Aku tertawa lepas mendengarnya mengucapkan itu. "Kamu tak akan membuatkanku nasi goreng ati ampela lagi?" Kataku mengulang pertanyaan.
"Iya." Dia mengerutkan dahi. "Kenapa kamu tertawa?"
"Terus kenapa juga kamu heran gitu?" Aku membalikkan pertanyaan.
"Habisnya kan dari tadi kita ngobrolnya serius. Ya heran saja liat kamu tiba-tiba tertawa."
"Oh begitu. Jadi kamu heran kenapa aku tertawa?"
"Iya. Kenapa?"
"Karena aku mengerti dibalik ucapanmu itu. Kamu tak akan membuatkanku nasi goreng ini sebab akulah yang nanti akan membuatkannya untukmu. Benarkan?"
Rautnya begitu keheranan. Tapi dia sama sekali tak menjawab.
"Hei sudah! Jangan melihatku seperti itu. Aku tahu kamu pasti kebingungan kan? Sudah lah jangan mengelak." Kataku sejurusnya.
Sesaat, dia tak menggubris ucapanku.
"Kamu tadi dijemput kakaknya teman kantormu?" Tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk.
"Hamzah ya?"
Sejenak aku tak menjawabnya dan merasa ada kesalahan di dalam hati.
"Kamu cemburu ya?" Tanyaku kemudian.
"Cemburu apa? Kamu kan belum menjawab ucapanku."
"Iya tadi aku pulang dengan Hamzah," jawabku sedikit takut. "Tapi maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu terluka. Tadi ketika aku beristirahat sebentar di warung sambil menunggu angkutan, tiba-tiba dia datang dan memberi tawaran untuk mengantarkanku ke sini."
Kulihat Alif seperti tengah memikirkan sesuatu. Dia hanya diam saja ketika mendengar ucapanku.
"Eh tapi awalnya aku enggan. Dan karena saat itu kebetulan tak ada angkutan yang lewat, aku terpaksa ikut bersamanya. Kamu jangan marah ya. Maafkan aku." Aku memegang kedua telingaku.
"Untuk apa minta maaf?" Serunya kemudian.
"Eh, apa... Kamu tak marah?"
"Tidak." Dengan santai dia menjawab seperti itu. "Lagi pula aku merasa dia pria yang baik."
"Lho kok?! Memangnya kamu pernah menemuinya?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Kan tadi kamu bilang bahwa kamu merasa dia pria yang baik. Apa kamu pernah menemuinya?"
"Ketika kita menilai seseorang, apa harus kita bertemu dengan orang itu?"
"Aku rasa iya. Untuk memastikan."
"Tapi bagaimana kalau kita merasa bahwa tiba-tiba sifatnya lain dengan apa kata orang, dan apa yang dilihat diri sendiri?"
"Aku tak mengerti."
"Seperti ini." Dia mengubah posisi duduknya, "menurut pendapatmu sendiri, jujur ya. Aku ingin tahu darimu sifat dia seperti apa?"
"Em-"
"Menurutmu saja. Jangan dengar apa kata orang lain." Dia menyela ucapanku.
"Kalau menurutku sih ya. Dia itu pria yang sangat menyebalkan. Apalagi saat pertama kali bertemu itu, aku begitu, arghh! Sampai-sampai merasa muak ketika melihat wajahnya. Semakin aku kesal dengannya, semakin pula aku sering bertemu dengannya. Padahal saat itu aku tak berniat untuk bertemu. Tapi selalu saja ada jalan yang membuatnya menemuiku."
"Lalu? Apa kamu masih merasakan hal sama dengannya sampai saat ini?"
Aku berpikir sejenak. "Awalnya sih begitu. Tapi...."
"Tapi?"
"Tapi aku merasa untuk apa juga aku bersikap buruk padanya. Sebenarnya aku tahu dia itu pria yang baik. Tapi entah kenapa kalau denganku, dia itu begitu menyebalkan. Butuh banyak asupan oksigen juga ketika harus berdebat dengannya."
