Euforia, semua berbahagia menyambut tahun baru yang akan datang sebentar lagi. Ya, biasanya di desa bernama Desa Melati mengadakan pesta makan sekaligus pesta kembang api sebagai tanda pelepasan keburukan yang terjadi ditahun sebelumnya yang pernah dilakukan para penduduknya. Beramai-ramai buang sial dan kepribadian buruk mereka selama tahun lalu, berharap menjadi lebih baik ditahun selanjutnya.
Makanan sudah tersedia di meja makan panjang membentang dilapangan tempat biasanya penduduk desa berkumpul. Para wanita sibuk memasak, menyiapkan meja dan makan untuk semua penduduk Desa Melati.
Langit yang membiru indah dihiasi bintang-bintang kecil berkelap kelip. Akan menjadi saksi dan ritual yang setiap tahun penduduk Desa Melati lakukan.
"Diaaah.., Diaah tolong ibu, dong.. ambilin cobek di dekat panci. Tapi tolong cuciin dulu ya, soalnya abis ngulek sambel terasi." Teriak wanita gendut sambil mengelap keringatnya. Tidak mau air dari tubuhnya menetes ke makanan yang sedang ia masak.
"Sebentar bu, Diah cariin dulu." Bergegas ia menjalankan perintah ibu gendut berkemben itu. Kepalanya diikatkan kain sebagai bandana untuk mencegah rambut-rambut setangah putih itu terurai dan mengganggunya memasak.
"Nah, ini dia ketemu." Ujar gadis muda berparas cantik dan berkulit putih itu. Hidung yang mancung, walau tak semancung ayahnya. Gadis yatim yang sudah lama ditinggal ibunya begitu giat membantu dalam setiap acara.
"Bu Marni, ini cobeknya." Kata Diah meletakan cobek itu didekat ibu Gendut bernama Marni itu.
"Iya Diah, taro disitu aja. Makasih ya, Diah." Semua banyak yang senang pada Diah. Rajin, cantik dan taat beribadah.
"Iya bu Marni, sama-sama."
"Wah.. nak Diah, rajin banget sih, Kamu. Coba ibu punya anak laki-laki yang udah gede, pasti ibu jadiin menantu." Celetuk ibu-ibu berhijab.
"Aah.. ibu bisa aja. Diah senang kok, bisa membantu kegiatan di desa ini. Lagian kan, Diah udah ditinggal ibu sejak lahir." Mendadak nada cerianya menjadi pelan dan melankolis.
"Hei.., Diah.. biarpun ibu kamu gak ada. Kamu kan masih punya kita-kita disini, anggap aja kami semua ibu kamu." Celetuk lainnya ibu-ibu berusia lima puluh tahun di pojok sana.
"Iya Diah, jangan bersedih begitu." Lainnya ikut menyambar. Diah hanya tersenyum kecut. "Makasih ibu-ibu." Hatinya tetap merindukan ibunya, walau ia tidak pernah bertemu dan melihat wajah ibunya, tapi Diah tetap merindukan ibunya yang selalu ia lihat di album foto dirumah.
Diah menunduk, menyembunyikan rasa rindu yang terlihat jelas diwajahnya. Setetes embun bening terjatuh begitu saja tanpa kompromi. Diah menyeka, namun hatinya terlalu perih untuk bisa menenangkan hatinya dari rasa rindu pada ibunya. Walau menurut ayahnya, ibunya meninggal setelah melahirkannya.
Kadang, ia iri pada teman-temannya sedari kecil. Mereka masih punya ayah bahkan ibu yang mencintai mereka dan mengasihi mereka setiap saat. Diah, tak merasakan itu. Ia memang punya ayah, tapi rasa itu tidak cukup menutupi rasa irinya yang kadang membuat dada terasa sesak.
Diah menarik nafas, menjaga agar isak tangisnya tak terdengar. Jari jemarinya tegas menyeka tiap tetesan airmata yang menetes ke lantai. Sebisa mungkin air itu tak lagi menetes.
"Diah, ayo kita taro masakan ini di meja." Ajak Ibu muda yang dua tahun lebih tua dari Diah.
Diah menoleh setelah sisa-sisa airmatanya tak lagi terlihat diwajahnya. "Iya, kak.. sebentar Diah beresin irisan wortelnya." Katanya bergegas lalu pergi menyusul ibu muda itu.
