Mimpi tadi selalu saja menghantui pikiran. Suasana mencekam di gubuk tua itu masih terasa nyata aku hadapi dan alami. Keringat sedari tadi terus membasahi pelipis.
Bayangan Alif kembali berseliweran di kepala. Kehadirannya memang tak ada, tapi aku bisa merasakan sosoknya yang selalu ada dan menenangkanku.
Aku terus mengucapkan kalimat istigfar di dalam hati. Sesak sekali membayangkan bagaimana jadinya hidupku nanti tanpa iringan langkah dari Alif.
Tak tahu mengapa aku takut sekali kehilangan. Walau aku tahu di setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Cincin yang melingkar ini, selalu mengingatkanku pada ucapan dan tutur katanya. Sikapnya yang begitu sopan dan selalu menjaga kehormatan wanita, membuatku tak mampu lagi bagaimana bisa menghadapi kenyataan yang begitu pahit ini.
Aku tak menyangka takdir kita begitu menyakitkan, Alif. Sungguh keji orang-orang yang tega menyakitimu di sana. Aku tahu lukamu dan rasa sakitmu itu. Aku bahkan bisa merasakannya. Tapi sayangnya, aku belum bisa menemukanmu di mana.
Maafkan aku. Di setiap kesulitan yang aku hadapi, kamu selalu hadir sebagai perantara penyelamat bagiku. Aku jadi teringat saat aku dikejar oleh para preman yang ingin menjegal uang dan ponselku. Kamu selalu hadir di saat yang tepat. Melindungi dan menjagaku dengan harap kita akan kembali melangkah bersama.
Namun aku bodoh. Di saat kamu menderita dan membutuhkan sebuah pertolongan, aku tak bisa apa-apa. Aku sendiri bahkan tak tahu kamu di mana dan bagaimana keadaannya sekarang.
Sekali lagi, maafkan aku, Alif. Aku belum bisa menjadi bayangan di setiap langkahmu.
"Rein," seseorang menepuk pundakku pelan. Aku terhenyak ketika melihat Ayssa sudah duduk di belakangku.
"Kamu sudah bangun?" Tanyaku.
"Seharusnya aku yang bertanya. Kamu tak tidur ya?"
Aku memalingkan wajah.
"Istirahat itu penting, Rein. Kamu harus tidur."
"Bagaimana bisa, Ayssa? Aku tak bisa tidur sejak Alif hilang. Hatiku rasanya tak tenang sekali."
"Sekarang pukul berapa?"
"Setengah lima. Sebentar lagi azan subuh."
"Jadi sedari kamu bangun karena mimpi buruk itu, kamu tak tidur lagi?"
Aku mengangguk. "sangat sulit."
Ayssa memegang kedua pundakku, "kita harus kuat Rein. Kita akan terus mencari kakak dan Alif sampai ketemu. Mereka sedang diuji, dan kita harus sabar dengan semua itu. Kamu tahu? Kakak pernah bilang, jika seseorang sedang ditimpa cobaan, hanya ada dua cara yang bisa kita lakukan. Menolongnya kalau mampu, atau mendoakannya ketika usaha kita tak membuahkan hasil."
"Dan kita harus melakukan dua cara itu." ujarku mantap.
"Benar. Sampai titik darah penghabisan." Ayssa memberikan jari kelingkingnya padaku, "kita harus kuat."
Aku menyatukan kelingkingnya dengan kelingkingku, "benar, kita harus kuat."
Tak terasa, azan subuh berkumandang. Aku dan Ayssa segera keluar dari kamar untuk berwudu dan salat berjamaah, aku yang menjadi imamnya.
Entah mengapa dalam salat ku ini, aku merasa banyak sekali yang memberiku kehangatan dan ketenangan yang luar biasa.
Aku jadi belajar, bahwa di setiap masalah yang kita hadapi, Allah juga harus dilibatkan. Awalnya aku sempat menyerah dengan keadaan yang membuatku seakan jatuh pada jurang kesunyian, tapi sekarang aku sadar bahwa Allah akan selalu ada bersama kita kalau kita juga mengingat-Nya. Karena Dia-lah, sebaik-baik penolong dan pelindung dalam setiap masalah.
Kalau aku belum bisa menemukan Alif dan Hamzah, setidaknya aku percaya bahwa Allah tengah menjaga mereka berdua.
