"Bi, apa bibi melihat Ayssa?" Aku menghampiri bibi yang tengah membereskan piring di dapur.
"Oh Ayssa? Tadi dia minta izin pada bibi buat ke balkon."
"Oh ya? Kenapa aku tak tahu?"
"Dia minta izinnya ketika kamu sedang salat subuh."
"Ohh begitu. Apa dia masih sama seperti kemarin kah bi?" Tanyaku penasaran.
Bibi mengangguk. "Iya, rein. Melihat kondisi Ayssa seperti itu bibi sangat kasihan. Ayssa yang bibi tahu ceria, kini bibi merasa kehilangan semua itu."
"Sama bi," aku menjawab lemas, "dia begitu terpukul dengan kenyataan yang sedang ia hadapi."
"Nah, sekarang lebih baik kamu ke sana dan hibur dia. Semoga saja dia merasa lebih tenang."
Aku mengiyakan anjuran bibi lalu segera ke balkon.
Setelah sampai di atas, aku melihat Ayssa sedang berdiri mematung. Aku menghampirinya dan melihat sorot matanya yang begitu kosong. Sebenarnya tak tega sekali melihat dia seperti itu, tapi aku sulit membuatnya kembali menjadi Ayssa yang ku kenal.
Aku mencoba mencari cara untuk menghibur dia. Karena setelah kedatangan ku tadi, dia tak mengucapkan satu kata apa pun.
"Ayssa?" Aku membuka suara, "apa kamu tahu sesuatu?"
Dia menggeleng pelan.
"Dulu, kalau aku sedang diliputi kesedihan, kesal, marah dan hal yang membuatku tak berselera untuk melakukan apa pun, aku selalu di sini. Sama seperti apa yang kamu lakukan saat ini."
"Oh ya?" Matanya masih tertuju pada satu titik.
"Iya. Bahkan ketika aku sekolah dulu dan sedang dirundung masalah, Alif selalu mengatakan hal yang membuat aku sadar untuk tak harus seperti itu. Apa kamu ingin tahu apa?"
"Katakan."
"Ketika luka membuatmu rapuh, bagaimana nantinya kamu bisa bangkit? Sedangkan luka yang ada di hati pasti selalu membayangimu di setiap langkah." Aku memperagakan cara Alif mengatakannya.
Ayssa menolehku sesaat, "mendengar kamu mengucapkan itu, aku jadi teringat ucapan kak Hamzah yang sama persis seperti apa yang Alif katakan kepadamu."
Aku menepuk kening tanpa sepengetahuannya. "Aduh, rein. Katanya kamu sedang berusaha menghibur Ayssa, tapi kenapa malah kamu sendiri yang mengingatkannya lagi pada Hamzah?" Batinku menggerutu.
"Kamu tak usah menghiburku Rein. Aku baik-baik saja kok. Aku hanya ingin mengobati diri sendiri saja." Ucapnya kemudian.
"Tapi aku tak ingin melihatmu seperti ini."
"Aku juga tak ingin melihat kak Hamzah diperlakukan seperti itu. Semalam saja aku tak bisa tidur karena terus memikirkannya."
"Eh," aku mengingat kejadian kemarin, "bukankah setelah aku memberimu air minum hangat kamu langsung tidur?"
Dia menggeleng. "Tidak, Rein. Aku tidak tidur. Bagaimana mungkin aku bisa tertidur lelap sedangkan aku tak tahu kondisi kak Hamzah saat itu seperti apa?"
"Benar juga," kataku. "Tapi kenapa kamu tak menelepon ayahmu saja? Untuk memastikan kondisi Hamzah?"
"Aku ragu Rein. Aku takut papa tak mau mendengar aku mengucapkan nama kak Hamzah."
"Coba saja dulu. Kamu kan tahu papa sangat menyayangi Hamzah."
Ayssa memandangku tanpa mengatakan apa pun.
Aku mengangguk. "Coba saja."