Semua sudah tampak rapih. Lapangan serba guna desa dihias sedemikian rupa indahnya. Pernak-pernik di pasang sana sini. Dan spanduk besar terpampang di pintu masuk lapangan yang sengaja dibuatkan pintu. Menurut kepala desa, biar lebih resmi menyambut kedatangan tahun baru dan juga ritual buang sial penduduk desa.
"Perhatian..!" Pemuda ganteng itu berdiri di panggung. "Untuk seluruh penduduk desa Melati agar segera berkumpul." Katanya lagi, suaranya merdu dan besar itu terdengar seantero desa Melati. "Untuk para ibu-ibu agar segera menyelesaikan hidangannya dan berkumpul dilapangan serba guna desa. Acara ritual buang sial desa melati akan segera dimulai tepat jam 22.00." imbaunya.
Diah, menatap tak berkedip. Ia sangat menganggumi pemuda itu sedarinya kecil. Teman semasa kecilnya. Perasaan itu ia simpan, tersimpan rapat dihatinya. Pipinya bersemu, bibirnya kadang senyum-senyum sendiri. Sampai akhirnya perjodohan itu datang. Perjodohan yang bikin ia semakin kikuk dan semua orang tidak ada satu pun yang tau dengan perjodohan rahasia antara ayahnya dengan ayahnya Akbar.
"Cie.. yang lagi liatin calon suami? Dari tadi matanya ga mau kedip..?!" Ibu muda itu mengganggu Diah lagi melamun. Tersadar dan membuatnya gugup seketika.
"G..gak, kok, k..ak.. a..ku cuma liat langit." Elaknya menunduk malu.
"Bohong kali, dari tadi kakak perhatiin mata kamu keatas panggung dan mukamu merah banget lho saat Akbar di atas panggung." Sergah ibu muda itu menyelidiki. Lalu menyikut lengan Diah. Wajah Diah memerah, ia tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan perasaan sukanya terhadap Akbar.
"Iihk, kak Susi apaan sih..? lagipula perjodohan itu belum sepenuhnya jadi!" Lagi, Diah mengelak. Kali ini ia mendorong pelan ibu muda yang bernama Susi itu.
"Iya juga ya, kan ibu kepala desa matre..!" Ucap Susi berbisik. "Tapi gak apa-apa lah ya, namanya suka, apapun akan dilakuin, ya gak sih, Diah??" Goda Susi bikin Diah tambah salah tingkah. Ia sadar diri siapa Akbar dan siapa dirinya, walau sebenarnya keduanya telah dijodohkan oleh ayah mereka berdua, tetapi, ibu dari Akbar itu tak pernah setuju dengan perjodohan itu.
"Gak tau ah.., udah yuk kita beresin mejanya." elak Diah tidak mau Susi tau perasaannya pada Akbar.
Diam-diam, ia menatap kembali ke arah panggung. Dari sana, Akbar juga sedang menatap Diah di panggung. Beradu pandang dan kemudian senyuman Akbar membuat wajah Diah kian memerah. Malu, lalu menunduk kembali.
"Lho.. Diah, kamu mau kemana? Tungguin aku, dong..!" Diah berjalan menjauhi Susi dan kembali bekerja meletakan makanan yang sudah siap saji.
****
Di bukit. Dua pemuda berambut coklat dan pirang berjalan menelusuri jalan setapak. Ransel besar dipunggungnya. Wajah kedua pemuda asing itu terlihat lelah, debu dan kotoran menutupi kulit putihnya. Terlihat dekil juga kotor.
Wajah pemuda satu lagi terlihat kesal dan penuh kemarahan menatap pemuda didepan, namun dia tahan sambil terus mengikuti kemana saja pemuda didepannya melangkah.
"Hi Mike, the actually where are we want go?" Tanya pemuda berambut pirang semakin jengkel dengan pemuda bernama Mike itu. "Do you know, we have walking a long way and not found a way out of this jungle." Katanya lagi dicuekin Mike. "I'm so tired, and my legs starting to hurt."
"I know and i'm also hurt. But can't you close your mouth for a moment? I'm thinking and trying for found the way for get out from here." Balas Mike sewot.
