takut bi. Aku takut ada suatu hal yang terjadi padanya." Mataku mulai memanas lagi. Semenjak mimpi buruk itu, aku semakin sulit berpikir jernih mengenai keadaan Alif.
Bibi memelukku sambil mengusap-usap kepalaku. "Tenang Reine. Itu hanyalah bunga tidur saja. Apa sebelum tidur kamu membaca doa?"
Aku mengangguk cepat. "Iya bibi. Aku tak pernah lupa membaca doa. Tapi... Mimpi ini sudah aku alami dua kali bi. Aku takut sekali."
"Memangnya kamu mimpi apa?"
"Yang pertama," kataku sambil sesenggukan, "aku bermimpi tiba-tiba Alif datang ke rumah dengan banyak luka. Lalu aku masih ingat ada tiga pria yang salah satunya menembak Alif di depanku bi. Persis di depan mataku."
"Lalu mimpi yang kedua?" Bibi ikut bersedih sambil menyeka air mataku.
"Aku terbangun dari tidur dan ada Alif di ruang tamu lalu mengajakku pergi. Aku ikut dengannya. Setelah itu dia menunjukkan sebuah foto masa kecilnya padaku. Angin tiba-tiba menerpa kami hingga menerbangkan foto itu. Ketika aku sudah mengambilnya, ada seseorang yang mendorongku hingga membentur kursi taman di pinggir jalan. Dan ketika aku melihat ke jalan, aku, aku...." Aku tak bisa lagi melanjutkan apa yang aku ceritakan ketika mengingat peristiwa tadi.
"Aku apa Rein? Jelaskan dengan tenang." Sahut bibi.
"A-aku melihat Alif sudah terbaring di jalan dengan bermandikan darah."
Aku bisa melihat reaksi bibi yang langsung menutup mulutnya dengan ke dua tangannya. "Oh ya Allah!" Ujarnya tak percaya.
"Aku rasa ini bukanlah sebuah mimpi biasa bi. Aku merasa ada sesuatu yang Alif sembunyikan dariku. Tapi aku tak tahu itu apa."
"Bibi juga merasa seperti itu. Tapi lebih baik kita berpikir positif dulu saja. Semoga tak ada suatu hal yang memang sedang Alif sembunyikan darimu. Semoga tak ada." Kata bibi meyakinkan.
Aku mengangguk pelan. "Iya bi. Semoga."
"Baiklah, sini," bibi menyuruhku untuk lebih mendekat kepadanya lalu mengusap kembali kepalaku. "Bibi tahu cintamu kepada Alif sungguh besar. Dan bibi juga bisa melihat cinta Alif kepadamu yang lebih besar pula. Cara kalian mencintai berbeda dari pasangan yang lain. Bibi salut pada cinta kalian."
"Aku bahkan ingin segera menemui hari yang sangat kita nantikan sejak lama bi. Rasanya waktu berjalan begitu lambat."
"Bibi juga Rein. Bibi tak sabar ingin segera melihat anak bibi yang tegar dan kuat satu ini, menikah dengan pria yang ia cintai."
Aku mendongakkan kepala, lalu melihat guratan senyum di bibir bibi.
"Iya, bibi dan paman sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Bibi ingin kamu bahagia dan menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan. Tentunya dengan Alif. Dan bibi tak mau lagi ada luka atau air mata yang turun dari pipi merahmu ini." Kata bibi terkekeh sambil mencubit pipiku gemas.
Aku lantas memeluk bibi. "Terima kasih bi. Kehadiranku kemari ternyata memberi ruang cerita baru di dalam hidupku. Awalnya aku tak mau tinggal di Bogor saat itu. Tapi dengan keterpaksaan dan perintah ibu aku berusaha jalani. Pada akhirnya aku bersyukur, ternyata di sini banyak sekali orang-orang yang menyayangiku. Dan di sini pula, aku bisa bertemu kembali dengan Alif."
Bibi memandangku dengan penuh kehangatan layaknya pandangan seorang ibu terhadap anaknya. Walaupun kini bibi tengah mengandung, tapi rasa perhatian dan pedulinya padaku tak pernah berkurang.
"Doa bibi selalu menyertaimu."
...
