Alhamdulillah, pagi tadi sekitar pukul sembilan, aku dan paman segera membawa Alif ke rumah sakit agar luka-lukanya itu bisa diobati dengan baik dan benar.
Di sana tak membutuhkan waktu yang terlalu lama, karena dia ingin pulang dan di rawat di rumah saja.
Setelah proses administrasi dan segala hal selesai, aku, paman dan Alif kembali pulang ke rumah.
Kali ini, dia tak terlalu kesakitan seperti tadi malam. Alif sudah bisa bicara tanpa terbata-bata lagi walau tak banyak. Dia juga sudah bisa tersenyum dan memainkan ekspresi lagi. Hanya saja dalam berjalan, ia masih dibopong oleh paman.
Saat ini, posisinya sedang duduk dengan punggung yang bersandar di tembok yang dibubuhi bantal. Aku menyuapinya suap demi suap bubur ayam. Awalnya dia enggan karena ketika membuka mulut, rasanya sakit sekali.
Tapi aku tetap berusaha membuatnya bisa makan, walaupun hanya beberapa sendok.
Karena menurutnya, selama satu hari kemarin ia tak diberi makan.
Setelah buburnya habis setengah, dia tak mau lagi makan. Lalu aku memberinya obat dan minum menggunakan sedotan. Setelah semuanya selesai, aku memintanya untuk istirahat.
"Rein." Panggilnya ketika aku akan ke dapur. Kubalikkan badan, dan melihatnya menggelengkan kepala.
Aku kembali menghampirinya dan duduk di sampingnya. "Iya, kamu mau apa?"
Dia terdiam.
"Apa mau makan lagi? Atau mau aku ambilkan sesuatu?"
Dia menggeleng pelan.
"Lalu?"
"Jangan menangis." Ujarnya singkat, tapi sontak membuatku mengusap air mata.
"Maaf Alif. Tapi aku tak bisa menahan diri melihatmu tak berdaya seperti ini. Aku takut suatu hal terjadi padamu."
"Aku baik-baik saja. Sakit ini kenikmatan dari Allah."
"Tapi kenapa kamu bisa seperti ini? Malam itu kamu ke mana?"
Alif mengalihkan pandangan ke segala arah. Dia tak lagi menjawab, mungkin aku terlalu cepat menanyakan hal itu.
"Sudah. Kamu jangan berpikir tentang apa pun dulu. Kamu harus sehat, kamu harus sembuh. Oke?" Ujarku berusaha mencairkan suasana.
"Terima kasih." Tiba-tiba dia mengatakan itu.
"Untuk?"
"Pertolonganmu."
Aku tersenyum, "sebenarnya saat di gubuk itu aku tak tahu kalau orang yang ada di sana itu kamu. Tapi aku dan Ayssa memang sudah berniat untuk menolong siapapun orang yang ada di dalam sana. Dan alhamdulilah, aku dipertemukan juga denganmu."
"Tapi aku tahu kamu telah datang menolongku."
"Benarkah? Bukankah kamu tak sadarkan diri saat itu? Dan kepalamu juga ditutup karung kecil?"
"Aku bisa merasakan kehadiranmu, Rein. Walau tanpa melihat."
Aku tertegun sesaat ketika mendengar ucapannya. Dia lalu melihat telapak tangannya sendiri.
"Aku merasakan angin lembut yang berseliweran di sini," dia menunjukan telapaknya, "dan aku tahu kamu ada saat itu."
Mataku mulai memanas lagi, "lalu, ketika salah satu dari para penjahat itu bilang kalau kamu berusaha kabur, kamu sudah tahu ada aku?"
Dia mengangguk.
"Dan kamu melakukan itu semua untuk mengalihkan perhatian mereka agar aku dan Ayssa selamat?"
Dia tak mengangguk, tapi aku tahu dari matanya Alif mengatakan 'iya.'
Seketika aku menutup kedua wajahku, rasa ingin mencaci maki pada diri sendiri ada.
"Alif kamu tahu? Setelah mereka pergi dari hadapan aku dan Ayssa karena kamu berusaha kabur, kami mendengar suara pukulan keras. Apa itu mengenaimu?"
Dia mengangguk.
Aku tak bisa lagi menahan tangis. "Alif kenapa kamu melakukan semua itu? Kamu tahu? Hal yang kamu lakukan itu sangat berbahaya dan beresiko. Bagaimana kalau mereka membunuhmu saat itu?"
"Aku harus menyelamatkanmu."
"Dan membiarkanmu terus dipukuli oleh mereka tanpa ampun?" Timpalku, "itu tak adil, Alif. Kenapa kamu bisa melakukan itu? Di saat aku dan Ayssa berusaha mencarimu dari beberapa hari kemarin. Tapi tak kunjung ditemukan. Ketika aku tahu, kamu juga sama-sama menantang mereka untuk dipukuli."
