Chereads / KALA HUJAN WAKTU ITU..!! / Chapter 5 - Keinginan

Chapter 5 - Keinginan

Dan kemudian..

Duuuk.. bahu Diah beradu dengan bahu lain di rumah itu. Dan herannya, Diah tidak tau ada penghuni selain dia dan bapaknya selama belasan tahun.

"Kamuu..!!" Pekik Diah menunjuk. Namun laki-laki dihadapannya hanya terdiam, bengong, juga tidak mengerti maksud Diah apa padanya. Tersenyum dengan dahi yang mengkerut cukup jelas.

Diah cukup kaget mendapati laki-laki asing mirip Mike. Matanya melotot, dahi yang menyernyit. "Ngapain lu kesini..?!" mengamati laki-laki dihadapannya dari atas hingga ke kaki, ada perbedaan yang mencolok dari laki-laki dan Mike. Rambutnya. Austin mempunyai rambut lebih terang mengikuti ayahnya. "Pake ganti warna rambut lagi, elu kira gue gak akan ngenalin lu, Hah?! Biarpun elu ganti warna rambut sampe ratusan kali, gue tetap tau kalau elu laki-laki brengsek itu..!!" Kata Diah nyerocos.

"Maksudnya?"

"Pake nanya lagi?!" Diah bertambah naik pitam mendapati laki-laki dihadapan pura-pura bodoh. Sesaat pikirannya kembali pada kejadian di gubuk. Masih terlalu dini Diah melupakan kejadian yang amat menyakitkan itu. "Elu lupa apa yang bar.."

"Ada apa ini?!" Adrian menghentikan ucapan Diah yang hampir keceplosan berucap.

"Ayah ngapain bawa laki-laki ini kesini?!" Tanya Diah masih emosi.

"Ooh.., tadi nak Austin pingsan dipintu masuk, wajahnya membiru dan para warga ketakutan menampung dia. Jadi, ya Ayah suruh bawa ke sini." Terang Adrian.

"Tunggu.., tunggu..!!" Henti Diah mendengar nama Austin disebut bapaknya. Cowok bule berambut coklat terang itu hanya melongo mendengar percakapan bapak dan anak itu. Cukup asing buat telinganya.

"Tadi Ayah bilang nama dia, Austin?" Tanya Diah sambil menunjuk kearah adiknya Mike itu.

Adrian mengangguk. "Kalian saling kenal?"

Diah menggeleng. "Jadi bukan Mike?"

Kali ini Adrian menggeleng. "Siapa Mike?"

"Dia.."

"Mike..?" Pekik Austin ketika telinganya menangkap nama kakaknya itu disebut Diah. "Do you know where is he?" Diah mengabaikan pertanyaan Austin.

Diah terus berjalan setelah pamitan dengan Ayahnya buat beristirahat dikamar. Laki-laki berasal dari London itu mengikuti langkah Diah. "Hei.. please tell me, where is Mike..?!"

"I don't know. Please, let me alone." Jawab Diah jutek. Terlanjur kesal dengan cowok bule macem Austin dan Mike.

Austin berusaha mengejar Diah dan berhenti di depan anak cewek dari laki-laki yang menolongnya. Tangannya membentang, menghalangi Diah masuk kedalam kamar. "I just want know, where is my big brother?" Diah diam, dihadapannya sekarang adalah adik dari seorang laki-laki asing yang telah menodainya.

Sunyi.

Diah dan Austin cuma bertatapan dengan wajah serius.

Adrian di belakang, hanya menatap bingung dari kejauhan. Walau ia mengerti sedikit bahasa inggris, namun buatnya Bahasa Inggris merupakan bahasa yang rumit menurut pemikiran Adrian. Diah membalas tatapan nanar Austin yang terlalu mengintimidasinya.

"I said, i don't know where is your brother..?!" Tegas Diah setelah beberapa menit hanya bungkam. Lalu menyingkirkan tangan Austin yang terlalu menghalangi jalannya. Masuk kamar dan menguncinya.

Di dalam kamar, Diah terdiam. Berdiri tanpa kata, membisu dalam keheningan kamarnya. Bayangan itu kembali lagi, datang menghantui dirinya. Pemerkosaan itu juga membuat dirinya sedikit demi sedikit menjadi trauma.

Adiknya Mike berdiri memandang pintu yang tertutup. menghela nafas panjangnya, sebenarnya, Austin juga tidak tau ada masalah apa antara kakaknya dan Diah. Bahunya terangkat, tanda dia menyerah untuk mencari jawaban yang sempat terbesit di otaknya.

