Sungguh suatu keajaiban dan kehendak Allah. Ternyata ketiga penjahat tadi pergi meninggalkan gubuk itu.
Aku dan Ayssa memutuskan untuk mengecek ke sana setelah memastikan mereka benar-benar pergi dan tak terlihat dari pandangan kami. Meskipun kakiku perih dan panas, aku tak peduli. Aku harus menolong pria itu bagaimana pun caranya.
Ayssa membopongku dengan hati-hati hingga sampai di depan gubuk. Kubuka pintunya, dan aku baru ingat ternyata di gembok oleh para pelaku itu.
Ayssa memberiku tongkat kayu, kucoba membukanya dengan memukulkan ke engsel pintu. Sudah beberapa kali mencoba, tapi tetap tak berhasil.
Hanya ada satu cara yang bisa kulakukan. Yaitu dengan mendobraknya. Tak payah lah kakiku sakit pun, kudobrak pintu itu dengan keras bersama Ayssa. Sekali tak bisa terbuka, kudobrak lagi. Lalu yang kedua kalinya, kudobrak lagi. Hingga yang ke terakhir, kudobrak dengan keras dan alhamdulilah. Pintunya seketika rusak lalu terbuka.
Pemandangan yang pertama kali aku lihat adalah, seorang pria terbujur lemah di lantai dengan kondisi tubuhnya telungkup tak berdaya. Sangat miris sekali jika melihat kondisinya saat ini.
Aku segera menghampirinya dan membuka penutup kepala yang para penjahat itu tutupi sampai leher. Begitu biadabnya mereka hingga ikatan itu cukup kuat dan meninggalkan bekas merah melingkari lehernya.
Ini sungguh gila. Bagaimana mungkin pria berkaos putih ini dapat bernapas jika ikatan penutup kepalanya saja sekuat ini?
Ayssa juga tak kalah membantuku dengan membuka ikatan tali tambang kecil pada tangan dan kakinya.
Aku harus segera menolong dan membawa pria ini ke dalam mobil. Takut jika para penjahat itu sudah sampai ke sini lebih dulu.
Setelah semua ikatan terlepas, kubalikkan badan pria itu agar telentang.
Deg!
Melihatnya, tubuhku seperti tak bisa bergerak. Aku ternganga melihat pemandangan yang sama sekali belum pernah terjadi di depan ku ini. Untuk beberapa saat aku seperti tak bernapas. Masih tak percaya dengan apa yang kulihat.
"Alifff!!!" Aku berteriak histeris ketika melihatnya membuka mata lalu menatapku dengan sorot mata kesakitan. Kalau dia suamiku saat ini, sudah kupeluk dan kuelusi pipinya dengan lembut.
Aku tak percaya. Aku tak percaya jika yang di depanku adalah sosok pemberi sinar dalam kehidupanku, pemberi semangat, pemberi cinta dan pemberi segalanya.
Aku tak bisa melihatnya seperti ini. Kondisinya begitu membuatku jatuh tak tahu harus melakukan apa. Pipinya lebam, luka lecet di dahi dan ujung bibirnya juga pecah mengeluarkan darah. Tak hanya itu, kaos putih yang ia kenakan penuh dengan noda darah karna ada luka menganga di bawah dagu.
Dia tak mengucap apa pun. Tapi aku mampu mengerti dengan semua penderitaan dan kesakitannya saat ini. Matanya menangis. Mengeluarkan air mata. Dan aku tak bisa melihatnya menangis seperti ini.
Aku mengusap air mataku lalu membantunya bangkit. Aku memejam mata seketika tatkala mendengarnya mengerang kesakitan. Aku tak tahu harus melakukan apa melihat lukanya itu selain cepat membawanya pergi dari sini.
Dengan keterpaksaan dan kondisi darurat, kubangkitkan Alif dengan hati-hati lalu membopongnya dari kanan, sementara Ayssa membopongnya dari kiri.
Kami semua merintih kesakitan yang teramat dalam dari hati. Apalagi ketika melihat kekejaman para penjahat itu pada Alif. Aku bahkan tak lagi merasakan rasa sakit pada kakiku saat ini. Karena yang aku pikirkan saat ini adalah kondisi Alif. Bagaimana cara membuat dia kembali ke rumah lalu sembuh. Aku hanya ingin itu.