Aku terus menghujaninya dengan semua celotehku, "Alif aku mohon. Untuk ke depannya, kamu jangan terlalu memikirkan orang lain. Kamu boleh peduli, tapi harus sesuai porsi. Kalau kamu melindungi orang lain sementara dirimu sendiri terluka. Apa yakin orang itu akan balik menolongmu?"
"Kalau kamu terluka, aku juga akan ikut terluka." Alif membuka suara, "kalau kamu terluka, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri."
"Bukan seperti itu Alif prinsipnya. Ini tentang bagaimana cara menjaga diri sendir-"
"Setidaknya aku telah menyelamatkan dua nyawa. Lagi pula saat itu aku yakin kamu akan membawaku pulang."
Aku terdiam sesaat. Hatiku terenyuh saat mendengarnya mengucapkan hal itu.
Sesaat kita terdiam. Tak ada ucapan yang dilontarkan masing-masing.
Terkadang aku menatap wajahnya,tapi dia selalu tahu hingga aku memalingkan muka.
Dia tak banyak bicara. Tapi aku merasa ada banyak hal yang ingin dia ceritakan padaku. Aku tak bisa memaksanya, mungkin dia butuh waktu.
"Alif?" Tanyaku kemudian.
"Hm?"
"Apa kamu tahu? Terkadang..., aku merasa tak pantas bersanding denganmu. Kamu itu begitu sempurna. Kamu bahkan bisa merasakan kehadiranku tanpa kamu melihatnya. Sementara aku," suaraku tercekat.
"Itu bukanlah menjadi tolak ukur. Aku memahamimu lebih dari itu."
Aku diam. Tak tahu harus menjawab apa.
"Lebih baik kamu temani Ayssa. Dia sangat terpukul."
"Ya Allah," aku menepuk dahi, "kamu benar. Aku tinggal dulu ya. Kalau ada yang perlu kamu butuhkan, bunyikan saja lonceng ini." Aku menyimpan lonceng kecil di tangannya, baik-baik di sini."
Dia tersenyum kecil lalu mengangguk.
Aku segera mencari Ayssa di kamar. Tapi ternyata tak ada. Kulihat di ruang tamu, juga tak ada.
Apa Ayssa pulang? Aku segera ke luar memastikan, tapi ternyata mobilnya masih ada. Dia kemana ya, apa mungkin ke balkon?
Aku berlari ke atas untuk mencarinya. Dan benar dugaanku, dia sedang berdiri sambil menatap lurus ke depan.
Aku menghampirinya lalu menepuk pundaknya pelan. Dia terperanjat lalu membalik badan. "Reine? Ku kira siapa."
Aku tersenyum lalu berdiri sejajar dengannya.
"Bagaimana keadaan Alif."
"Alhamdulillah. Sedikit lebih baik."
"Ohh...." Dia manggut-manggut.
"Kenapa kamu di sini?" Tanyaku.
"Aku sedang mencari hiburan untuk diri sendiri."
"Hiburan?" Tanyaku heran, "maksudmu?"
"Ketika kamu menemukan Alif, jujur aku sangat bahagia. Aku bisa melihat wajahmu kembali seperti sedia kala walau terkadang menangis memikirkan kondisi Alif."
"Ay-"
"Reine," dia menyela ucapanku, "tapi di saat yang sama pula. Aku begitu sakit ketika melihat tak ada kakak di sana." Suaranya terisak dan terdengar parau, "aku bahagia Alif ditemukan. Sangat bahagia. Tapi di sisi lain, hatiku hancur karena tak mampu menemukan kakak."
Aku segera mengelus-elus punggungnya. "Maafkan aku Ayssa, aku terlalu memperhatikan kondisi Alif sehingga aku tak menyadari betapa sakitnya hatimu ketika tak ada Hamzah."
"Kamu tau usah minta maaf, Rein. Aku hanya memikirkan kondisi kakak. Kalau Alif saja kondisinya seperti itu, bagaimana dengan kakak? Aku takut perlakuan para penjahat itu kepada dia lebih menyakitkan dari pada Alif. Aku tak bisa membayangkannya, Rein. Aku tak bisa." Ayssa menangis di pelukanku.
Ada rasa bersalah dalam hati terhadap Ayssa. Karena aku masih belum menemukan Hamzah. Aku ingin bertanya pada Alif pun, kondisinya masih belum memungkinkan.
