Siang ini, aku, Ayssa, bibi dan paman berada di kamar Alif. Alhamdulillah, keadaannya mulai membaik walau luka-lukanya masih basah dan ia masih belum bisa bangun dari tempat. Katanya, tulang-tulangnya itu masih linu jika terlalu banyak digerakkan.
Dia meminta kami semua kemari karena dia ingin menjelaskan tentang suatu hal.
"Apa yang ingin kamu katakan, Alif?" Paman mulai membuka suara.
"Tentang kejadian kemarin."
Kami saling memandang satu sama lain.
"Ceritakanlah," sahut paman, "semoga ceritamu ini bisa dijadikan sebagai bahan pembuktian ke polisi."
Dia terdiam lalu menatapku. Aku tahu kodenya ini agar aku yang pertama kali menanyakan kronologis nya seperti apa.
"Malam itu kamu ke mana?" Tanyaku kemudian.
"Malam itu aku tidak kemana-mana. Justru saat itu aku sedang beristirahat di kamar. Lalu sekitar pukul sebelas malam, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Kukira kamu atau pemilik kontrakan, dan ketika aku membukanya, mereka seketika menggusurku dengan kasar."
"Pantas saja, saat aku dan Ayssa ke sana pagi itu, sudah tak ada kamu. Hanya ada sepucuk surat yang aku temukan."
"Iya. Mereka membawaku dengan cepat."
"Lalu bagaimana perlakuanmu di sana?" Tanya paman sejurusnya.
"Sangat tak manusiawi, paman. Ketika sampai, aku dilempar ke rumah kosong itu dan bajuku dilucuti. Aku juga dipukuli dengan tongkat kayu lalu dibawa ke gubuk tua. Mulutku di perban, tangan dan kakiku diikat. Mereka juga menamparku berkali-kali hingga pipiku lebam karena tersantuk benda lancip."
Mendengar kebiadabannya, hatiku seketika bergejolak tak karuan.
"Lalu, setelah di gubuk tua itu, apa kamu melihat kak Hamzah?" Ayssa membuka suara.
"Tidak. Setelah mereka memukuliku itu aku langsung tak mengingat apa pun. Lalu beberapa saat kemudian, aku tak tahu di situ aku tidur berapa jam, samar-samar aku mendengar keributan hingga membuatku kembali terbangun. Suara itu mulai mendekat dan ternyata mereka membawa Hamzah bersama dua orang temannya. Mereka digiring lebih kasar dari pada aku lalu Hamzah dilempar hingga pelipisnya tersantuk tembok yang ada tancapan paku, lalu berdarah."
Ayssa seketika menutup mulutnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Saat itu ia tak sadarkan diri. Kedua temannya pun tak luput menjadi sasaran amarahnya. Termasuk juga aku. Mereka akan berhenti memukuli jika korbannya pingsan. Maka dari itu aku sering berpura-pura pingsan ketika mereka memukuliku."
"Lalu bagaimana lagi?" Aku sangat penasaran dengan ceritanya.
"Malam itu, keadaan gubuk tiba-tiba hening. Tak ada para penjahat. Hamzah juga telah bangun dari pingsannya. Ketika sedang memperhatikan keadaan sekitar, dia sangat terkejut ketika melihatku ada di sana. Aku yang saat itu tak tahu harus berbuat apa-apa berusaha menjelaskannya. Dia hanya terdiam lalu sejurusnya bilang, bahwa dia mengkhawatirkan kondisi Ayssa dan keluarganya."
Aku bisa melihat semua orang menangis termasuk aku. Apalagi, Alif bercerita penuh dengan pendalaman hingga membuatnya meneteskan air mata juga.
"Percayalah, Reine. Saat itu kami tak takut dengan kondisi kami ke depannya akan seperti apa. Kami sudah pasrah jika nyawa kami akan mereka renggut dengan paksa. Apa kamu ingat? Mereka selalu mengirimkan surat kematian padamu?"
Aku mengangguk.
"Itu memang benar, Rein. Mereka akan membunuh kita di hari yang telah mereka janjikan pada isi surat itu yang telah kamu baca."
"Rein," Ayssa tiba-tiba memegang tanganku.
Aku meyakinkannya bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.
"Di saat itu pula, kami sudah tak berdaya. Sementara Hamzah kulihat selalu menangis memikirkan kamu," Alif menatap Ayssa, "dan ayah ibumu. Dia ingin berjumpa dengan kalian. Dia ingin meminta maaf. Dia ingin melakukan semua itu. Tapi di malam itu pula, para penjahat itu datang dan membawa Hamzah paksa dengan kedua temannya. Aku tak tahu mereka dibawa ke mana. Karena aku tetap disimpan di gubuk sampai kalian datang ke sana."