Aku mulai membuka cemilan sembari duduk di ruang tamu. Sore ini hujan begitu lebat. Sudah 1 jam hujan mengguyur kota Bogor. Tampaknya cuaca seperti ini membuatku tak ingin berangsur dari tempat.
Sementara itu, aku diam di rumah bibi sendirian. Aku sempat khawatir karena bibi belum pulang dari apotek sedari tadi. Tapi setelah aku kirim pesan, kata bibi ia akan segera pulang setelah hujan reda. Aku tak tahu maksudnya, padahal bibi pergi membawa mobil. Mungkin ia tak ingin mengendarai dalam kondisi hujan.
Hujan masih belum reda, sementara itu aku masih memainkan ponsel. Entah itu main game, nonton film atau hal lainnya.
Di rumah terasa bosan. Apalagi keadaan yang sendirian membuat bulu kudukku mulai meremang. Aku mulai menepis hal-hal yang bisa membuatku takut seperti itu. Dengan pura-pura sibuk, pikiran yang berkecamuk perlahan menghilang.
Dentingan jam memecah keheningan di rumah ini. Selain itu, gemericik air yang turun dari genting menambah keheningan juga. Aku semakin khawatir, bibi dan paman belum juga pulang. Sementara hari sudah mulai gelap.
Ketika aku akan mengirim pesan pada bibi, sebuah mobil terparkir di depan rumah. Seketika hatiku merasa tenang. Aku langsung membuka pintu, dan didapati bibi tengah membopong seseorang yang basah kuyup.
Aku terpaku sejenak. Dia terlihat sangat lemas. Ketika akan masuk ke dalam rumah, bibi tak kuat menopang hingga dia jatuh tak berdaya.
"Hamzah!" Dengan spontan aku membantunya bangkit lalu ku duduki di atas kursi.
"Bibi, ada apa ini?" Aku tak tahu kejadian apa yang bisa menimpanya seperti itu.
Aku melihat bibi begitu khawatir. Dia menyuruhku untuk membawakan handuk tebal dan air hangat. Aku segera membawakannya.
Setelah kembali, Hamzah masih belum sadar dari pingsannya.
Aku masih bingung. Sementara bibi segera menyelimuti Hamzah dengan handuk.
Bibi juga menepuk-nepuk pelan pipi Hamzah. Tapi dia masih tak bergeming.
"Bawakan minyak kayu putih Rein." Ujar bibi.
Aku mengangguk lalu mengambilkannya.
"Tangannya dingin sekali." Raut Hamzah putih pasi. Bibirnya juga memucat. Sementara itu bibi terus saja membaluri tangan Hamzah dengan minyak kayu putih dan menghirupkan aromanya ke hidungnya.
Aku masih diam tak mengerti dengan apa yang terjadi. Bibi begitu sibuk membuat Hamzah bangun. Sementara aku di sini hanya duduk memperhatikan apa yang bibi lakukan.
"Bibi takut dengan keadaannya saat ini rein."
"Memangnya apa yang terjadi pada dia bi?" Tanyaku penasaran.
"Bibi juga tak tahu. Setelah membalas pesanmu, bibi menunggu hujan reda di luar apotek. Sementara itu, bibi melihat Hamzah berjalan terhuyung-huyung menuju apotek lalu tiba-tiba ambruk pas di depan bibi." Jelas bibi, aku memperhatikan matanya yang berkaca-kaca. "Lalu bibi kembali ke apotek dan meminta salah satu petugas untuk membawanya. Tapi di sana tak ada tempat. Bibi bingung saat itu Rein, karena takut terjadi apa-apa pada Hamzah, lalu atas saran petugas itu bibi segera membawanya ke mari."
"Kenapa bibi tak membawanya ke klinik atau rumah sakit terdekat?"
"Bibi tak sempat Rein."
Melihat kondisinya seperti itu, tiba-tiba muncul sekelibat rasa kasihan dari dalam hati. Aku selalu memperlakukannya tak baik dan selalu berbicara tak sopan padanya.
Apakah mungkin aku harus mengutarakan maaf padanya setelah dia sadar nanti? Aku berharap semoga dia baik-baik saja.
"Rein, berikan air hangat itu." Aku langsung memberikannya tatkala Hamzah tiba-tiba batuk.
