Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 48 - Kesal

Chapter 48 - Kesal

Setelah menjenguk Hamzah,aku meminta izin pada Ayssa untuk pulang ke rumah bibi dan merawat Alif. Ayssa mengiyakannya dan sebelum itu ia berterima kasih padaku karena telah membuat Hamzah berkenan untuk makan.

Aku pulang ke rumah menggunakan taksi online. Dan tak membutuhkan waktu yang lama, aku telah sampai di tempat tujuan.

Aku segera masuk, lalu mendapati bibi berada di ruang tamu. Aku menghampirinya lalu mencium punggung tangannya.

"Bi, apa Alif ada di kamar?" Tanyaku.

"Iya. Tadi dia tidur sebentar. Lalu setelah bangun, dia menanyakanmu."

"Oh benarkah?"

Bibi mengangguk. "Sekarang, lebih baik kamu temui dia. Mungkin dia merasa khawatir padamu."

"Baik, bi."

Aku bergegas ke kamar Alif untuk memastikan keadaannya saat ini. Ketika aku mengetuk pintu, kudengar Alif memintaku untuk membukanya saja.

Ketika kubuka pintu, dia sedang duduk sambil melamun. Lantas aku menghampirinya.

"Alif, apa yang sedang kamu pikirkan?"

Dia memandangku sesaat lalu kembali melemparkan pandangannya pada segala arah.

"Aku baik-baik saja. Kapan kamu pulang?" Tanyanya.

"Baru saja tadi."

"Ohh begitu."

"Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang masih terasa sakit? Atau mungkin..., kamu menginginkan sesuatu?"

Dia terkekeh kecil. "Tidak ada. Tadi aku sudah beres makan lalu tidur. Dan untuk kondisiku, kamu jangan khawatir. Aku sudah lebih baik dari sebelumnya."

"Hanya?"

Dia mengerutkan alis. "Maksudmu?"

"Apa yang masih kamu rasakan? Katakan sejujurnya saja."

Dia terdiam sesaat, "tak terlalu banyak. Aku hanya masih merasakan linu pada tulang-tulang. Mungkin karena pukulan dari mereka itu masih membekas."

"Lalu?"

"Tidak ada."

"Jangan bercanda, Alif." Aku menunjuk lukanya, "terus ini? Masih tak terasa sakit?" Aku menekan sedikit lukanya yang dibalut perban yang berada di dahinya.

Dia seketika meringis lalu memegang lukanya itu.

"Kalau ini pasti sakit." Ujarnya.

"Nah kan. Berarti kamu berbohong lagi."

"Maksudku bukan seperti itu, Rein."

"Lalu?"

"Ya luka ini memang tak terlalu terasa sakit pada awalnya. Dan karena kamu menekannya tadi, jadi tambah sakit."

"Jangan bercanda." Sahutku.

"Aku berkata benar. Sepertinya lukaku ini akan mengeluarkan darah lagi."

Aku terhenyak mendengar ucapannya seperti itu, "Alif maafkan aku. Aku tak bermaksud melakukan semua itu dengan sengaja."

"Percuma Reine. Ini sudah terasa sakit. Aku juga tiba-tiba merasa pusing."

"Kumohon Alif maafkan aku," ucapku begitu takut, "kamu jangan berkata seperti itu."

Dia merintih sambil terus memegang dahinya.

"Sebentar, kamu harus kuat. Aku akan membawakanmu obat."

"Tak usah, Rein." Dia mencegahku.

"Kenapa?"

"Biarkan sajalah. Lagi pula aku memang sudah terluka. Dan yang namanya terluka pasti akan tetap terluka."

Aku menghiraukan segala ucapannya lalu segera mengambil perlengkapan obat.

Setelah aku kembali, dia masih memegangi dahinya itu.

"Alif. Maafkan aku, aku tak berniat melukaimu dengan cara seperti ini." Aku meneteskan beberapa tetes obat merah pada kapas, "buka perbanmu dan ini," aku memberikan kapas itu, "tempatkan di dahimu."