Aku juga pernah merasakan kehilangan Alif selama lima tahun. Dan di setiap doaku itu, aku selalu menyelipkan namanya, berharap dia kembali atau setidaknya selalu sehat di manapun ia berada.
Aku yakin Allah pasti mendengar doaku. Hanya saja aku sedang diuji, bagaimana caraku menghadapi lima tahun yang hampa itu tanpa iringan langkah bersamanya.
Cukup sulit memang. Tapi sejatinya kalau kita percaya, Allah pasti akan mengirimkannya kembali.
Kalau pun tidak, Allah pasti akan menggantikannya dengan yang lebih baik.
Aku dan Ayssa sama-sama membisu dalam diam. Saling menggantung semoga dan harap dalam tangisnya masing-masing. Karena kita tak akan pernah tahu, rencana Allah akan seindah apa.
...
Setelah salat subuh, aku dan Ayssa segera pergi ke balkon untuk menghirup udara sejuk pagi hari di kota Bogor.
Anginnya begitu menenangkan, kicauan burung merpati seakan memberi ketentraman pada hati. Hari ini nampak indah, tapi aku rasa masih tetap ada yang kurang.
Sudah beberapa menit di sini, aku belum menemukan cahaya terang yang terbit di ufuk timur. Awan abu menghiasi langit pagi di kota ini. Aku yakin tak lama lagi hujan akan turun.
"Rein," ujar Ayssa kemudian tanpa menatapku.
"Ya?" jawabku.
"Apa alam juga sedang menangis?"
"Maksudmu?"
"Aku pernah dengar igauan kakak. Katanya kalau cuaca sering mendung seperti ini, itu tandanya dia sedang merasakan sakit yang kita alami."
Aku tersenyum. "Bukan karena musim hujan?"
"Nah itu, Reine. Aku juga menjawab pernyataan yang sama sepertimu. Tapi kakak malah tertawa lalu bilang, kamu belum mengerti. Lantas setelah mengatakan itu dia pergi saja, padahal aku sama sekali tak mengerti dengan ucapannya."
"Mungkin saat itu kakakmu sedang dirundung masalah, Ayssa. Jadi dia merasa bahwa kondisi alam sama-sama berpihak dengan kondisi hatinya saat itu."
"Benar, Rein. Aku juga tak habis pikir dengan kak Hamzah. Aku juga tak habis pikir dengan diriku sendiri. Karena di setiap permasalahan yang datang untuk kakak, aku selalu bisa merasakannya. Walau kakak tak mengatakan apa pun tentang itu padaku. Begitupun sebaliknya, kakak juga merasakan hal yang sama."
"Jiwa kalian sudah bersatu Ayssa. Jadi kalian bisa sama-sama merasakan luka walaupun masing-masing tidak saling mengungkapkan. Aku sangat beruntung bisa bertemu dengan orang yang saling menyayangi siapapun tanpa pamrih sepertimu. Walaupun kalian bukan saudara kandung, tapi kedekatannya melebihi orang yang memiliki ikatan darah."
Dia memelukku, "setidaknya obrolan kita kali ini, membuatku merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Aku merasa kakak ada bersamaku. Kamu juga merasa Alif ada bersamamu kan?"
"Tentu." Aku mengusap kepalanya.
"Rein, apa kamu ta-"
Prankk!!!
Aku dan Ayssa terhenyak ketika mendengar suara benda pecah di bawah. Aku segera turun berlari dan mencari ke sumber suara. Aku juga mencari bibi dan paman, tapi entah mengapa mereka tidak ada di rumah.
Aku lari ke dapur, tapi tak ada suatu hal yang mengganjal. Aku masuk ke kamar, tapi tak ada juga. Hingga aku masuk ke ruang tamu, betapa terkejutnya aku ketika melihat jendela kaca pecah karena dilempar batu yang ukurannya lumayan besar.
Aku membuka pintu, mencari siapa pelaku yang telah melakukan semua ini. Karena tak mungkin kalau ini hanyalah ulah anak-anak jahil. Lagi pula ini masih pagi, anak-anak pasti masih berada di rumah dan orang tuanya pasti melarang mereka untuk keluar.
Aku kembali masuk ke rumah dan mendapati Ayssa tengah membaca sebuah surat. Aku menghampirinya yang hanya diam dan tak berkutik ketika sudah selesai membaca itu.