"Hamzah, kamu dengar bibi?" Kata bibi berusaha membangunkannya.
Mata Hamzah perlahan terbuka. Sepertinya ia masih mencari tahu di mana ia berada.
"Kamu tak usah khawatir. Sekarang kamu ada di rumah bibi."
Hamzah masih lemas dan kepalanya menoleh ke beberapa arah. Aku hanya menunduk, tak tega melihat kondisinya seperti itu. Tapi dari ujung mata, aku melihat dia seakan sedang memperhatikanku.
Aku mendongakkan kepala. Aku bisa melihat pandangannya yang seperti tengah diliputi kesedihan. Aku bahkan baru melihat rautnya yang seperti itu. Seakan tak ada lagi rasa kesal yang aku rasakan padanya. Hanya ada rasa ingin tahu dan bertanya, "apa yang sedang kamu rasakan?"
Bibi terus membuat Hamzah sepenuhnya sadar. Setelah beberapa menit, pria itu mulai tersenyum dan berbicara dengan suara yang sedikit serak. Mungkin faktor kehujanan tadi.
"Apa kamu merasa ada yang sakit?" Sahut bibi selanjutnya, masih dengan rasa khawatir.
Dia menggeleng pelan. "Tidak bi. Terima kasih telah membantu Hamzah. Hamzah banyak berhutang budi pada bibi."
"Kamu tak usah berpikiran seperti itu. Yang terpenting kamu harus baik-baik saja. Mau bibi bawakan handuk lagi biar terasa lebih hangat?"
"Tak usah bi. Ini lebih dari cukup." Jawabnya pelan. "Aku sudah baik-baik saja. Tadi aku hanya sedikit lelah. Aku harus kembali ke rumah sakit." Ujarnya sambil berusaha berdiri.
"Eh tunggu," kataku sontak ketika melihatnya masih lemas. "kamu di sini saja dulu."
Bibi mengiyakan ucapanku. "Benar, tubuhmu masih lemas."
"Tapi, aku harus menolong pasienku di sana. Dia-"
"Apa tak ada dokter lain yang bisa menggantikanmu?" Selaku. "Lagi pula di luar masih hujan. Kamu mau ke sana pakai apa?"
"Aku pesan taksi online saja."
"Tidak. Kamu harus di sini." Bibi mencegah Hamzah ketika melihatnya bersikeras untuk pergi. "Nanti setelah sembuh, kamu boleh pulang."
"Tapi bi, ini sangat darurat. Dia butuh pertolonganku."
Di kondisinya yang seperti itu, Hamzah masih saja keras kepala. "Baiklah kalau itu maumu. Aku akan telepon Ayssa biar dia bisa ke mari dan menjemputmu," kataku sambil membawa ponsel, "sembari menunggunya, kamu jangan ke mana-mana."
"Eh jangan!" Sergah Hamzah. "Jangan hubungi Ayssa."
Spontan aku dan bibi bertanya, "kenapa?"
Dia seperti sedang berpikir untuk menjawab. "A-aku... Aku tak mau membuatnya cemas. Aku baik-baik saja, jadi tak usah beritahu Ayssa."
"Baiklah." Ujar bibi. "Tapi bibi heran, kenapa kamu bisa ada di apotek tadi?"
Dia terdiam sejenak. "Awalnya aku akan membeli obat karena keadaannya memang sedang darurat. Stok obat itu di rumah sakit kebetulan sedang habis. Dan ada info bahwa obat itu ada di apotek yang tadi bibi datangi."
"Membeli obat? Bukankah kamu bawa mobil? Kenapa tak mengendarainya?"
"Tak sempat bibi. Mobilku tiba-tiba mogok. Aku tak sempat memeriksanya. Karena tak ada pilihan lain, aku lari mengejar waktu."
"Sejauh itu? Maksud bibi, kamu lari sejauh itu? Setahu bibi jarak rumah sakit dengan apotek itu jauh sekali."
"Iya bibi. Aku harus mendapat obat itu. Karena di sepanjang jalan juga aku tak melihat ada angkutan yang melintas. Maka dari itu aku putuskan untuk melanjutkan lari saja."
"Kenapa kamu tak menyuruh seseorang atau siapapun untuk membelinya?"