"Ya Allah. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi pada Hamzah?" Lirihku.
"Mereka begitu dendam dengan Hamzah karena ia telah membongkar kejahatan para penjahat itu tentang pencurian uang sepuluh miliar. Dan mereka segera mengambil tindakan dengan menculik Hamzah terlebih dahulu sebelum Hamzah sendiri yang melaporkan mereka ke polisi."
"Tapi ayahnya bilang pada paman bahwa dia tak tahu siapa dalang pencurian uang itu." Sahut paman.
"Memang. Aku dapat kabar itu dari kedua temannya bahwa Hamzah menutupi semua kebenaran dari ayah Ayssa dan kepolisian. Ia ingin mengusutnya dulu lebih jauh. Dan untuk tragedi malam di mana dia datang membawa koper berisikan uang, apa kalian berdua mengingatnya?"
Aku dan Ayssa seketika mengangguk bersamaan.
"Dia itu ingin mengembalikan uang yang hilang dan berharap agar tak ada siapapun yang mengetahuinya. Dia memberikan uang itu pada kedua temannya untuk disimpan di meja kantor ayahnya secara sembunyi-sembunyi."
"Mereka itu teman Hamzah? Perasaan saat itu mereka menyebutnya tuan."
"Iya. Karena mereka sangat berhutang budi banyak pada Hamzah. Hamzah telah menolong kehidupan dua pria itu sampai saat ini. Dan mereka juga mengaku bahwa, kebaikan Hamzah yang telah diberikan pada mereka memang tak pernah bisa digantikan oleh apa pun."
"Tapi Alif, yang masih jadi pertanyaanku adalah, aku dan Ayssa hampir setiap hari pergi ke rumah kosong dan gubuk tua itu bersama Amzar. Tapi kami tak menemukanmu."
Alif seketika mengerutkan keningnya, "Amzar? Kamu ke hutan bersama amzar?"
"Iya. Dan kami tak menemukan kalian di sana. Dia juga telah banyak menolong kami mencarikanmu dan Hamzah."
"Tapi di sisi lain, dia sendiri yang telah membuat aku dan Hamzah menjadi seperti ini."
Aku heran. "Maksudmu?"
Alif menghela napas dengan berat, "kamu tahu? dia adalah dalang dibalik semua kejahatan itu."
Sontak aku dan Ayssa saling bertatapan tanda tak percaya. "Mana mungkin?" Ujar kami bersamaan.
"Dia pria yang baik." Kataku.
"Benar," timpal Ayssa, "bahkan dia mau menemani kami pergi ke hutan dan setelah itu kami berbicara banyak hal tentangnya di bawah pohon."
"Aku tak memaksamu untuk memercayainya, Reine, Ayssa. Aku pun awalnya tak percaya akan hal itu sampai akhirnya dia datang sendiri ke gubuk tua dan memukuliku bersama Hamzah dengan membabi buta. Percayalah, ketika dia mengatakan bahwa para penjahat di sana jahat dan tak mengenal kata ampun, sebenarnya dia telah berkata jujur tentang sikap dia yang sebenarnya. Dia sangat kejam. Aku bahkan sampai merasakan kekejamannya itu."
Seakan ada tamparan keras ketika Alif mengatakan hal yang sama sekali tak pernah aku duga. Aku bahkan sampai percaya pada Amzar bahwa dia pria yang baik tanpa pamrih. Dia benar-benar lelaki yang kurang ajar. Walau aku akui siasatnya begitu cerdas hingga tak membuat aku dan Ayssa merasa curiga dengannya.
"Lalu bagaimana dengan keadaan kakak sekarang? Para penjahat itu pasti sudah memukulinya tanpa ampun."
"Sekarang paman akan ke kantor polisi dan mengatakan seluruh kejadian yang tadi kamu ucapkan."
"Oh iya. Ini paman, ambil juga." Ayssa menyerahkan ponselnya. "Di situ ada rekaman percakapan para penjahat itu. Semoga membantu."
"Baiklah, terima kasih." Paman mengambilnya lalu meminta pamit pada bibi dan kami semua.
Bibi juga lantas ke luar untuk mencari tahu seluk beluk tempat itu pada tetangganya, barang kali saja ada yang tahu.
Aku dan Ayssa di sini, masih menemani Alif yang tak bergerak sedikit pun sejak dari tadi.
"Awas, hati-hati." Kataku seketika tatkala melihatnya akan duduk, "kamu berbaring saja dulu."