Ayssa lalu merogoh sakunya membawa ponsel. Setelah itu dia menelepon ayahnya.
Tak berselang lama, panggilannya itu dijawab oleh sang ayah.
Sementara itu, aku meminta izin pada Ayssa untuk mandi dulu ke bawah. Dia mengiyakannya.
Aku segera mengambil baju dan ke kamar mandi. Selang beberapa menit, aku kembali ke kamar dan bersiap diri. Menyisir rambut, memakai bedak dan body lotion. Tak lupa mengikat rambut dan memakai jilbab. Setelah itu aku semprotkan parfum ke bajuku.
"Rein," aku melihat bibi sudah berdiri di depan pintu, "bibi boleh masuk?"
"Bibi?" Sedari tadi aku tak menyangka bahwa bibi memperhatikanku, "silakan bi, ini juga kan rumah bibi."
Bibi tersenyum lalu duduk di tepi kasur. "Bagaimana dengan Ayssa? Apa dia sudah tenang?"
"Sekarang sudah lebih baik bi. Bibi jangan khawatir."
"Memangnya apa permasalahannya hingga dia seperti itu?"
Aku mulai menceritakan secara rinci kejadian tadi malam dari awal aku dan Alif menemui Ayssa, lalu berteduh di gubuk hingga Hamzah dibawa oleh para polisi.
Bibi seketika menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. "Oh ya Allah. Apa semua itu benar?"
"Aku juga bingung bi. Hamzah telah mengakui perbuatannya sementara Ayssa menyangkal itu semua. Aku dan Alif tak bisa memastikan siapa yang benar dan siapa yang salah."
"Lalu bagaimana ini? Bibi juga tak percaya Hamzah bisa melakukan itu semua."
Aku menaikkan bahuku. "Entah aku juga bi. Sepertinya polisi sedang mengusutnya lebih jauh. Semoga saja apa yang kita kira, tak sebenarnya terjadi.
"Aamiin." Sahut bibi, "lalu di mana Ayssa?"
"Masih di balkon."
"Baiklah. Lebih baik sekarang ajak Ayssa kemari dan sarapan. Bibi sudah membelikan kalian bubur."
"Baik bi."
Ketika aku akan berdiri, ayssa tiba-tiba datang dengan raut yang ketakutan.
"Rein, ini gawat." Serunya.
"A-ada apa?" Aku tak tahu apa yang terjadi. Sementara itu bibi dengan sigap pergi menemui Alif.
"Tadi ketika aku menelepon papa dan menanyakan kondisi kak Hamzah, papa bingung dan malah balik menanyakannya padaku."
"Lho? Kenapa bisa?"
"A-ku," aku mendengar suara Ayssa yang gemetar, "awalnya aku berusaha menjelaskan kepada papa tentang kejadian tadi malam. Lalu...."
"Lalu apa?" Tanyaku semakin penasaran.
"Lalu saat aku menceritakan tentang kehadiran para polisi itu yang mengatasnamakan papa, papa begitu kaget. Papa tak pernah mengirim siapa pun termasuk polisi ke sana saat itu. Bahkan papa saja tak tahu di mana kak Hamzah sekarang."
Seketika aku membulatkan kedua mata. "Apa?! Lalu polisi itu?"
"Mereka bukan polisi. Sepertinya mereka adalah penjahat yang menyamar menjadi polisi. Karena beberapa hari terakhir ini ada tiga pria yang sedang menjadi buronan polisi," Ayssa mengontrol emosinya lalu terdiam sesaat, "sebenarnya papa juga memang sudah mengurusi masalah pencurian uang itu ke pihak berwenang. Tapi papa tak merasa mengirimkan polisi saat kejadian, apalagi menyuruhnya ke belakang gedung. Untuk apa juga katanya."
Lututku tiba-tiba lemas lalu duduk di tepi kasur. Aku meraup wajah dan menggaruk kepala dengan gusar.
