Alif mengendarai mobil bibi. Sebenarnya sebelum Alif kemari, bibi telah memberikan kunci itu pada Alif. Jadi sebenarnya dia ke rumah untuk menjemputku mencari Hamzah.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Untungnya, cuaca di sini tengah berpihak baik pada kami. Jadi tak perlu ada acara untuk hujan-hujanan lagi. Dan bagusnya, jalanan di sini lumayan ramai.
"Kita akan ke mana?" Tanyaku yang masih tak tahu arah tujuan.
"Kamu akan tahu sendiri." Dia menjawab seperti itu.
Aku tak bisa menanyakan apa pun lagi. Karena ketika Alif sudah berkata seperti itu, itu tandanya aku harus diam dan mengikuti alur yang Alif rencanakan.
Selang beberapa menit, mobil berhenti di pinggir jalan dekat dengan apotek itu. Aku bingung ketika Alif keluar tanpa mengatakan apa pun padaku. Aku hanya memperhatikan kemana dia akan pergi.
Tampaknya, sudah ada pria yang menunggu Alif di sana. Aku segera turun dan menghampiri mereka. Bingung? Iya. Karena aku masih tak tahu apa tujuan dari semua ini.
"Mbak." Dia tersenyum ramah kepadaku. Aku balik menyemuminya lagi.
Sementara itu, aku memberi isyarat pada Alif seolah-olah mengatakan, 'ada apa ini?'
"Sebenarnya," dia menatap sebentar padaku, "kamu masih ingat kan dengan pria ini?"
"Iya. Namanya amzar bukan?" Sahutku.
"Iya, mbak." Dia kembali tersenyum dan kepalanya menunduk.
"Jadi, dia akan membantu kita untuk mencari tahu keberadaan Hamzah."
"Benarkah? Bagaimana dia tahu?" Tanyaku memperjelas.
"Ceritanya seperti ini," Alif kembali mengajak ku dan amzar masuk ke dalam mobil. "Kemarin setelah mengantarkanmu itu, aku tiba-tiba bertemu lagi dengan Amzar. Dia bertanya padaku yang saat itu sedang gelisah. Kuceritakan semua permasalahannya. Dan Alhamdulillah, kita dipertemukan dengan orang yang pernah melihat Hamzah saat malam itu."
Aku terhenyak mendengar ucapan Alif. Seketika seperti ada angin lembut yang masuk ke dalam rongga dada.
"Apa benar?"
"Iya, mbak. Waktu itu saya melihat mas Hamzah pergi ke gedung itu, lalu tak lama kemudian saya melihat ada tiga pria berpakaian polisi yang membawanya pergi."
"Benarkah? Kamu saat itu di mana?"
"Saya di seberang mbak. Sedang nongkrong. Saya juga tak tahu kalau polisi itu ternyata para penjahat. Kalau ketahuan, mungkin sudah habis mereka."
"Lalu saat ini kita akan ke mana?"
"Agak jauh dari sini itu ada sebuah rumah kosong, ada hutan juga. Kita lihat-lihat saja di sana mbak. Biasanya suka ada preman yang nongkrong di rumah kosong itu."
"Oh ya? Jangan deh kalau ada preman. Takut saya."
"Tak apa mbak. Jam segini mereka itu tak ada di tempat. Suka jalan-jalan ke pasar majegin orang."
"Ya sudah kalau begitu."
Kami melewati jalanan yang diarahkan oleh Amzar. Lumayan terpencil, masuk gang tapi masih bisa dilalui mobil.
Tanpa berselang lama, amzar meminta Alif untuk berhenti.
Aku melemparkan pandanganku ke segala arah. Tempat ini sangat sepi. Bahkan yang aku lihat oleh mataku sendiri, hanya aku, Alif dan Amzar saja yang ada di sini.
Aku juga belum pernah ke tempat ini. Karena memang, hutan yang sudah ditumbuhi banyak belukar setinggi anak remaja ini semakin membuat suasana mencekam dan tak terjamah banyak oleh manusia lainnya.
Aku dan Alif diajak berjalan-jalan di sekitar tempat sini. Melihat sikap Amzar, dia seperti sudah tahu banyak tentang tempat ini beserta isi di dalamnya.
"Dulu, di sini sering dijadikan tempat penyekapan orang-orang. Kadang wanita, kadang pria. Anak kecil juga suka ada. Bahkan tak banyak dari mereka yang ditemukan tewas dengan kondisi yang tragis di sini." ujar Amzar.
Kesan merinding seketika menyusup ke area tengkuk hingga membuat bulu kudukku meremang.
"Memangnya kenapa para penjahat itu menyekap mereka?" Tanya Alif.
"Motifnya banyak. Ada yang dendam, ada yang iri, ada yang suruhan, ada yang sakit hati juga. Banyak pokoknya." Jelas lelaki dengan postur berisi itu.