"Ok..ok, i will be quite. But how much time for you find the way? You always said like that, more and more. The result is you can't find the way from this bastard jungle."
Mike berhenti, ia rasa pemuda dibelakangnya terlalu bawel dan kekanak-kanakan untuk situasi seperti saat ini. Ia berusaha berpikir dan mencari jalan keluar agar tidak tersesat untuk kesekian kalinya. Rasa lapar juga sudah melanda perutnya yang sedari tadi belum di isi apapun. Dan ia juga merasakan apa yang pemuda dihadapannya rasakan.
"Ooh.. my God..Austin, i also hungry and i'm tire too like you feel. So.. can you stop be childish, im trying remember the pass way we took before." Balas Mike naik pitam. "So, let me think to get out from here." Katanya lagi membungkam mulut pemuda bernama Austin. "The turns out, you're really a annoying little brother." Gerutunya sambil berjalan kembali.
"Heii.. i'm so sorry Mike, i just scare with wild animal." Pekik pemuda bernama Austin itu berlari menyusul Mike yang masih kesal pada adiknya. "Like a tiger maybe, do you know a rumor said Indonesia have a wild tiger and they're attack the humans." Katanya lagi sambil menerangi jalan dengan senter ditangannya. Berwajah cemas, mata mendelik sana-sini bila ada sesuatu yang bergerak disemak-semak.
Mike berjalan santai tanpa peduli ocehan adiknya yang sangat bawel itu. Mengoceh, terus mengoceh membuat Mike pusing dan mendengus kesal.
Lalu dibawah sana..
Semua penduduk sudah berkumpul, hidangan demi hidangan sudah selesai dimasak di tata dimeja dengan rapih. Air-air kemasan juga sudah disusun rapih dimeja kecil. Ada kerupuk dan beberapa macem buah tersaji di piring. Sebagian penduduk menyajikan pudding lengkap dengan fla-nya terletak dekat buah. Piring kertas dan garpu plastik kecil sebagai alat makan pudding juga buah.
Diah, matanya tak bisa fokus. Mencari seseorang kesetiap keramaian penduduk desa yang mulai berdatangan. Namun, rupanya tak ada satupun dari kerumunan orang yang sedang ia cari. Kali ini, ia bukan mencari Akbar seperti pertama kali ia datang sebelum menjadi ramai seperti ini. Tetapi, ia sedang mencari ayahnya.
"Ayah mana ya? Katanya mau dateng, tapi kok belum keliatan." Katanya terlihat cemas. Ia meninggalkan Susi tanpa menoleh.
"Lho, Diah.. kamu mau kemana?" Tanya Susi keheranan.
"Aku mau cari ayah dulu, kak."
"Emangnya kamu gak bilang sama ayahmu kalau hari ini ada acara ritual tahun baru?"
"Udah, tadi ayah bilang ada urusan dulu sebentar. Tapi..," berhenti sebentar, matanya sekali lagi mencari sosok ayahnya diantara keramaian penduduk desa. "Sampe sekarang ayah belum dateng." Lanjutnya mulai bersuara pelan.
"Ya udah, coba kamu liat dirumah. Mungkin ayahmu kelupaan."
Diah mengangguk. "Iya kak, aku pergi dulu." Berjalan mulai menjauh dari keramaian penduduk desa yang sudah penuh sesak.
"Perhatian, bagi yang sudah kumpul bersiap untuk mengadakan ritual buang sial tahun ini dan menyongsong tahun besok." Suara Akbar terdengar namun mulai sedikit menghilang dari telinga Diah. Langkah Diah sudah menjauh dari tempat para warga berkumpul itu.
Dan kemudian..
Di atas bukit Mike terus berjalan. Bosan mengdengar ocehan Austin yang termasuk cowok bawel, bawelnya melebihi cewek manapun didunia ini. Berjalan terus tanpa melihat jalan didepan. kegelapan membutakan matanya untuk menegaskan ada apa didepannya.
Dan akhirnya..
"Aaaaaarrrgh.." teriak Mike terjerambab.
Sesaat itu juga..
Diah sedang berjalan didekat tempat Mike terjatuh. Mendongak dan lalu..
"Aaaargh.." ikut berteriak takut.
****
Bersambung..