Kembali keruang tamu. Duduk diam sambil memikirkan kakaknya dihdapan Adrian yang menuangkan kopi dipiring tatakan.

Diah duduk dilantai, meringkuk. Lalu, air mata itu kembali menetes. Hatinya kalut, perasaannya galau. Ada rasa takut bila ia hamil, ada juga rasa perih saat dirinya di nodai laki-laki yang sepenuhnya tidak ia cintai.

Begitu juga Akbar, dia pulang dengan wajah kusut. Ada amarah yang masih tersisa di hatinya. Marah, sangat marah pada Mike serta pernyataannya. Ia seperti orang kerasukan, melempar semua barang dikamarnya. Ia juga tidak tau kenapa harus marah, Akbar hanya tau dirinya mencintai Diah dari sangat muda usianya.

Taman kanak-kanak, disitulah tempat dia bertemu Diah. Anak perempuan manis nan imut yang selalu malu-malu memandangnya. Tersenyum manis saat dirinya memberi roti walau hanya sepotong. Diah kecil tak punya teman, gadis kecil itu lebih senang menyendiri dibanding bergaul dengan teman-temannya.

Akbar yang pertama menegur. Awalnya hanya ingin tau kenapa Diah selalu tersenyum padanya. Disitulah keakraban terjadi diantara mereka, sebagai teman yang saling menjaga. Walau kadang Diah sering mencuri-curi pandang ke Akbar. Sekolah bareng dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, sayangnya, Diah tak pernah melanjutkan walau sebenarnya Diah jauh lebih encer otaknya.

Laki-laki yang kini duduk dipinggiran ranjang menyandarkan kepalanya ke dipan ranjang, di tatap sendu nan sayu foto Diah saat bersamanya di hari studytour waktu itu. Perpisahan sekolah SMK Budi Luhur. Ya, Akbar ingat semua tiap kejadian yang sengaja ia simpan rapih di benaknya. Bahkan, cintanya sudah ia tetap sedemikian rupa agar tak ada lagi gadis yang masuk kedalam hatinya. Hanya untuk Diah dulu hingga maut menghampiri mereka berdua.

Tapi sekarang..

"Kenapa harus laki-laki asing itu? Kenapa harus laki-laki itu, Diah?" Rasa bencinya ia ekspresikan dalam mimik wajahnya. Benci pada Diah.

Dilempar figura berisi foto dia dan Diah. "Br*ngs*k.. dasar cewek br*ngs*k.. gue nungguin perjodohan sampe selama ini untuk bisa jadi milik gue, tapi elu ngelakuin itu sama cowok bule yang belum pernah elu kenal itu.." teriaknya memaki foto yang tergeletak diantara serpihan kaca dan patahan figura.

"Akbarr.. kamu kenapa, Nak?" Ibunya kuatir, mengetuk-ketuk pintu berkali-kali. Akbar diam tak pedulikan panggilan ibunya yang tak sabar minta dibukain pintu.

Cukup lama berdiam, lalu ia beranjak bangun dan membukakan pintu kamarnya. Di balik pintu, wajah cemas ibunya terlukis jelas.

"Kamu kenapa, Bar?" Tanya ibunya bingung setelah melihat keadaan kamar anaknya layaknya pesawat jatuh. Nyelonong masuk tanpa minta persetujuan Akbar. Dia ambil foto Diah dengan raut wajah geram. "Diah lagi?" Tanya ibunya sembari menunjukan foto dari lantai.

Akbar diam, memandang sebentar lalu menunduk. Ibunya terlanjur kesal pada sikap anaknya itu. Sudah berkali-kali di ingatkan agar tidak lagi berurusan dengan gadis bernama Diah itu, masih saja putera satu-satunya menyimpan perasaan pada anak perempuan Adrian.

"Udah berapa kali ibu bilang, jauhin Diah. Tapi tetap aja kamu deketin anak si Adrian itu." Lalu ibunya memandang lekat tubuh anaknya. "Liat dirimu sekarang, kayak anak yang gak diurus. Ini nih akibat mikiran cewek gak jelas asal usulnya."

"Diah punya ayah.. jadi cewek yang ibu bilang ga jelas itu masih punya ayah." Bela Akbar dengan suara yang nyaris tak terdengar telinga ibunya.

"Apa..?! Kamu masih belain si anak haram itu..?!"

Akbar menegakkan kepalanya.. "kalau ibu punya masalah dengan Om Adrian, jangan pernah nuduh Diah sebagai anak haram." Sergah Akbar dengan tegas.