Aku duduk lalu Ayssa memberikan kertas itu padaku. Melihat gelagatnya yang seketika berubah, aku yakin, ada sesuatu yang tak beres pada isi surat ini.
'Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Sisa lima hari lagi harapan kalian untuk mencari Alif dan Hamzah.
Saran kami, tak usah lelah menangisi semua itu. Karena dengan tangisan kalian, tak lantas membuat mereka kembali dengan kondisi sehat.
Teruslah berdoa, kami ingin tahu bagaimana mustajabnya doa kalian hingga membuat ke dua pria ini yang kondisinya tinggal menunggu ajal, bangkit lalu memukuli kami dengan keras.
Karena kalian harus tahu, inilah surat pengantar kematian terakhir yang kami kirim untuk kalian. Selebihnya, nantikan jasad mereka di rumah Hamzah.'
Ku robek kertas ini menjadi berkeping-keping. Rasa kesal semakin bergejolak dalam dada. Mereka sungguh biadab. Mempermainkan aku dan Ayssa seolah-olah kami tak bisa berbuat apa-apa.
Aku mengejar pelaku yang telah melakukan semua ini. Kalau tertangkap, tak akan pernah aku lepaskan sebelum polisi datang membawanya.
"Reine, tunggu!"
Aku tak menggubris ucapannya.
"Reine!!!" Ayssa menarik tanganku dan kembali membawaku ke rumah, "lihat itu!" Dia menunjuk lantai yang sudah banyak bercak-bercak darah.
"Darah siapa ini?" Aku segera melihat kaki Ayssa, "Apa kamu baik-baik saja? Mana yang terluka? Tunjukkan kakimu."
Kakinya sulit digerakkan.
"Ayssa, angkat kakimu, aku ingin melihat lukamu!"
Ayssa membuatku duduk dan meluruskan kakiku, "kamu yang berdarah Reine. Ketika kamu berlari keluar tadi, kakimu menginjak serpihan kaca ini. Apa kamu tak merasakannya?"
Aku terdiam lalu memeriksa telapak kakiku yang memang sudah berdarah.
Aku heran bahkan tak merasa perih saat berlari tadi.
"Sadar Reine sadar! Kamu rela mencari pria itu sedangkan kamu sendiri terluka." Ayssa nampak begitu khawatir, "tunggu di sini, aku akan membawakanmu alkohol."
Aku terus bertanya pada diri sendiri. Karena memang luka yang ku
alami ini tak sama sekali menimbulkan rasa sakit. Aku bahkan tak memikirkan itu, aku hanya kesal pada orang yang sudah meneror kami dengan hal busuk seperti ini.
Aku berdoa semoga Allah membalas perilaku mereka.
"Sebentar," Ayssa kembali lalu mengobatiku, "cukup bersikap seperti ini, Rein. Aku tak mau melihatmu terluka lagi."
Aku memperhatikan wajahnya yang nampak khawatir. Matanya berkaca-kaca sambil terus mengomeliku dengan ucapan-ucapannya.
"Kamu tak usah cemas, Ayssa. Aku baik-baik saja."
"Tapi aku takut, Rein. Kita itu harus kuat. Kalau kamu terluka, bagaimana caraku menemukan kakak dan Alif kalau tanpamu?"
"Iya, iya. Maafkan aku." Aku memegang kedua telingaku, "sudah kamu juga jangan menangis ya. Mungkin sikapku tadi terlalu ceroboh." Aku mengusap air matanya.
"Kamu tak usah takut. Aku akan selalu bersamamu dalam situasi apa pun. Khususnya dalam mencari keberadaan Alif dan Hamzah."
Dia tersenyum penuh arti. "Baik, sekarang kamu jangan memikirkan hal seperti ini dulu dan biarkan aku mengobati lukamu dulu."
Seketika aku mengingat sosok Amzar. Pria baik yang selalu menolongku dan Alif saat itu, apa aku harus memintanya lagi untuk menolong aku dan Ayssa? Karena dia salah satu orang yang tahu banyak tentang seluk-beluk tempat itu.
Aku juga meminta saran pada Ayssa, Ayssa menyetujuinya lalu aku segera menghubungi nya lewat pesan.
Tak hanya itu, aku juga menceritakan semua hal yang baru saja terjadi menimpa rumah bibi padanya.
Semoga saja, Amzar mau membantu aku dan Ayssa lagi.