"Jadi? Itu artinya... Kamu masih merasa kesal padanya?"
"Aku berusaha melupakannya Alif. Malah perlahan aku mulai merasa dia itu berubah. Bahkan ada segelintir rasa kasihan padanya. Ingin meminta maaf karena kesalahan dulu, tapi aku terlalu ragu. Dan berpikir bahwa dulu juga dia sering membuatku marah."
"Memangnya apa yang membuatmu kasihan?"
"Ya tak terlalu ini sih. Hanya saja kemarin bibi tiba-tiba membawanya dalam keadaan pingsan dengan baju yang basah kuyup."
"Oh ya? Kenapa dia bisa seperti itu?"
"Katanya dia sedang mencari obat untuk pasiennya. Kebetulan stok obat itu di rumah sakit sedang habis. Jadi dia lari ke apotek dan baru saja sampai di depan parkiran, dia sudah terjatuh pingsan. Untung saja ada bibi di sana. Jadi dia bisa dibawa ke sini."
"Kenapa dia yang harus membelinya? Kenapa dia tak meminta orang lain? Dia itu seorang dokter kan?"
Aku mengangguk. "Entahlah. Katanya sih dia tak sempat. Dia ingin cepat-cepat membeli obat itu dan melihat pasiennya baik-baik saja."
Alif manggut-manggut. Sementara itu aku memperhatikannya sekilas.
"Eh Alif, apa kamu tahu?"
"Tidak. Memangnya apa?"
"Saat ini Hamzah masih merawat satu pasien yang sejak dari Singapura juga ia rawat. Aku begitu penasaran dengan pasien itu, kalau ada kesempatan, aku ingin menjenguknya juga."
Dia mengernyitkan alis. "Untuk apa kamu mau menemui pasien itu?"
"Yaa aku penasaran saja. Kata Hamzah penyakitnya itu langka. Meskipun sembuh, tapi nanti pasti kambuh lagi. Mendengar apa katanya saat itu, membuat hatiku terenyuh. Aku hanya bisa berdoa semoga dia lekas sembuh."
"Ohh begitu."
"Apa kamu penasaran juga?"
"Em menurutmu?"
"Menurutku sih iya. Maka dari itu suatu saat nanti kita jenguk pasiennya Hamzah sama-sama. Mau ya?"
Aku melihat kepalanya menunduk dan seperti tengah berpikir.
"Bagaimana?"
Suara ponsel tiba-tiba terdengar menandakan adanya panggilan masuk. Aku segera mengambilnya dan melihat nama Ayssa tertulis di sana.
Aku menjawab teleponnya. Tak lama kemudian, suara wanita itu memberiku salam.
"Wa'alaikumussalam." Aku menjawabnya, "ada apa ay?"
"Apa kamu sudah mencari cara terkait perusahaan papa itu? Sungguh, aku sangat penasaran dengan rencanamu itu." Katanya di seberang sana.
Seketika aku menepuk kening. "Oh ya Allah. Aku sampai lupa. Maafkan aku Ayssa. Kamu jangan khawatir pokoknya, aku akan berusaha membantumu bersama Alif ya."
"Alif?"
"Iya. Ada Alif di sini. Karena terlalu banyak topik, aku sampai lupa dengan topik ini." Jawabku sambil tertawa kecil, "intinya, tunggu saja ya. Aku akan usahakan."
"Baiklah kalau seperti itu. Apa kamu sungguh tak mau memberi tahu rencananya padaku?"
"Sungguh, Ayssa. Tapi aku akan memberitahukannya kalau semua itu berjalan sesuai dengan harapan. Asalkan kamu jangan memberi tahu dulu ayahmu ya?"
"Baiklah. Semoga rencanamu berhasil ya. Kalau begitu aku tutup dulu teleponnya." Katanya sesaat sebelum mematikan telepon.