Aku merasakan bagaimana sesaknya berada di posisi Ayssa. Tatkala semua orang terharu atas kedatangan Alif, di situ juga dia merasa terpukul karena kakaknya belum juga kembali. Aku berpikir bagaimana mereka bisa melakukan tindak kriminal sekejam ini? Aku tak mengerti dengan semua seluk beluknya. Mereka yang menciptakan masalah, tapi tak hanya Hamzah saja yang yang menanggung resikonya, Ayssa dan kedua orang tuanya pun merasakan hal yang sama.
"Ayssa, ayo ikut aku." Aku menarik tangannya turun ke bawah.
"Ke mana?"
"Mencari kakakmu."
Dia melepaskan peganganku, "tidak."
"Kenapa?"
"Aku tak tahu harus mencarinya ke mana lagi, Reine. Aku sudah menyerah."
"Kamu jangan seperti itu, Ayssa. Kamu harus semangat," aku memegang kedua pundaknya, "kalau Alif sudah ketemu. Mengapa Hamzah tidak? Kita harus tetap mencari dia dan membuat suasana rumahmu kembali ceria."
Ayssa terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Aku tahu hatimu hancur hingga tak tahu harus melakukan apa. Tapi jangan sampai kata 'menyerah' terucap dari bibirmu, ayssa. Apa kamu tega melihat Hamzah sendiri di sana dan terus dipukuli oleh para penjahat itu?"
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "tidak, Rein tidak."
"Jadi, tetaplah berusaha untuk terus menemukannya. Jangan putus asa. Allah selalu bersama kita."
"Tapi bagaimana caranya?"
"Mari, ikut aku," aku membawanya turun ke bawah dan menemui Alif.
Saat sampai, Reine terdiam dan tak ingin melihat kondisi Alif. Karena hal ini mengingatkannya pada kondisi sang kakak yang mungkin keadaannya kurang lebih sama seperti Alif.
"Tetaplah berdoa, Ayssa." Ujar Alif kemudian, "kakakmu masih hidup."
Aku bisa melihat reaksi Ayssa yang seketika menatap Alif, "benarkah?"
Dia mengangguk, "Allah masih mengujinya. Dan kamu harus tetap meminta keselamatan untuk kakakmu pada-Nya."
"Dari mana kamu tahu? Apa kamu pernah bertemu kakak? Apakah kamu sudah melihat kondisinya? Bagaimana? Apa yang dia rasakan? Seperti apa Alif, seperti apa?" Ayssa menghujani Alif dengan banyak pertanyaan.
"Aku dan Hamzah memang disimpan bersama di gubuk itu." Jawabnya.
Sesaat aku dan Ayssa saling memandang.
"Tapi, bukankah tadi malam hanya ada kamu saja?" Tanyaku.
Alif terdiam sejenak lalu tatapannya ia arahkan ke langit-langit kamar.
"Iya, karena sore itu mereka menggusur Hamzah dan kedua temannya dengan kasar. Aku tak tahu dia dibawa ke mana."
"Lalu, apa lagi? Apa kondisi mu dengan kakak sama? Maksudku, mereka memperlakukan kakak sama seperti memperlakukanmu?"
"Tidak," tukasnya, "bahkan lebih buruk dari pada itu."
Seketika Ayssa menutup kedua mulutnya. Tangisnya pecah tak terbendung lagi.
"Mereka memperlakukan Hamzah dan kedua temannya begitu buruk, seperti layaknya binatang."
Lututku tiba-tiba lemas ketika Alif mengucapkan itu.
"Dan percayalah. Hamzah juga bukan dalang dari pencurian uang di perusahaan ayahmu."
"Aku tahu," timpal Ayssa, "kakak tak mungkin melakukan hal serendah itu." Katanya terisak, "tapi yang anehnya, mengapa mereka melampiaskan kejahatannya pada kakak? Apa salah kakakku? Dosa apa yang telah kakak lakukan kepada mereka?"
Aku bisa melihat Alif menitikkan air mata. Dia seakan terluka ketika membayangkan hal yang telah para penjahat itu lakukan pada dirinya dan Hamzah.
"Hamzah telah melakukan sebuah kebenaran, tapi di sisi lain dia telah mempertaruhkan nyawanya sendiri karena perbuatannya itu."
"Memang kenapa? Apa yang telah kakak lakukan?" Tanya Ayssa.
Alif menjeda ucapannya sejenak. Tatapannya lurus seakan penuh tanda tanya.
"Kakakmu tahu siapa dalang dibalik pencurian itu dan akan membongkarnya di pengadilan beberapa hari kemudian tanpa sepengetahuan keluargamu. Dan di malam itu, ia berusaha mengembalikan uang sepuluh miliar tapi para penjahat sudah mengincar dan menangkap Hamzah dengan menyamar menjadi polisi."