"Lalu kenapa kamu tahu tempat ini? Maksudnya kamu tahu dari mana?"
"Saya sering lewat sini dari kecil, mas. Dan saya dapat berita seperti itu dari orang-orang yang tahu seluk beluk tempat sini."
Alif hanya manggut-manggut saja tanpa mengatakan apa pun lagi.
"Lalu kita akan ke mana?" Aku masih penasaran Amzar akan membawa kita ke mana, karena dia masih menyusuri hutan yang luasnya tak seperti hutan pada umumnya.
"Sebentar lagi sampai." ujarnya sambil menyingkap semak-semak yang menghalangi jalan kami. "nah itu!" Dia menunjuk sebuah rumah kosong pada kami, "mari kita ke sana." Ajaknya lagi.
Setelah didekati, rumah ini terkesan seram dengan banyak sekali jaring laba-laba di atas tembok. Tak hanya itu, bata merah yang menjadi dominan bangunan ini pun sudah banyak ditumbuhi lumut. Sepertinya rumah ini sudah lama tak berpenghuni.
Tatkala Amzar membuka pintu yang sudah tak dikunci ini, hawa lembab seketika menusuk kedua rongga hidungku. Suasananya yang kotor dan gelap menambah kesan horor jika berlama-lama diam di sini.
Isi bangunannya masih terbilang cukup lengkap. Di dalamnya ada sofa, lemari, bahkan ada beberapa buku yang tersimpan di atas meja. Tapi semua benda itu sudah tampak lusuh dan usang.
"Ada apa kamu membawa kita ke mari?" Tanyaku pada Amzar.
"Biasanya, orang-orang sering menyekap para korban di sini atau di gubuk yang letaknya tak jauh dari sini. Tapi katanya sih lebih banyak di sini."
Aku bisa melihat ada noda-noda darah kering yang mulai menghitam di tembok. Ada juga pakaian-pakaian bekas yang sobek dan berantakan di setiap tempat.
Aku bergidik ngeri melihat semua ini. Tak terbayang jika ada dan merasakan bagaimana kalutnya ketika berada di posisi para korban saat itu. Sepertinya kematian mereka sudah berada di ujung tanduk.
Aku hanya berdoa, semoga almarhum dan almarhumah di tempatkan di sisi-Nya yang paling mulia.
Setelah melihat-lihat, aku, Alif dan Amzar memencar ke beberapa tempat untuk mencari tahu apakah ada hal-hal yang berhubungan dengan Hamzah di sini.
Aku mencarinya di bagian kamar belakang yang lumayan luas. Ku buka setiap laci dan lemari yang sudah berdebu. Sudah beberapa kali juga aku bersin karena menghirup udara di sini. Tapi sepertinya tak ada hal yang mencurigakan di tempat ini.
Hingga ketika aku akan keluar, ujung mataku melihat suatu benda yang nampaknya masih baru di simpan. Ku perhatikan dan mulai mendekati benda itu. Sebuah tali tambang kecil yang tergulung acak seperti bekas mengikat seseorang. Tak jauh dari tempat itu, ku temukan juga sebuah tongkat kayu berukuran kurang lebih lima puluh cm yang tergeletak di sana dan sebuah lakban hitam.
Seketika aku mengerti dengan semua benda ini. Sepertinya para penjahat telah menculik seseorang dan menyimpan bekas alat-alatnya di sini.
Segera aku temui Alif. Dia memegang ketiga benda itu yang bisa dijadikan bukti untuk ke kepolisian nanti.
Tak lama kemudian, amzar kembali.
"Mbak menemukan sesuatu?" Tanyanya.
Alif memberikan tiga benda itu padanya. Dia hanya mengangguk-angguk kecil lalu menyerahkannya kembali pada Alif.
"Sepertinya ini benda yang baru saja mereka simpan di sini. Kelihatannya masih baru."
"Iya." Timpalku, "aku juga mencium aroma parfum pada tali itu."
Alif menciumnya untuk memastikan.
"Benar, ini parfum milik Hamzah." Sahutnya, "kita harus segera pulang dan memberikan semua benda ini pada polisi."
Aku dan Hamzah mengiyakannya lalu pergi dari tempat. Tapi sebelum itu, aku melihat sebuah gubuk yang tak jauh dari rumah ini, sama seperti apa yang Amzar katakan tadi.
"Sebentar." Aku menghentikan kedua orang itu yang berjalan di belakangku.
"Ada apa?" Tanya Alif.
"Kamu lihat itu?" Aku menunjuk gubuk yang ada di sana.
"Iya. Memangnya apa?"
"Kenapa kita tak coba mengunjunginya? Barang kali saja ada sesuatu yang bisa kita temukan. Entah kenapa juga aku penasaran dan ingin melihat-lihat gubuk itu. Pintunya pun terbuka."