Aku menyimpan kembali ponselku lalu melihat Alif sedang melamun.
Aku menghampirinya, "alif?"
"Ya?" Sepertinya lamunannya buyar karena seruanku.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Iya. Aku hanya sedang ingin melamun saja."
"Em iyakah?"
"Iya, Reine. Ngomong-ngomong, kamu tadi ngobrol dengan siapa?"
"Pas sekali kamu mengatakan itu. Sebenarnya, aku sedang butuh bantuanmu."
"Bantuanku?"
Aku mengangguk cepat.
"Bantuan apa?"
"Sebenarnya perusahaan tempat aku dan paman bekerja, sedang mengalami masalah besar. Ada pencuri yang dengan berani mengambil uang sepuluh Milyar. Kami sedang bingung dan berusaha mencari cara untuk mengetahui siapa pelakunya. Dan karena aku merasa bertugas juga untuk membantu, maka dari itu aku ingin kamu membantuku juga."
"Wah... Ini bukan perkara yang mudah ya. Apa kamu sudah ada rencananya?"
"Sudah. Kamu mau membantuku kan?"
Dia mengangguk.
Aku mulai menjelaskan secara rinci rencana yang akan kita mulai nanti. Aku tak tahu rencanaku ini akan membuahkan hasil yang manis atau tidak. Tapi setidaknya aku sudah berusaha, semoga saja hasilnya sesuai dengan apa yang aku harapkan.
Sementara itu, aku melihat ekspresi Alif yang tampak setuju. Dia juga bahkan memberi beberapa saran untuk melengkapi rencana kami nantinya. Dia begitu antusias. Setelah beberapa menit kami berdiskusi, akhirnya aku dan Alif menemukan titik terang.
Rencana ini akan segera kami luncurkan sore hari. Kalaupun nanti belum ada tanda-tanda, kami akan melanjutkannya sampai malam.
Alif sudah meminta izin juga pada bibi untuk membawaku sore nanti. Aku rasa bibi sudah tak ada lagi kecanggungan terhadap Alif. Ia setuju dan sama-sama berharap semoga rencananya membuahkan hasil.
Aku juga memberi tahu Ayssa lewat pesan untuk terus membawa ponselnya. Karena jika nanti aku membutuhkannya, dia bisa meresponnya lebih cepat. Dan untungnya, Ayssa menyetujui semua itu.
Setelah diskusi antara aku dan Alif selesai, dia meminta pamit dariku dan bibi untuk pulang. Katanya dia ingin beristirahat sebentar. Sejak malam ia tak bisa tidur.
Ketika aku memastikan bahwa Alif sudah pulang, aku segera menuju ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Rasanya begitu lelah sekali hari ini. Pikiran masih semrawut, menceracau melayang ke segala penjuru guna mencari titik terang.
Rasanya tak sabar sekali untuk segera meluncurkan aksi di sore hari nanti.
...
16.15
Aku dan Alif segera pergi menuju perusahaan papa Ayssa. Tak butuh waktu yang lama, kami sudah sampai di sana.
Suasananya nampak sepi. Tak ada satpam depan yang menjaga karena memang perusahaan sedang meliburkan semua karyawan. Mobil paman pun tak lagi terlihat, sepertinya paman sudah pulang ketika tadi aku di jalan untuk menuju ke sini.
Sebelum itu, aku meminta izin pada Ayssa untuk masuk ke dalam perusahaan. Aku ingin mengecek di setiap meja karyawan apakah ada sesuatu hal yang mencurigakan atau tidak.
Ayssa dengan senang hati mengiyakan, maka dari itu aku mulai masuk tanpa ada keraguan.
Aku dan Alif memencar, mencari beberapa bukti yang semoga saja tertinggal lupa oleh kecerobohan sang pelaku. Karena aku yakin kalau pelakunya itu pasti pernah berhubungan atau terlibat dalam perusahaan ini. Aku mulai menyusuri meja-meja kantor yang satu ruangan denganku. Semoga saja aku menemukan sesuatu di sana.