"Emang Diah itu anak haram..! Buktinya ibunya kabur sama laki-laki lain."

"A..pa? Bukannya ibunya Diah meninggal?"

"Gak..! Istrinya Adrian kabur dengan laki-laki lain karena Adrian terlalu miskin."

"Jadi..?!"

"Iya, Adrian menyembunyikan itu dari Diah yang sebenarnya terjadi."

Akbar menggeleng.

"Gak mungkin.. ibu jangan mengarang cerita..?!"

"Kamu bilang ibu mengarang cerita..?!"

"Ya, sebab ibu juga menyukai Om Adrian kan?"

"Ba..gaimana kamu tau?"

"Udahlah bu, ibu gak perlu tau siapa orang yang kasih tau Akbar. Dan sekarang Akbar pengen istirahat, capek..!"

"Apaaa? Kamu.. kamu ngusir ibu?"

Akbar meninggalkan ibunya yang masih mengoceh, di buka pintu kamarnya. "Aku capek, ibu bisa keluar sekarang?!" Ungkap Akbar, bosan mendengar pecakapan yang selalu diulang-ulang ibunya. Saat ini, dia masih pengen sendiri tanpa diganggu ocehan ibunya itu.

"Bisa-bisanya kamu ngusir ibu?!"

"Aku cuma gak mau berdebat sama ibu dengan masalah yang sama..!" Ujar Akbar, tetap beradi diambang pintu.

Ibunya mendengus kesal.. "baik, kalau emang itu pendirian kamu. Ibu harap kamu menyesal dikemudian hari atas mengabaikan ucapan ibu."

Di tutup pintu kamarnya kemudian. Ia berjalan dengan gontai. Pikirannya seketika mengelak tentang ucapan Mike padanya satu jam lalu. Di raih ponsel di atas meja, lalu Akbar mencari nama Diah pada phonebook. Didengarkan nada sambung, namun..

Diah masih tetap dalam keadaan sama. Menangis di dekat pintu. Ia mendongak kemudian. Tak ingin mengangkat, apalagi setelah tau siapa nama penelpon di layar ponselnga. Diah merasa berdosa pada Akbar. Ia merasa tak lagi pantas berharap Akbar tetap menyukainya yang sudah ternoda itu.

Sekali dicuekin, Akbar terus menelpon Diah berkali-kali tanpa menyerah. Ia butuh penjelasan Diah agar hatinya tak lagi gelisah seperti saat ini ia rasakan.

"Ayo dong, angkat Diah..! Gue butuh kejelasan dari elu."

"Halo..!" Suara lembut Diah terdengar dari seberang sana.

"Diah, bisa kita bicara sebentar?"

Hening cukup lama.

Di hati Diah ada perasaan ragu untuk bilang 'iya'. Anak perempuan Adrian satu-satunya duduk di dipan jendela. Dipandangi langit yang mulai menghentikan intensitas air hujan yang turun. "Kakak mau ketemu dimana..?!"

"Balai desa. Mau kan?"

"Balai desa..?!" Sahut Diah mengulang ucapan Akbar dengan ragu.

"Iya, lu mau kan?" Tangan Akbar memungut foto Diah yang dibuang ibunya tadi. Dipandangi sesaat lalu di remas dengan kesal.

"Ya, gue mau." Diah menjawab dengan penuh tanda tanya. Balai desa cukup sepi untuk dilalui orang.

"Oke, nanti gue tunggu di depan balai desa." Pembicaraan berakhir dengan ditekannya tombol ber-icon telepon berwarna merah. Akbar bersiap-siap. Keluar kamar dan tidak memperdulikan teriakan ibunya dari mejad makan. Diah pun sama, bersiap diri untuk bertemu laki-laki yang sangat ia sukai itu.

Namun berdiam diri didepan cermin, menatap dirinya sendiri dari ujung rambut hingga ujung kakinya. "Apa gue masih pantas ketemu Akbar?!" Pikirnya merasa kotor. "Dia terlalu suci untuk bertemu cewek kotor seperti gue..!" Pikirnya lagi, tanpa terasa setetes butiran bening terjatuh ke lantai dari pelupuk matanya.

Napas ditarik sangat panjang. "Mungkin gue harus bilang pada Akbar tentang keadaan yang sekarang." Lagi, benaknya mencari solusi terbaik untuk hubungan keduanya.

Sedangkan Akbar.. "gue harus dapetin Diah, gimana pun caranya gue harus dapetin Diah..!" Berpikir bagaimana cara mendapatkan hati sang gadis yang ia cintainya itu.

****

Bersambung..