Dengan hati-hati, aku berjalan sambil terus membopong Alif yang nampak kesakitan. Aku tahu dia tak lagi kuat untuk berjalan. Meskipun aku berusaha membuatnya tenang, dia tetap mengerang kesakitan.
Ketahuilah, selama aku hidup, baru kali ini aku melihatnya begitu kesakitan dan menderita. Yang aku tahu, Alif sosok yang kuat dan tak pernah mengeluh. Tapi kali ini, aku begitu jatuh ketika dia menunjukkan ke tidak berdayaannya.
Alhamdulillah. Tak lama kemudian, kami sampai juga di mobil Ayssa yang dari awal sudah terparkir di tempat yang tersembunyi. Aku segera membawa Alif masuk ke dalamnya.
Dan tanpa ba-bi-bu lagi, kami segera pergi dari tempat ini dan pulang menuju rumah bibi.
...
"Ya Allah. Alif!" Bibi begitu histeris ketika melihat kondisi nya yang tak berdaya. Ia segera memanggil paman untuk membopongnya ke dalam rumah.
Tak hanya itu, ketika semuanya telah masuk, aku tak lupa mengunci pintu rumah bibi.
Tak ada yang tak menangis melihat keadaan Alif saat ini. Paman juga membantu meluruskan kaki Alif dan menyimpan kepalanya di pangkuannya sambil terus mengelus-elus rambutnya dengan penuh cinta.
Bibi juga segera membawa air hangat dan kain, juga membawa kotak yang berisikan obat merah.
Ketika bibi membersihkan lukanya, Alif merintih perih. Aku bahkan memalingkan mukaku, karena tak tega melihat kondisinya seperti itu.
Matanya terus menatapku seakan berkata, 'kamu jangan menangis. Aku baik-baik saja.'
Aku tak berdaya. Sama seperti mu. Lukamu itu mampu membuatku jatuh dan merasakan hal yang sama seperti apa yang kamu rasakan.
Mengapa mereka melakukan semua ini padamu, Alif? Apa salahmu? Mengapa mereka memukulimu hingga membabi buta seperti itu? Kamu tahu, untuk luka lecet sedikitpun, aku tak bisa melihat semuanya terjadi padamu.
"R-rein," kudengar suaranya parau dan terbata-bata. Lekas ku menghampirinya tanpa apa pun lagi.
"Ya?" Aku bisa merasakan suaraku sendiri gemetar.
"I-itu," jarinya menunjuk ke kakiku, "k-kamu terluka."
Aku memejam sebentar. "Ini hanya luka kecil, Alif. Kamu tak usah khawatir." Aku berusaha memberi senyuman padanya.
Jarinya masih menunjuk kakiku ini, "l-li,hat." Dia memintaku untuk menunjukan lukanya yang memang terletak di atas mata kaki.
Aku terdiam. Sedikit ragu untuk memperlihatkan nya karena aku tahu lukanya cukup besar. Panas dan perihnya pun masih aku rasakan sampai saat ini.
Dia terus memintaku untuk membukanya melalui tatapan matanya. Hingga Ayssa datang lalu membukakannya.
"Ya Allah!" Ujar bibi seketika, "kenapa kakimu bisa seperti itu, Rein. Apa yang telah terjadi?"
"Ada peluru yang nyaris menembus kaki Reine. Entah mungkin karena apa, peluru itu hanya menggesek bagian luarnya saja. Alhamdulillah, Allah telah melindungi Reine." Jawab Ayssa.
"Ya Allah anakku," kulihat matanya berkaca-kaca, "memang apa yang sebenarnya terjadi? Kamu dan Ayssa pergi ke hutan malam-malam?"
Kami mengangguk bersamaan.
"Kenapa tak cerita pada kami?"
"Betul," paman menyahut, "hutan itu bahaya. Bagaimana kalau ada hewan buas?"
"Kalau hewan buas aku rasa tak ada paman," jawab Ayssa, "yang ada manusia buas."
Bibi terhenyak. "Maksudmu?"
Ayssa mulai menceritakan rentetan cerita yang terjadi. Mulai dari teror jendela pecah di siang hari hingga kami berdua memutuskan pergi ke hutan tadi malam.