Dia terdiam.

"Kenapa?" Aku terheran, "cepatlah buka perbanmu dan obati lukamu itu agar lekas sembuh."

Tak lama kemudian, dia menunjukkan ekspresi jahil lalu tertawa geli.

"Hei, kok ketawa? Apa yang lucu?" Aku masih tak mengerti dengan sikapnya.

"Melihatmu khawatir seperti ini, membuatku tak tega untuk terus membuat drama padamu."

"Oh! Jadi kamu berbohong lagi?"

Dia terkekeh geli. "Maafkan aku, Reine. Aku tak berbohong, hanya bercanda saja."

"Ck." Aku berdecak kesal lalu melempar kapas itu, "kamu ini jangan buat aku takut Alif. Kamu menganggap kekhawatiran ku ini adalah sebuah permainan?"

Ekspresi nya tiba-tiba berubah cepat tatkala aku mengatakan itu.

"Aku selalu khawatir denganmu. Bayangan tentang dirimu itu selalu menghantui pikiranku. Kondisimu seperti ini selalu membuatku tak tenang. Aku juga selalu takut dengan setiap hal yang kamu hadapi saat ini. Termasuk itu," aku menunjuk luka-luka nya, "aku hanya ingin kamu menjawab dengan jujur, Alif. Setidaknya ketika kamu melakukan hal yang aku mau, hatiku bisa sedikit tenang."

"Dengar aku, Rein."

"Tidak!" Aku menyelanya, "biarkan aku berbicara dulu padamu. Kamu tahu? Aku kesal padamu karena telah melakukan semua ini. Mungkin lelucon menyebalkan seperti ini bagimu terasa lucu, tapi bagiku tidak. Tolong mengertilah, Alif. Aku sedang tak mau diajak bercanda jika itu menyangkut sebuah kondisi. Apalagi kondisi kamu."

Dia mau berbicara tapi aku menyelanya lagi.

"Tidak seharusnya juga kamu melakukan hal-hal seperti tadi. Karena menurutku semua itu bukanlah sebuah lelucon. Apa kamu tak mengerti bagaimana rasa sakitnya aku ketika kamu pergi jauh dariku saat itu? Apa kamu tak merasa bahwa aku selalu menangisi dan menanti kedatanganmu di setiap waktu? Apa kamu juga tak tahu bagaimana sesaknya hatiku ketika harus menjalani hidup tanpamu, sementara bayanganmu itu selalu mengganggu isi kepalaku?"

Aku menghentikan celotehanku karena tiba-tiba menyadari apa yang aku katakan padanya tadi terlalu frontal dan berlebihan. Seharusnya aku tak mengatakan hal yang membuat dia bisa berpikir sulit. Lagi-lagi aku telah membuat kesalahan dengan terus menuruti emosional ku. Dan sekarang, aku hanya bisa terdiam sambil menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Apa kamu masih ingin berbicara lagi?"

Aku tak menjawabnya.

Sesaat ia terdiam lalu tertawa kecil.

"Kamu mengatakan hal itu seolah aku tak memikirkan mu? Kamu mengatakan hal itu seolah merasa aku tak menderita dengan kondisi yang aku hadapi saat itu? Ketahuilah, Rein. Aku begitu terpukul dengan takdir yang kala itu tengah aku hadapi. Aku tak terlalu mengakhawatirkan keadaanku sendiri. Justru aku begitu mengkhawatirkan kondisimu yang pastinya sama seperti apa yang kamu katakan tadi."

Aku diam sambil menunduk. Perlahan rasa kekesalan itu hilang, berubah menjadi rasa penyesalan. Andai saja ucapan ku tadi bisa ditarik lagi. Akan ku tarik semuanya.