"Tak bisa bibi. Saat mendapat kabar bahwa obat itu habis di rumah sakit, aku gelagapan mencari dan tak bisa berpikir jernih. Yang aku inginkan saat itu, hanya obat, obat dan obat."
"Masya Allah. Mulia sekali hatimu Hamzah. Kamu begitu bertanggung jawab dengan tugasmu menjadi seorang dokter."
Dia tersenyum kecil. "Sudah kewajibanku bi."
"Lalu kenapa kamu bisa pingsan?" Tanyaku penasaran.
Dia memandangku keheranan. Sepertinya dia merasa kali ini aku bisa diajak kompromi dan bukan Reine yang selalu marah kepadanya.
"Aku, aku tak tahu." Jawabnya, "tiba-tiba kakiku lemas dan tak bisa mengingat apa pun."
"Apa kamu punya riwayat penyakit?"
Aku bisa melihat reaksinya yang tiba-tiba berbeda.
"M-maaf, maksudku, barang kali saja kamu punya riwayat penyakit. Aku tak berniat menyinggung."
Dia tersenyum. "Tak apa. Itu bukan masalah."
Sementara itu, ponsel Hamzah tiba-tiba berdering. Dia langsung mengangkatnya dan meminta izin kepada bibi untuk ke luar sebentar. Bibi mengiyakan lalu membereskan bekas-bekas tadi dan menyimpannya di dapur.
Selang beberapa menit, dia kembali.
"Siapa?" Tanyaku spontan ketika melihatnya masuk. Aku tak tahu mengapa mulut ini bisa berkata seperti itu dan sepenasaran itu.
"Oh ini, teman juga yang bertugas di rumah sakit. Alhamdulillah obatnya sudah ada dan pasiennya baik-baik saja."
"Alhamdulillah kalau seperti itu."
"Iya."
"Memangnya pasienmu itu siapa?"
Dia terhenyak.
"Maksudku, pasienmu itu memiliki penyakit apa?"
"Masih sama seperti yang pernah aku ceritakan padamu dulu."
"Oh ya? Berarti pasiennya masih sama?"
Dia mengangguk.
"Ya Allah. Selama itu dia menderita sakit. Semoga Allah segera menyembuhkannya."
"Aamiin. Terima kasih doanya."
Aku tersenyum sambil menimbang pertanyaan. Tapi karena aku memang tipe orang yang mudah penasaran, aku berusaha tanyakan. "Hamzah?"
"Iya?" Jawabnya.
"Apa... Aku bisa melihat siapa pasienmu itu?"
Dia sangat terkejut dengan ucapanku. Aku bisa melihat bola matanya yang membulat, lalu setelah itu menundukkan kepalanya.
"Ada apa?" Tanyaku. "Apa pertanyaanku ini salah?"
"A-aku...." Jawabnya gugup.
"Reine, Hamzah." Bibi datang sambil membawa dua piring nasi goreng ati ampela. Seperti biasa.
"Sudah lama bibi tak membuatkan ini untuk kalian," aromanya seketika menusuk ke dalam hidung. "Setelah kamu sakit itu, bibi belum membuatkannya."
"Iya bi, terima kasih." Aku mengambil satu piring dan memberikannya pada Hamzah. Setelah itu, aku mengambil satu piring lagi untukku. "Aku sangat rindu makan ini. Kemarin terasa bosan karena selalu saja makan bubur." Lanjutku.
Bibi tertawa. "Ya sudah, kalian makan sampai habis ya. Bibi tak mau tahu. Kalau ingin minum, ini sudah bibi siapkan," kata bibi sambil menunjuk dua gelas. "Bibi tinggal sebentar."
"Terima kasih banyak bi. Seharusnya bibi tak merepotkanku seperti ini. Aku merasa malu."
"Eh, jangan berpikir seperti itu. Bibi tak merasa direpotkan."
"Benar," sahutku. "Bibiku ini memang baik sekali. Dia tak pernah membanding-bandingkan sikapnya pada orang lain."
Bibi tertawa lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini, selalu saja seperti itu."
Aku bisa melihat Hamzah tertawa. Kalau saja aku boleh jujur dan menyampaikan hal ini padanya, bahwa tawanya itu, begitu mengingatkanku pada sosok Alif.
...