"Aku tak tahu bagaimana kondisi kak Hamzah saat ini," Ayssa mulai menitikkan air mata, "dia...."
"Dia apa?" Tanyaku.
"Dia dibawa oleh para penjahat itu, sementara aku membiarkan mereka membawanya pergi." Ayssa menangis histeris sambil memukul-mukul kepalanya, "aku bodoh. Aku adik yang bodoh!"
Aku segera memegang kedua tangannya. "Jangan bertindak seperti ini Ayssa. Tenanglah."
"Bagaimana aku bisa tenang?" Suaranya mulai meninggi, "sekarang kakakku entah ada di mana. Aku juga tak tahu bagaimana kondisinya saat ini. Kamu tahu Reine? Aku sangat menyayangi kak Hamzah lebih dari aku menyayangi diriku sendiri. Aku begitu takut Reine. Aku takut." Aku memeluk Ayssa dengan lembut, tak terasa air mataku pun mengalir membasahi pipi.
"Aku merasakan itu Ayssa. Aku juga takut jika ada sesuatu yang terjadi pada Hamzah."
Dia segera melepas pelukanku lalu berdiri.
"Kamu mau ke mana?" Tanyaku.
"Aku akan mencari kak Hamzah." Katanya sambil mengusap air matanya.
Aku meraih tangannya tapi dia menepiskannya, "lepaskan aku Reine."
Ketika Ayssa akan pergi ke luar, aku segera menggenggam tangannya dan menariknya ke dalam lagi.
"Sadar, Ayssa! Kamu tak boleh bertindak seperti ini. Aku juga khawatir dengan Hamzah. Tapi pikirkanlah dengan tenang bagaimana cara untuk bisa mencari tahu keberadaan Hamzah. Yakinlah kita pasti akan segera menemukannya."
Mendengar itu, dia mulai melemah lalu duduk di kursi. Sambil terus menangis.
Sementara itu, aku melihat bibi dan Alif yang berlari kecil menghampiri kami.
"Ada apa?" Kata Alif.
Aku terdiam sembari berusaha membuat Ayssa tenang.
"Reine. Jawab aku! Apa yang terjadi?"
Sesaat aku menoleh Ayssa yang masih menangis. "Tadi ayssa menelepon ayahnya dan menanyakan kabar tentang Hamzah."
"Lalu?"
"Sebenarnya ayah Ayssa tak mengirimkan siapa pun saat kejadian itu. Bahkan ayah Ayssa pun tak tahu semalam Hamzah dibawa ke mana."
"Ha?" Dia terkejut. Aku pun bisa melihat raut bibi yang nampak bertanya-tanya juga.
"Polisi itu bukan datang atas titahan ayah Ayssa."
"Lalu mereka siapa?"
"Sepertinya mereka para buronan yang kemudian menyamar menjadi polisi."
"Ya Allah!" Alif langsung terduduk lemas, "ternyata dugaanku benar."
"Maksudmu?" Tanyaku.
"Yaa aku berpikir saja kenapa seorang polisi sikapnya begitu brutal ketika memukuli Hamzah dan teman-temannya itu."
"Lalu bagaimana ini Alif? Kita tak bisa diam saja. Perkara seperti ini begitu sulit."
"Benar," kata Ayssa sesenggukan. "Kita harus menolong kak Hamzah. Aku mohon, kalian bantu aku mencari kakakku satu-satunya itu. Aku, aku tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi selain kepada kalian."
Alif berusaha menenangkan. "Kamu jangan khawatir, kami akan menolongmu."
Sementara itu, bibi segera mengambil kunci mobilnya dan pergi menemui paman yang saat ini sedang di kantor. Bibi akan menjelaskan semuanya pada paman. Aku, Alif dan ayssa menyetujuinya.
"Bagaimana ini?" Tanyaku, "kita harus mencarinya ke mana?"
Alif berpikir sejenak. "Apa kamu pernah melihat atau merasa, Hamzah seperti tengah dirundung suatu masalah?" Katanya pada Ayssa.