"Aku pegal. Ingin duduk."
"Tapi,"
"Tenanglah. Aku baik-baik saja. Kamu tak usah membantuku." Dia berjuang susah payah untuk bangun lalu duduk. Aku merasa ngilu ketika mendengarnya meringis.
"Jangan dipaksakan Alif," ujar Ayssa.
"Benar." Sahutku.
"Tak apa. Aku bisa." Akhirnya dia bisa duduk walau tak sembilan puluh derajat pas.
"Apa kondisimu masih sakit?"
"Tidak. Tatkala melihatmu, kondisiku semakin membaik." Dia terkekeh, "argh!" Seketika Alif meringis sambil memegang ujung bibirnya.
"Eh," kataku, "hati-hati. Jangan dulu bercanda. Aku tahu kamu masih sakit."
"Iya. Tapi aku tak terlalu memikirkan itu semua. Yang terpenting aku sudah bisa melihatmu lagi."
Aku tersenyum. "Lalu bagaimana dengan luka di bawah dagumu itu? Kenapa bisa seperti itu?"
"Mereka memukulku dengan balok kayu. Awalnya akan mengenai kepala, tapi aku mendongakkan kepala hingga balok itu mengenai bawah dagu."
Aku merasa linu mendengar ucapannya. "Pantas saja. Darah yang ada di kaosmu itu berasal dari sana?"
Alif mengangguk. "Iya."
"Rein, sebentar ya," Ayssa berdiri dari duduknya, "ada telepon dari papa."
"Iya." Jawabku lalu melihatnya ke luar.
"Rein?"
"Iya?" Jawabku.
"Kamu nampak berbeda dari hari-hari sebelumnya."
"Benarkah? Aku rasa tidak."
"Iya. Coba lihat," tangannya menunjuk wajahku.
Seketika aku meraba wajahku sendiri. Mencoba merasakan apa yang menurut Alif berbeda.
"Tak ada, Alif. Memangnya apa?"
"Coba lihat wajahmu sendiri di cermin."
Aku kembali menuruti apa kata Alif. Dan ya, lagi-lagi aku tak tahu perbedaan apa yang ada di wajahku.
"Sudahlah. Aku menyerah." Kataku.
Dia tersenyum kecil. "Aku belum melihat senyuman di wajahmu." Kata Alif kemudian.
Aku terdiam.
"Sejak pertama kali aku kembali, ku belum melihat kamu tersenyum lagi. Aku belum melihat kamu ceria lagi. Aku merindukan itu semua."
"Benarkah? Itu mungkin hanya perasaanmu. Tadi aku tersenyum."
"Ya aku tahu. Senyuman yang kamu perlihatkan seolah kamu baik-baik saja. Aku tahu Reine, meskipun aku sudah pulang kamu masih tetap bimbang karena memikirkan Hamzah."
Aku tak menjawabnya.
"Aku hanya rindu senyuman tulus dari hatimu. Bukan hanya sekedar topeng agar kamu terlihat tak memiliki masalah apa pun. Kamu tak pernah memperlihatkan senyuman tulus itu lagi kepadaku. Kenapa Rein?"
Tiba-tiba air mataku menetes.
"Aku tak bisa berpura-pura baik di depanmu, Alif. Karena kamu selau tahu setiap masalahku. Aku tak bisa berbohong padamu." Aku menutup kedua wajahku.
"Kita sudah saling terikat satu sama lain. Wajar kalau aku mengetahui itu semua."
"Aku takut ketika melihat kondisi mu Alif. Hatiku selalu tak tenang melihatmu seperti ini."
"Aku tak apa-apa. Aku akan berusaha kuat untukmu. Aku akan melakukan apa saja agar kamu bisa bahagia dan menjadi dirimu sendiri."
Aku menundukkan kepala. Entahlah, aku merasa lemah jika berhadapan dengannya. Semua masalah yang aku tutup rapat, bahkan mampu terbongkar dengan tuntas karenanya.
"Sudah. Jangan menangis," pintanya, "kamu kan tahu, aku paling tak suka melihat wanita menangis karenaku."
"Tapi ini bukan karenamu."
"Lalu?"
"Aku merasa terlalu payah menjadi diri sendiri."
"Jangan seperti itu. Kita semua diciptakan di dunia ini tak ada yang sia-sia. Lagi pula sebentar lagi kita akan saling menggenggam erat pada satu tujuan. Kamu harus meyakininya bahwa kita akan bersama untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing. Aku melengkapi kekuranganmu, dan kamu melengkapi kekuranganku."