Sementara itu, aku bisa melihat Alif yang terus menatap kakiku sendu. Tanganku berusaha membersihkan lukanya. Apalagi luka yang ada di bawah dagunya itu, harus segera dijahit oleh dokter.
Aku tak bisa menahan air mataku tatkala tubuhnya itu dibubuhi lebam. Ketika tergerak sedikit, dia meringis. Apalagi ketika aku mulai mengobati luka di dahinya.
Dia berusaha bangkit tapi paman mencegahnya. Tak hanya itu, tangan lemasnya yang penuh luka lecet menggapai perlengkapan obat. Dia mulai meraih alkohol dan kapas.
Aku terharu melihat reaksinya ini. Dia terluka begitu parah, tapi dia juga masih mengkhawatirkan lukaku yang tak sebanding dengan lukanya.
"Biar aku saja," aku mengambil kapas yang ada di tangannya lalu mengobati lukaku sendiri.
Aku tak kuasa dan baru kali ini melihat Alif menderita. Aku juga bahkan tak mau menatap matanya. Berulang kali melihatnya meringis, berulang kali pula hatiku teriris.
Semua luka sudah bibi bersihkan. Baju lusuhnya pun sudah diganti oleh paman. Setelah semuanya selesai, paman berusaha membangkitkan Alif untuk membopongnya ke kamar.
Aku menutup kedua telingaku seketika tatkala dia mengerang saat dibaringkan ke tempat tidurnya.
Aku segera lari ke kamar diikuti oleh Ayssa. Aku menangis kesakitan di pelukannya saat ini. Dia begitu tersiksa. Dan aku tak bisa membantunya lebih.
"Sabar, Rein. Yang terpenting Alif sudah kembali ke sini." Ayssa berusaha menenangkan ku.
"Aku bersyukur karena tadi kita nekat menolong pria yang ternyata Alif di gubuk itu. Aku jadi ingat Ayssa, bagaimana cara mereka memukuli Alif dengan brutal saat itu. Kenapa aku tak merasa bahwa seseorang yang ada di sana adalah Alif, kenapa Ayssa kenapa?"
Ayssa menarik tubuhku lebih dekat untuk ia peluk. "Aku juga sakit Rein melihat kondisi Alif seperti itu. Mereka sangat biadab dan tak mengenal kata ampun."
Aku melepaskan pelukannya, "kamu tahu? Di tengah kondisinya yang seperti itu, dia masih sempat mengkhawatirkan lukaku, Ayssa. Dari tatapan matanya, dia tak mau melihatku menderita."
Ayssa mengelus pipiku lembut. "Kalian itu diciptakan untuk bersama. Sebanyak apa pun rintangan yang kalian hadapi, sekuat apa pun cobaan pada cinta kalian berdua, pada akhirnya kalian akan tetap bersama juga. Percayalah, Allah selalu menyayangi kamu dan Alif."
"Lalu bagaimana dengan lukanya itu? Aku takut Ayssa. Aku tak-"
"Shut!" Ayssa menutup mulutku, "tak akan ada yang terjadi apa pun pada Alif. Dia akan sembuh. Semuanya akan kembali normal. Besok kita harus membawanya ke rumah sakit. Ya?"
Aku mengangguk pelan.
"Sudah," dia mengelap air mataku dengan tangannya, "jangan menangis lagi. Alifmu sudah pulang. Kamu harus bisa menghiburnya agar suasana menjadi ceria lagi."
"Apa aku bisa melakukannya?"
"Aku yakin kamu bisa. Kamu harus semangat. Ada aku di sini." Ayssa merekahkan senyumannya lalu kembali memelukku.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Aku bersiap wudu untuk menunaikan salat tahajud. Sebelum itu, aku melewati kamar Alif yang pintunya terbuka.
Aku mengamatinya. Dia hanya bisa telentang tak mampu melakukan apa pun. Matanya terpejam tapi dari mulutnya terdengar suara merintih.
Aku hanya berharap semoga kamu cepat sembuh. Semua doa yang aku panjatkan pada Allah, kamu salah satu nama yang selalu aku libatkan di dalamnya.
Tetap semangat dan jangan putus asa, Alif. Aku tahu kamu pria yang kuat. Tetaplah bertahan untuk hidupmu, tujuanmu, cita cita dan cintamu.