"Aku tak tahu. Tapi," dia seperti sedang mengingat sesuatu, "aku selalu mendapatinya sedang sibuk menelepon di kamar. Aku pernah menanyakan kepadanya dengan siapa dia bicara, tapi kak hamzah menjawabnya begitu gugup lalu pergi meninggalkanku. Saat itu aku berpikir mungkin dia sedang tak mau diganggu."
"Lalu, apa kamu tahu apakah ada orang yang tak suka pada Hamzah?"
Ayssa menggeleng cepat. "Aku merasa tak ada. Bahkan orang-orang kantor dan orang-orang yang ada di rumah sakit sangat menyayanginya. Dia begitu ramah. Pribadinya sangat mudah diterima oleh siapapun. Bahkan di rumah juga, kak hamzah tak pernah memarahiku atau sekedar membentakku, dia tak pernah melakukan itu."
Aku memandang Alif yang sejurusnya juga dia memandangku. Kami bermain isyarat bagaimana cara agar bisa menemukan Hamzah.
"Baiklah, lebih baik kamu tenang dulu sekarang," ujar Alif pada Ayssa, "aku akan pergi mencari tahu."
"Pergi ke mana?"
"Entahlah. Aku akan mencoba mengelilingi daerah sini dulu. Semoga saja mendapatkan pencerahan."
"Aku ikut." Sahut ayssa sambil berdiri lalu mengusap air matanya.
Aku, Alif dan Ayssa akhirnya mencari tahu keberadaan Hamzah. Kami melihat ke kanan dan ke kiri semoga saja ada titik temu di sana. Sementara itu, ayah Ayssa sudah melaporkan kejadian ini kepada pihak berwenang. Para polisi sedang mengusutnya saat ini.
Tak hanya itu, kami juga turun dari mobil dan menanyakan kepada setiap orang yang berjalan atau sekadar nongkrong, harap-harap tahu atau pernah melihat Hamzah. Tapi ternyata jawaban mereka sama.
'Maaf, saya tak tahu.'
Tak ada kata putus asa kami mencari. Apalagi melihat kondisi Ayssa yang seperti ini, rasanya aku tak sanggup meninggalkannya sendiri mencari tahu.
Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan titik terang. Tapi semuanya seakan ditelan waktu. Tak ada yang tahu keberadaan Hamzah dan teman-temannya. Seakan kejadian semalam itu hanyalah angin lalu.
Sudah beberapa jam kami mencari. Tapi tak ada harapan baru dari hasil-hasil itu.
Karena lelah, kami memutuskan istirahat dulu di bawah pohon. Ayssa mengiyakannya, tapi matanya terus saja melirik ke segala penjuru jalan.
"Ini," Alif menyodorkan dua roti selai keju dan dua botol air mineral, "aku tahu kalian belum sarapan. Kebetulan juga di sini tak ada yang menjual nasi, jadi aku hanya bisa membelikan ini." Lanjutnya.
"Tak apa. Ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih." Ucapku sambil memberikan satu roti selai keju itu kepada Ayssa.
Dia menggeleng. "Aku tak mau."
"Kenapa?"
"Aku tak mau makan sebelum menemukan kak Hamzah dan memastikan kondisinya baik-baik saja."
Aku diam lalu mengisyaratkan agar Alif yang membujuknya.
"Tapi, menemukan Hamzah juga memerlukan energi. Kalau kamu tak makan, kamu akan lemas dan mudah jatuh sakit." Kata Alif menasehati.
"Tidak. Kalau tidak ya tidak."
"Tap-"
"Tidak rein," Ayssa menyela ucapanku, "bagaimana mungkin aku bisa makan dengan roti enak seperti ini, sementara aku tak tahu apakah kak Hamzah di sana sudah makan atau belum?" dia menatapku dengan mata berkaca-kaca, "prinsipku seperti ini, kalau kak Hamzah terluka, aku juga harus merasakan lukanya itu."
...