"Kamu tak tahu, Rein. Bagaimana terpuruknya aku di sana tatkala para penjahat itu mulai memukuliku tanpa ampun. Aku takut, jika suatu hari nanti kamu tiba-tiba menemukanku dalam kondisi sudah tak bernyawa. Aku tak bisa membayangkan hal seperti itu. A-"

"Cukup, alif." Ujarku tak kuat lagi mendengarnya mengatakan hal itu. "Cukup kamu mengatakan hal tentang kepergian. Aku tak kuat bahkan tak ingin jika kamu mengatakan hal seperti itu. Jujur, aku masih membutuhkanmu dan belum siap untuk kehilanganmu. Aku mohon jangan katakan itu lagi dan maafkan atas ucapanku tadi yang mungkin telah membuatmu terluka."

"Kamu jangan berpikir seperti itu juga, Rein. Aku pun belum siap kalau harus kehilanganmu. Kita di sini harus sama-sama saling melengkapi. Jangan ada pikiran buruk yang timbul dari pikiran masing-masing."

"Maka dari itu kamu jangan katakan hal seperti tadi lagi. Aku tak suka."

"Ya sudah. Kita saling memaafkan saja kesalahan masing-masing. Ya?" Dia memegang kedua telinganya.

"Lepaskan saja. Tidak ada yang perlu dimaafkan."

"Lalu bagaimana?" Tanya Alif kemudian.

"Maksudnya?"

"Tadi malam kamu menginap di rumah sakit, kan?"

Aku mengangguk.

"Lalu bagaimana kondisi Hamzah saat ini? Apa dia sudah membaik?"

"Alhamdulillah. Dia sudah sadar dan bisa makan bubur walau sedikit."

"Lalu, reaksinya itu ketika melihat keluarga nya bagaimana?"

"Tidak ada. Padahal dari kemarin aku ke sana dan melihatnya telah sadar, dia tak mengatakan apa pun. Dia hanya diam sambil terus mengeluarkan air di ekor matanya."

Alif mengerutkan keningnya, "benarkah? Dia tak mengatakan apa pun?"

Aku mengangguk.

"Padamu juga?"

"Iy-, eh sebentar!" Aku mengingat kejadian tadi selama Ayssa pergi ke toilet dan aku menemani Hamzah di ruangan, "ada. Saat itu dia berkata padaku."

"Apa?"

"Hanya 'terima kasih' saja. Aku tak mengerti maksud ucapannya seperti itu. Tatkala aku mendengar suaranya pun, terdengar parau dan serak. Aku sampai tak menanyakannya lagi karena terlalu kasihan dengan suaranya itu.

"Lalu sekarang dia di mana?"

"Masih di rumah sakit."

"Bersama Ayssa?"

Aku mengangguk.

"Baiklah, alhamdulilah kalau kondisinya saat ini lebih baik. Aku turut senang."

"Apa kamu sudah makan?" Lanjutku lagi.

"Kan tadi aku sudah bilang makan bubur."

"Oh iya!" aku menepuk dahi, "maaf, aku tak ingat." Ujarku sambil terkekeh.

"Sudahlah. Lebih baik sekarang kamu pergi ke kamar, dan istirahat. Aku tahu kamu lelah karena menunggui Hamzah semalaman."

"Tapi aku tak lelah."

"Rein?" Dia memasang raut serius. "Istirahat, ya? Kalau kamu bisa memintaku untuk istirahat, kenapa aku juga tidak?"

"Tapi nanti kalau kamu butuh sesuatu, bagaimana?"

"Jangan khawatir. Aku sudah mulai bisa melakukannya dengan sendiri, kok."

"Yakin?"

Dia mengangguk cepat. "Yakin!"

"Baiklah kalau begitu, aku akan istirahat. Tapi kalau nanti kamu butuh sesuatu yang rasanya sulit kamu lakukan, jangan sungkan untuk beri tahu aku, ya?"

Dia mengangguk.

Setelah itu, aku berdiri lalu beranjak dari tempatnya lalu pergi ke kamarku sendiri.