Sampai akhirnya, aku menghampiri meja kantor milik Hamzah. Awalnya aku enggan memeriksa hal apa pun yang ada di situ karena merasa dia adalah salah satu anak pemilik perusahaan ini. Tapi ketika aku akan memeriksa meja depannya, tanpa sengaja aku sedikit menyenggol meja Hamzah dan kemudian melihat ada amplop yang jatuh.
Aku segera memeriksanya dan mendapati ada nama Hamzah di ujung atas bagian kiri. Aku membukanya perlahan. Sebuah surat kecil kulihat terselip di balik amplop itu.
'Semuanya sudah beres, Tuan. Saya bersama rekan sudah mengambil apa yang tuan perintahkan. Uang sepuluh Milyar itu akan saya serahkan kepada Tuan sesegera mungkin. Terima kasih atas kerjasamanya bersama kami.'
Aku terbelalak kaget ketika membaca surat itu dan tanpa sadar menjatuhkannya. Kakiku tiba-tiba lemas hingga duduk dengan perasaan yang masih diliputi kebingungan.
Aku tak percaya. Apakah benar Hamzah dalang dari semua ini? Apa mungkin juga dia ingin menjatuhkan keluarga yang sudah merawatnya sejak kecil? Sungguh. Perasaan ku masih tak karuan. Ada rasa kecewa, marah dan tentunya heran. Pertanyaan pun seketika menggunung di pikiran. Apakah benar dia yang melakukan semua ini? Lalu mengapa dan untuk apa dia melakukan semua itu?
Ketika aku masih bergelut adu dengan pikiran, tiba-tiba aku mendengar ada pijakan sepatu yang mulai mendekat ke arah ruangan di mana aku duduk. Aku segera mencari tempat persembunyian dan membawa surat itu. Aku yakin ada seseorang yang akan masuk ke sini selain Alif. Karena memang tadi Alif kemari tak mengenakan sepatu.
Ceklek
Pintu terbuka. Aku melihat seorang pria masuk dengan terburu-buru. Dia menengok ke kanan dan ke kiri seakan seorang pencuri yang takut ketahuan. Aku bisa melihatnya dengan mengintip di sela-sela tirai dari bambu.
Ketika dia membalikkan badannya, betapa terkejutnya aku tatkala pria yang ada di sana adalah Hamzah. Rautnya begitu tegang. Ia segera menghampiri meja kantornya dan menelepon seseorang di situ.
Aku langsung membuka ponsel dan merekam semua pembicaraannya itu.
'Hallo.' dia membuka pembicaraan. 'apa uang itu sudah ada di kamu?'
Aku tak tahu dan tak bisa mendengar jawaban dari orang yang ia telepon.
'oke baiklah. Kerja yang bagus. Saya tunggu malam ini pukul sembilan di belakang gedung ini. Jangan sampai ada yang curiga atau tahu kita telah melakukan apa.'
Hamzah menutup telepon kemudian segera pergi dan menutup ruangannya kembali.
Aku keluar dari persembunyian. Sungguh! Aku masih tak percaya Hamzah bisa melakukan hal serendah ini. Teganya dia mencuri uang perusahaan milik ayahnya sendiri. Walau memang itu bukan ayah kandungnya, tapi setidaknya dia paham bahwa sedari kecil ia dirawat, disayangi bahkan di sekolahkan kedokteran oleh ayah dan keluarganya itu.
Sungguh! Aku benar-benar kecewa dengan Hamzah. Aku tak menyangka dia bisa mengkhianati keluarganya seperti itu.
"Reine?"
Sontak aku mencari sumber suara.
"Alif?" Tanyaku, "dari mana saja kamu?"