"Benar juga," jawabnya, "apa kita mau ke sana?" Alif balik bertanya pada Amzar.
"Sebenarnya saya juga kepingin lihat gubuk itu. Tapi kita di sini sudah lama. Takutnya kalau lama-lama di sini, bisa keciduk para preman yang sudah pulang dari pasar."
"Memang, apa masalahnya?"
"Wah, besar sekali mas masalahnya. Gawat kalau para preman itu tahu ada manusia di sini selain mereka. Bisa habis kita."
Seketika noda-noda darah dari rumah itu terbayang di pikiranku. Lagi-lagi bulu kudukku meremang. Bukan karena takut ada hantu, tapi ngeri membayangkan kekejaman mereka seperti apa.
"Itu benar. Ya sudah, kita harus segera ke mobil." Ajakku pada mereka berdua.
"Tapi bukankah kamu mau ke sana? Aku juga penasaran ingin melihat gubuk itu." Langkah Alif malah belok dan akan menghampiri gubuk itu.
Untungnya Amzar segera menarik tangannya, "jangan mas. Bahaya. Kalau kita mau lihat gubuk itu, mending besok saja. Kalau sekarang takut keburu preman itu mengetahui kita."
"Iya, Alif. Kita lihat besok saja, ya." Pintaku memelas padanya.
"Tapi," tatapannya masih tak lepas dari gubuk itu.
"Alif, aku mohon...."
Dia memandang wajahku sekilas. "Baiklah, ayo."
Aku, Alif dan Amzar segera masuk ke dalam mobil dan mulai meninggalkan tempat itu. Rasanya, masih ada penasaran yang belum terbayarkan ketika aku di sana karena keterbatasan waktu.
Aku menatap lekat tiga benda yang aku simpan di pangkuan. Tali tambang, tongkat kayu dan lakban hitam. Apa benar para penjahat itu telah mengikat, memukul dan menutup mulut Hamzah dengan lakban ini? Apa iya korbannya itu Hamzah? Aku masih terus memikirkannya hingga mobil berhenti di depan kepolisian.
Di sana, sudah ada ayah Ayssa yang menyambut kehadiran kami dan berharap membawa kabar bahagia tentang Hamzah.
Namun sayangnya, hanya ada ketiga benda ini yang bisa kami serahkan pada polisi. Walau ada sedikit raut kecewa pada ayah Ayssa, tapi beliau banyak berterima kasih karena sudah ingin membantu mencarikan Hamzah kepada kami.
Setelah ada perbincangan sedikit, kami meminta izin pada ayah Ayssa untuk pulang.
Di sepanjang perjalanan, kami banyak mengobrol dengan Amzar. Mulai dari mana ia berasal, usia berapa, kenapa bisa bertemu dengan Alif, dan hal lainnya hingga tak terasa mobil sebentar lagi akan melewati apotek yang kemarin Amzar telah membantu memperbaiki mobil kami.
"Mas, saya turun di sini saja."
"Lho, kenapa? Apoteknya sudah di depan, tanggung."
"Tak apa mas. Turunkan saya di sini saja. Saya mau makan dulu."
"Oh baiklah," Alif menepikan mobilnya lalu memberikan beberapa lembar uang pada Amzar.
"Ini apa mas?" Tanyanya keheranan.
"Kamu mau makan kan? Ini uangnya, ambilah." Alif menyodorkan uang itu padanya.
"Oh tak usah mas," dia terkekeh kecil, "saya ada uang kok."
"Tak apa. Ini buat kamu saja." Alif berusaha memaksa Amzar untuk mengambil uang itu.
Tapi di sisi lain, Amzar bersikeras tak ingin menerimanya.
"Saya ikhlas membantu mas dan mbaknya."
"Tapi,"
"Mas pegang saja uang itu. Saya ada uang kok buat makan. Lagi pula saya hanya berniat membantu, tidak ada niat lain lagi. Jadi, saya tinggal dulu ya mas, mbak." Dia menoleh kepadaku dan Alif sesaat sambil menorehkan senyuman kecil, "kalau besok masih butuh saya, temui saja di tempat biasa tadi. Saya biasa nongkrong di situ soalnya." Dia membuka pintu mobilnya.
"Baiklah, terima kasih atas semua bantuannya. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu berlipat ganda." Seru Alif.
"Iya mas. Aamiin, saya tinggal ya." Amzar kemudian pergi meninggalkan kami.
Sementara itu aku dan Alif melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Sejujurnya, hatiku dan Alif masih tak tenang. Apalagi setelah melihat barang bukti tadi, membuat perasaan kami lebih kalut dari sebelumnya. Rasanya ingin sekali menguak lebih jauh tentang kondisi dan keberadaan Hamzah saat ini.