"Tadi ketika aku akan ke sini, ada seseorang yang sepertinya akan ke sini juga. Mendengar langkah kakinya semakin mendekat, aku segera sembunyi."
"Tapi kamu baik-baik saja kan?"
"Tenang, aku baik-baik saja. Bagaimana? Apa kamu menemukan sesuatu?"
"Ya. Bahkan aku sudah tahu siapa penculiknya." Ujarku sambil sekilas melihat raut Alif yang terkejut.
"Siapa?" Tanyanya.
"Aku tak pernah menyangka dia bisa berbuat sekeji itu. Aku benar-benar kecewa padanya."
"Memangnya siapa Rein?"
Aku memberikan surat yang aku baca tadi kepada Alif.
Aku bisa melihat reaksi Alif yang terbelalak setelah membaca surat itu. "A-pa? M-mana mungkin. Kamu dapat ini dari mana?"
"Dari sana," aku menunjuk meja Hamzah.
"Apa ini benar Hamzah yang telah melakukannya? Apa kamu yakin?"
"Awalnya aku juga mengira seperti itu. Tapi coba dengar ini," aku memberikan rekaman percakapan Hamzah bersama seseorang lewat telepon tadi.
Setelah Alif mendengarnya, dia menggelengkan kepalanya seolah tak percaya dengan kebenaran yang sudah ada di depannya.
"T-tidak. Aku tak percaya Hamzah yang melakukan semua ini. Aku yakin dia tak seperti itu Rein. Kita perlu mengusutnya lebih jauh."
"Tak perlu Alif. Semuanya sudah terbukti, bahwa Hamzahlah dalang dari semua ini."
"Tapi aku tak percaya dia bisa melakukan semua itu."
"Kamu tak usah lagi percaya dengan pria yang telah mengkhianati kepercayaan kita dan keluarganya sendiri. Dia benar-benar anak yang tak tahu diri."
"Lalu bagaimana cara kamu memberi tahu keluarganya? Mereka pasti terluka."
"Benar Alif. Aku juga bingung, terkhusus lagi Ayssa. Dia sangat percaya pada kakaknya dan aku tak tahu apa reaksinya nanti ketika mendengar kebenaran itu."
Tiba-tiba ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk. Aku mengeceknya dan melihat ada nama Ayssa yang tertera di balik layar ponselku.
Awalnya aku sempat ragu menjawab panggilannya, tapi atas saran Alif, aku menjawabnya juga.
"H-halo." Aku membuka pembicaraan.
"Halo Rein. Bagaimana kelanjutannya? Apa kamu telah menemukan sesuatu?"
Aku terhenyak mendengar dia langsung berkata seperti itu. Aku tak tahu harus menjawab apa. Dan mana mungkin pula aku menceritakan semuanya lewat telepon.
Aku menatap Alif yang memberi isyarat untuk jangan diberi tahu dulu.
"Rein? Apa kamu mendengarku?"
"Ah em i-iya? A-aku, aku mendengarmu."
"Bagaimana? Kamu sudah mendapat sebuah bukti?"
"A-aku masih mencari tahu sebenarnya." Jawabku sambil melihat Alif. "Tapi, nanti malam kamu ikut bersamaku ya."
"Boleh Rein. Di mana?"
"Kita ketemu di depan gerbang gedung ini saja. Pukul delapan nanti."
"Baiklah. Nanti aku akan ke sana. Memangnya ada apa?"
"Ke sini saja dulu. Nanti kamu akan tahu dan melihatnya sendiri." Kataku setelah itu menutup telepon.
"Alif, bagaimana ini?" Aku begitu bingung. Semua perasaan campur aduk menjadi satu.
"Sudah, lebih baik kita pulang dulu saja. Nanti malam kita ke sini lagi. Jangan beritahu siapapun dulu termasuk bibi dan paman. Oke?"
Aku mengangguk.
"Baiklah, ayo kita pulang. Sudah mau magrib."
...